x

Bea dan Cukai bersama BNN dan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya menggagalkan penyelundupan narkoba jenis sabu dan narkoba jenis baru asal Kanada. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

Iklan

Nur Khotimah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Panjang Eksekusi Mati, Pangkas Saja!

Sudah divonis mati, tapi tidak mati-mati, bisa dikatakan seperti itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah divonis mati, tapi tidak mati-mati, bisa dikatakan seperti itu. Lambannya eksekusi mati kasus narkoba di Indonesia membuat sebagian besar masyarakat geram. Bagaimana tidak, narapidana yang sudah divonis mati oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, masih terus ditunggu hingga belasan tahun untuk eksekusi. Disisi lain, sudah berapa banyak anggaran Negara dihabiskan sebagai biaya para terpidana mati ini?

Sebut saja misalnya, Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi mati gelombang II pada April 2015 silam. Pria kelahiran Palembang ini terbukti bersalah dalam kasus kepemilikan 58,7 kg ganja. Dia ditangkap di kediamannya di ibu kota Sumatera Selatan pada Desember 2000, setahun kemudian divonis hukuman mati. Permohonan grasinya ditolak Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2015. Dia juga telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Artinya, eksekusi dilaksanakan dari rentang Desember 2001 hingga April 2015. Belum lagi jika ternyata penjara bukanlah cara yang efektif memberi efek jera para terpidana.

Rentang waktu yang panjang ini, awalnya ditujukan agar para terpidana mati memiliki kesempatan untuk mengajukan PK atau memperoleh Grasi. Namun, pada rentang waktu ini ternyata membuka celah kesempatan bagi terpidana. Meski terpidana berada dibalik jeruji besi, namun bisnis peredaran narkoba terus berlangsung dengan jumlah transaksi yang fantastis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan bandar narkoba senilai Rp 3,6 triliun yang dikendalikan dari 2 (dua) lapas. Terbukti bahwa lapas menjadi salah Sudah divonis mati, tapi tidak mati-mati, bisa dikatakan seperti itu. Lambannya eksekusi mati kasus narkoba di Indonesia membuat sebagian besar masyarakat geram. Bagaimana tidak, narapidana yang sudah divonis mati oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, masih terus ditunggu hingga belasan tahun untuk eksekusi. Disisi lain, sudah berapa banyak anggaran Negara dihabiskan sebagai biaya para terpidana mati ini?

Sebut saja misalnya, Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi mati gelombang II pada April 2015 silam. Pria kelahiran Palembang ini terbukti bersalah dalam kasus kepemilikan 58,7 kg ganja. Dia ditangkap di kediamannya di ibu kota Sumatera Selatan pada Desember 2000, setahun kemudian divonis hukuman mati. Permohonan grasinya ditolak Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2015. Dia juga telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Artinya, eksekusi dilaksanakan dari rentang Desember 2001 hingga April 2015. Belum lagi jika ternyata penjara bukanlah cara yang efektif memberi efek jera para terpidana.

Rentang waktu yang panjang ini, awalnya ditujukan agar para terpidana mati memiliki kesempatan untuk mengajukan PK atau memperoleh Grasi. Namun, pada rentang waktu ini ternyata membuka celah kesempatan bagi terpidana. Meski terpidana berada dibalik jeruji besi, namun bisnis peredaran narkoba terus berlangsung dengan jumlah transaksi yang fantastis. satu tempat bandar narkoba mengendalikan peredaran barang haram itu. Lapas menjadi tempat strategis bagi terpidana karena tidak tersentuh langsung oleh Polri dan BNN.

            Lihatlah kasus Freddy Budiman, Gembong Narkoba yang sudah dua kali ditangkap aparat karena kedapatan memiliki ratusan gram sabu pada 2009 dan 2011. Freddy dijatuhi hukuman 18 tahun di LP Cipinang. Namun, keberadaannya dibalik jeruji besi tidak menghentikan aksinya. Dia masih bisa mengendalikan bisnis haram menggunakan ponsel, salah satu benda terlarang dalam penjara.

Berdasarkan data yang dirilis BNN pada Mei 2012, telah mengamankan narkotika jenis ekstasi sebanyak 1.412.476 butir. Kemudian, namanya mencuat lagi setelah Mabes Polri mengamankan pengiriman 400 ribu ekstasi yang menyeret namanya pada Maret 2013. Akibat perbuatannya itu, Freddy diganjar vonis mati pada 15 Juli 2015 dan diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 10 miliar.

Namun, bukan Freddy namanya, jika tidak berulah. Berdasarkan pengakuan seorang model majalah dewasa, Vanny Rossyane. Secara blak-blakan, perempuan 22 tahun ini mengaku kerap berhubungan seks dan memakai narkoba di dalam LP Narkotika Cipinang selama menjenguk Freddy sejak 2012 yang dilakukan di ruangan kalapas, Thurman Hutapea. Karena pengakuan ini, kalapas langsung dicopot dan Freddy dipindahkan ke lapas Nusakambangan. Namun, lagi-lagi Freddy kedapatan membawa tiga paket narkoba jenis sabu dan tiga buah sim card.

Kasus Freddy diatas, mengingatkan kita bahwa penjara bukan lagi tempat pembinaan mental dan spiritual bagi para napi. Para petugas lapas semestinya paham, bahwa narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Data yang dirilis BNN pada Juni 2015 masih 4,2 juta jiwa. Namun, hanya berselang lima bulan (sampai dengan November 2015) angka itu meningkat signifikan mencapai 5.9 juta jiwa. Ironisnya, kenaikan 1,7 juta jiwa itu adalah pengguna baru.

Jika saja ada hukuman yang berat terhadap petugas lapas seperti pemecatan, bila masih ditemukan alat komunikasi secara liar di dalam lapas. Maka, hal ini dapat menjadi bagian dari solusi atas persoalan narkoba di Indonesia.

Fenomena-fenomena ini semakin menegaskan bahwa narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan luar biasa pula. Lambatnya pelaksanaan eksekusi para terpidana mati bisa dikatakan menjadi salah satu penyebab gagalnya upaya pemberantasan narkoba di negara ini.

Oleh karena itu, tak ada pilihan lain. Pemerintah harus segera mengeksekusi seluruh terpidana mati narkoba yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, tanpa terkecuali, tanpa pandang bulu, dan tanpa tawar-menawar karena dampaknya sangat merusak generasi penerus bangsa. Indonesia harus bisa berkaca dari Malaysia dan Singapura yang sangat tegas terhadap para bandar narkoba. Semoga Negara lekas berbenah.

Ikuti tulisan menarik Nur Khotimah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB