x

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memberangus Pasar Gelap Peradilan Indonesia

Tidak bisa tidak, pasar gelap peradilan Indonesia harus diberangus. Operasinya telah berjalan sistemik dan masif, layaknya operasi kelompokhttp://ww mafia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya, tidak tepat menyebut dunia peradilan sebagai pasar. Alasannya sederhana, dalam dunia peradilan itu tak boleh ada transaksi seperti pasar. Dunia peradilan adalah tentang keadilan yang disimbolkan sosok Dewi Yustisia yang membawa timbangan di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, dengan mata tertutup.

Sosok Dewi Yustisia ini secara jelas menggambarkan bagaimana dunia peradilan seharusnya memegang prinsip keadilan. Mata tertutup menggambar kenetralan seorang pengadil dalam memandang pihak yang beperkara, timbangan adalah gambaran norma hukum formal yang jadi acuan, bilah pedang menggambarkan bagaimana hukum harus ditegakkan. Gambaran ideal ini telah berlangsung dari masa ke masa.

Sayangnya, perilaku peradilan kita tak sepenuhnya seperti itu. Banyak perilaku pengadil yang melenceng jauh dari gambaran itu. Itu bisa kita alami, kita dengar, kita baca, dan kita lihat sejak lama. Peradilan kita telah menunjukkan sisi kekuasaannya, memperlakukan hukum sebagai komoditas yang berharga untuk menghasilkan uang dan kekuasaan bagi para pemiliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah pasar gelap peradilan Indonesia, yang jaringannya dimulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga ke pengadilan. Jaringan ini melibatkan makelar kasus (bisa pengacara, wartawan, hingga petugas parkir), petugas kepolisian, jaksa, panitera, hingga hakim dengan segala stratanya. Karena itulah, layaklah ia disebut sebagai mafia peradilan Indonesia.

Penangkapan Ketua PN Kepahian Bengkulu Janer Purba, hakim tipikor Toton, panitera, Badarudin Bachsin, dan dua penyuapnya Edi Santoni, dan Safrie Safei (23 Mei 2016), oleh KPK hanya contoh terkini. Sebelumnya, KPK juga menangkap panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution, yang menyeret nama Sekjen MA Nurhadi (20 April 2016).

KPK juga menangkap Deviyanti, jaksa di Kejati Jawa Barat, Bupati Subang Ojang Sohandi, Lenih Marliani dalam perkara korupasi BPJS (11 April 2016). Sebelum itu , KPK juga menangkap Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, Senior Manager PT BA Dandung Pamularno, dan Marudut yang disebut sebagai perantara (31 Maret 2016). Dua pejabat Kejati DKI yaitu kepala Kajati Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu, disebut terlibat namun hingga kini masih berstatus saksi.

Selain itu, Kasubdit Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisno lebih dulu ditangkap KPK (12 Februari 2016) dalam perkara penundaan salinan putusan kasasi MA dalam kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji, Lombok-NTB. Ikut ditangkap bersama dia, pengusaha Ichsan Suwaidi dan pengacara Awang Lazuardi.

Transkrip pembicaraan antara Andri dan panitera Kosidah yang dibacakan jaksa saat sidang (16 Mei 2016)  cukup gamblang menggambarkan bagaimana transaksi keadilan itu dijalankan. Susunan majelis hakim, hingga salinan putusan bisa dimain-mainkan. Benar-benar gambaran yang mengerikan, bagaimana kedilan dijalankan dan ditransaksikan di Mahkamah Agung, benteng terakhir keadilan.

Transaksi keadilan semacam itu sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum memasuki gerbang MA. Contoh paling kecil,  perkara pidana baik ringan, sedang, atau berat, seperti laka lantas, penganiayaan, kasus asusila, sudah bisa dimainkan sejak masih di tingkat penyidik. Praktek ini seperti kentut, ada kasak-kusuk namun tak terekspos keluar. Wartawan, pengacara atau orang yang punya kedekatan khusus dengan petugas, biasa disebut sebagai makelar kasus.

Dari kacamata bisnis, ini jelas bisnis besar yang melibatkan uang yang besar, baik uang receh dari masyarakat kecil yang kepepet dan ingin jalan pintas, hingga uang dolar bermiliar-miliar yang melibatkan pejabat atau pengusaha besar yang terlilit kasus hukum. Yang terlibat di dalamnya, tidak lagi bisa disebut satu dua orang, namun bersifat masal.

Sebagai contoh, data perkara peradilan umum tahun 2010 dari website resmi Kepaniteraan Mahkamah Agung, menyebut perkara pidana yang ditangani PN se-Indonesia mencapai 2.683.536 perkara. Rinciannya, tindak pidana cepat (tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas) 2.537.970 perkara atau 95,51 persen. Sisanya, perkara pidana biasa 144.368 perkara atau 5,43 persen, dan perkara singkat 1.198 perkara atau 0,05 persen.

Selain itu, untuk pengadilan khusus seperti pengadilan perikanan ada 125 perkara. Dan peradilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat, tercatat 44 perkara. Di tingkat banding, perkara yang masuk mencapai 7.586 perkara.

Untuk perkara perdata, tercatat ada 56.337 perkara, yang terdiri atas 25.924 perkara gugatan dan 30.413 perkara permohonan. Di tingkat banding, ada 5.902 perkara yang harus pengadilan tinggi se-Indonesia.

Bisa dibayangkan jika sebagian perkara itu diperlakukan sebagai komoditi yang diperjual-belikan, betapa besar perputaran uang haram di pasar gelap peradilan kita ini. Bukan hanya uang, dampaknya juga mempengaruhi sektor kehidupan lain. Misalnya, jika perkara yang dimainkan itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pembakaran hutan dan lahan itu.

Dan melihat hasil operasi tangkap tangan KPK, nyata tak terbantahkan, pasar gelap peradilan Indonesia telah berjalan masif, sistemik, dan terstruktur. Wajarlah pula jika pasar gelap peradilan Indonesia ini dinilai dijalankan para mafia lintas strata, mulai tukang parkir, markus, polisi, jaksa, hingga hakim.

Disebutnya nama Nurhadi, yang dikaitkan dengan penangkapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta, Edy Nasution, yang diikuti penggeledahan penyitaan uang di rumahnya sebesar Rp 1,7 miliar, memperkokoh penilaian itu. Sebagai Sekjen Mahkamah Agung, Nurhadi mempunyai kewenangan yang besar. Dia membawahi Badan Pengawas Mahkamah Agung hingga departemen SDM.

Dengan kewenangannya, Nurhadi bisa mengatur penempatan posisi pejabat di lingkungan pengadilan hingga Mahkamah Agung. Bisa dibayangkan bagaimana orang dengan posisi sepenting itu bisa tersangkut kasus transaksi keadilan. Pertanyaannya, sudah seberapa banyak pejabat di lingkungan pengadilan dan MA yang masuk dalam dekapan Nurhadi.

REFORMASI PERADILAN

Dengan kondisi dunia peradilan kita yang seperti itu, masihkah kita menganggap penangkapan beberapa aparat penegak hukum itu hal yang biasa saja? Jika memang tidak, apakah dunia peradilan kita sudah dilanda kejadian luar biasa sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa pula? Tindakan luar biasa apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan marwah dunia peradilan yang dilanda kejadian luar biasa itu?

Akan banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan. Dan mungkin semakin banyak pertanyaan dilontarkan akan semakin lama pula kita akan melangkah karena sibuk menjawab pertanyaan itu. Intinya adalah, dunia peradilan kita memang memerlukan penanganan serius, entah dengan cara apa, yang penting harus segera ada aksi nyata, baik lewat reformasi maupun revolusi.

Langkah ini diperlukan untuk memberangus para mafia yang terlibat dalam pasar gelap peradilan kita, selama bertahun-tahun tanpa tersentuh hukum. Yang diinginkan  adalah, para tokoh mafia itu, pemetaan jaringan operasinya, serta penyimpanan dan jaringan penyandang dananya. Sebuah perang yang harus segera dimulai, seperti Italia yang terus mengobarkan perang melawan mafia.

Banyak penelitian dan temuan, mulai dari investigasi Ombudsman RI, Kajian Unit Kerja Presiden Bidang Pengawan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), hingga hasil kajian dan penelitian Indonesia Corruption Watch, bisa jadi rujukan untuk mengenali cara kerja mafia ini, yang mengendalikan perkara mulai dari pra-persidangan, pendaftaran perkara, penetapan majelis hakim, proses persidangan, hingga minutasi putusan.

Oleh karena bersifat masal dan skalanya begitu luas, hanya mengandalkan KPK untuk memberangusnya jelas bukan hal yang masuk akal. Ini sebuah langkah besar yang jelas harus melibatkan banyak pihak. Mahkamah Agung jelas tidak lagi bisa memposisikan diri sebagai benteng tertutup, dengan alasan tak mau ada intervensi dari luar.

Kita selama ini memang diajari untuk menghargai dan memahami dunia peradilan sebagai dunia yang independen. Namun, saat ini menerapkan indepensi untuk menolak keterlibatan pihak luar seperti Komisi Yudisial, KPK, termasuk keterlibatan aktif presiden untuk memproduk payung hukumnya, untuk mengatasi carut marut pasar gelap peradilan ini, jelas tidak tepat. Kondisi saat ini sudah bisa disebut dalam status darurat.

Kita tentunya tak bisa membiarkan  mafia peradilan bisa mengatur jalannya peradilan seperti itu. Bahkan kasus yang sudah diputus MA pun masih bisa ditransaksikan dengan menahan berkas salinan putusannya, hingga bertahun-tahun. Keadilan telah dijadikan milik orang berduit, sementara yang tidak...silakan gigit jari atau pasrah saja.

Dalam perbincangan di Metro TV beberapa waktu lalu, Hakim Agung Gayus Lumbun menggambarkan bagaimana setiap orang yang bernaung di bawah atap MA bisa berkomunikasi dengan bebasnya dengan yang lain. Tak ada sekat atau strata. Sebuah gambaran yang bertolak belakang dengan gambaran ideal, seorang pengadil yang tak gegabah menerima tamu sekali pun itu saudaranya.

Jika hubungan di bawah atap MA itu atas dasar hubungan kemanusiaan semata, tidak ada masalah. Namun, jika komunikasi lintas strata yang bebas itu ternyata mempengaruhi susunan majelis hakim yang disusun secara mandiri di tiap kamar yang ada di MA, tentu lain lagi ceritanya. Mungkin dari sini reformasi itu bisa dimulai.

Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan harapan terakhir para pencari keadilan harus dikembalikan ke khittahnya. Para hakim agung yang jumlahnya 54 itu, adalah para pendekar hukum yang menjaga kamar-kamar keadilan di sana. Di sana reformasi harus dijalankan, hakim agung yang tak punya komitmen dan kemampuan seharusnya mundur atau dimundurkan  saja. Walau agak sulit tapi mungkin langkah ini harus dilakukan.

Saat membuka-buka laman ICW, saya menemukan tulisan Denny Indrayana, mantan wakil menteri hukum dan HAM, tentang Mahkamah Agung. Dia menyodorkan pertimbangan untuk membatasi privasi para hakim, khususnya hakim agung, agar mereka tidak dapat bertemu dengan siapa pun yang berhubungan dengan perkara, hanya memiliki satu rekening bank, dan memiliki satu nomor telepon pribadi yang terus dimonitor.

Dengan kemajuan teknonologi saat ini, melengkapi pertimbangan Deny Indrayana itu, seharusnya perlu pula dipertimbangkan penggunaan IT termasuk chip yang diimplan ke hakim atau petugas hukum yang dipandang perlu, untuk memantau aktivitasnya. Masalahnya, apa pandangan ini akan diterima Mahkamah Agung? Banyak dalil bisa digunakan untuk menentangnya, seperti soal keterlibatan KY dalam seleksi hakim yang dibatalkan MK itu.

Betapapun ngototnya kita, bahkan setelah presiden mengelurakan perpu tentang masalah ini misalnya, reformasi peradilan akan sangat sulit tercapai jika Mahkamah Agung, sebagai “embahnya” lembaga peradilan tidak menjadi motornya. Tentunya ini bukan sekedar gerakan Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih  dan Melayani yang dicanangkan Sekjen Nurhadi 19 Januari 2016 lalu. Yang terbukti jadi “tong kosong bunyinya nyaring menutupi korupsi”.

MA harus kembali menjadi lembaga peradilan yang terbuka. Pendapat Hakim Agung Gayus Lumbun tentang sistem terintegrasi dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung, yang bisa diakses secara terbuka mungkin bisa jadi salah satu wujud reformasi itu. Sistem ini memungkinkan masyarakat bisa memantau perkara yang masuk ke MA, sampai putusannya. Karena terbuka, jika nomor urut perkara diutak-utik tentu akan segera diketahui,

Namun, kembali lagi, upaya memberangus pasar gelap peradilan ini sangat bergantung pada manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Selain sistem administrasi peradilan yang baik dan terbuka, yang bisa dipantau dan diakses langsung oleh masyarakat, mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga Mahkamah Agung, mental manusia yang terlibat di dalamnya juga perlu dibina. Mungkinkah itu?

Kemajuan teknologi IT yang telah memberi kemudahan dan keterbukaan pada banyak bidang kehidupan, seharusnya ikut berpengaruh pada manajemen peradilan kita.  Kenyataan yang menunjukkan dunia peradilan kita bersikap tertutup, mahal, dan diwarnai mafia peradilan, menunjukkan anomali kehidupan. Apakah anomali itu sengaja diciptakan agar keadilan mudah dimain-mainkan, tentu perlu jawaban.

Meskipun demikian, betapapun miringnya penilaian orang akan lembaga peradilan kita, saya meyakini masih sangat banyak penegak hukum yang berdedikasi dan memegang teguh sumpah jabatan dan kehormatannya, dengan tidak ikut terlibat dalam dunia pasar gelap peradilan. Di tangan merekalah, bandul reformasi peradilan itu kini disandarkan, seberapa sulit sekalipun.

Yang pasti, dunia peradilan kita memang harus berubah, dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga Mahkamah Agung. Yang tukang parkir jadilah tukang parkir yang baik; yang pengacara jadilah pengacara yang baik; yang penyidik, jadilah penyidik yang baik; yang jaksa jadilah jaksa yang baik; yang panitera jadilan panitera yang baik; yang hakim jadilah hakim yang baik. Jangan jadi markus atau mafioso peradilan. Titik.

 

Salam.

 

Bacaan pendukung:

http://www.antikorupsi.org/id/content/press-release-bongkar-mafia-peradilan

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5721d3dd40bf2/ombudsman-ri--kondisi-pengadilan-indonesia-mengkhawatirkan?fb_comment_id=980715925358084_981364625293214#f60a3737da14e4

 

 

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler