x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hukuman Mati Itu Tidak Benar dan Tidak Baik

Lebih 100 negara pintar menolak hukuman mati. Negara-negara tergolong bodoh memberlakukan hukuman mati. Mengapa RI memilih pilihan negara bodoh?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: yobertparai.blogspot.com)

Hari-hari ini banyak diberitakan soal hukuman mati, sang produk kekuasaan. Ia  lahir tidak spontan, melalui proses berpikir, sehingga selalu bisa dikendalikan sang pemroses sendiri. Pada para terpidana mati, yang terjadi sebaliknya. Kejahatan mereka terjadi karena banyak faktor ruwet saling kait di luar proses berpikir dan kendali mereka sendiri.

Adapun bagi setiap peminat peradaban, tiap kali membaca berita hukuman mati, rasa hidupnya tergetar. Kalaupun tuntutan hukuman mati sesuai UU yang berlaku, peradaban yang agung —cinta kehidupan promanusia— sebagai rumah rasa hidup, tetap mempersoalkan dasar-dasar terdalam UU hukuman mati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masalahnya, hukuman mati bukan kesepakatan universal umat manusia. Undang-Undang hukuman mati hanya keputusan kekuasaan politis suatu negara pada suatu masa tertentu.  Banyak negara menolak hukuman mati meski tidak sedikit negara menyetujuinya. Mengapa sama-sama negara, di bumi yang sama, bisa menjadi dua kubu dengan pilihan sikap moral berbeda untuk objek yang sama? Kubu mana lebih selaras dengan peradaban yang agung?  Pertanyaan ini menguji kepekaan insani atas sisi lembut peradaban saat asas-asas moral yang mendasari kelahiran hukum di negara satu berbeda dari negara yang lain.

Asas-asas moral itu bersifat lintas budaya, religi, paham hidup, geografis dan lain-lain. Kubu setuju atau kubu menolak hukuman mati bisa terjadi di Barat atau Timur, di negara teokratis atau sekuler, di Utara atau Selatan, dan di negara-negara yang katanya sama-sama menjunjung tinggi HAM. Meski menghasilkan dua tata hukum yang bertolak-belakang, dua kubu menyatakan telah berpijak pada asas moral yang baik dan benar, dan menganggap itulah produk hukum yang paling tepat bagi negara masing-masing.

Dua kubu tersebut sama kuat dalam pendirian. Segala argumen penangkal tak akan mampu mengubah kubu terkait. Negara yang setuju atau menolak hukuman mati akan selalu bisa bertahan dengan sikap moral masing-masing.

Maka setuju atau menolak hukuman mati menjadi macet yang nyaris mustahil didiskusikan. Sekalipun sudah mengerahkan semua  ilmu yang dibutuhkan dengan kajian luas-mendalam-menyeluruh, keputusan setuju atau menolak hukuman mati akhirnya - pada intinya - hanya masalah pilihan belaka.

Dan, negara kita memilih memberlakukan UU hukuman mati. Salah satu dasarnya:   sudah konstitusional dan tidak melanggar HAM. Benarkah? Tentangnya kita bisa berdebat seumur hidup. Yang jelas, pilihan sudah dijatuhkan. Maka, kita langsung saja pada maksud catatan kecil ini sejak di awal tulisan. Tak lain ada adalah upaya mengritisi  UU hukuman mati sebagai suatu pilihan. Sebab, pilihan lain tersedia. Yaitu, menolak hukuman mati sebab salah dan buruk.

Untuk itu, diperlukan keterbukaan menerima terang peradaban dan kepekaan merasakan kelembutannya yang agung.  Ini membutuhkan banyak pemahaman dasar sebagai sarana.  Butir-butirnya banyak sekali. Terpenting di antaranya empat pemahaman dasar berikut:

Pertama, lepas dari akibat dahsyat dari penjahat kaliber paling top semisal koruptor kakap, diktator, gembong pemberontak, teroris, saudagar drugs, tukang suruh bunuh dan sebagainyal, tetapi begitu ia sudah menjadi pesakitan, pengadilan negara wajib membela bagian hak asasi manusia (HAM)-nya, yaitu hak hidupnya. Salah satu hakikat dan tujuan negara dilahirkan adalah untuk melindungi manusia yang tinggal di dalamnya.

Kedua, hukuman mati melawan asas perikemanusiaan dan mendewakan kekuasaan manusia. Tak seorang manusia pun, atas nama apapun, berhak mengakhiri hidup sesamanya. Ia produk UU negara yang sebagian sendinya berdasar norma-norma moral purba yang ciri utamanya adalah otoriter sehingga mengabaikan pendidikan.

Ketiga, hukuman mati itu  norma moral sosial purba.  Jika  dipraktikkan sekarang dengan cara kurang lebih sama saat paham hidup itu lahir, tidak sesuai zaman. Ia tidak menjawab kebutuhan nyata zaman terkini yang kian kompleks akibat dialektika kemajuan dan keterbatasannya sendiri, yang amat berbeda dari zaman ketika paham hidup dan semua ikutannya ‘’lahir’’. Itulah era purba saat khalayak luas cuma bisa mengiyakan apa saja yang dikatakan para elite segala bidang, termasuk elite agama.

Keempat, hukuman mati adalah sikap politik hukum yang sudah angkat tangan dan pesimistik menghadapi sang terpidana tak termaafkan. Tak percaya orang bisa berubah menjadi baik dengan pendidikan yang baik. Meremehkan pemanusiaan dan kemanusiaan.

Mengecilkan hakikat-makna-maksud hukum sejati, yang bukan menghukum, tapi mendidik. Memang sukar. Sebab, pendidikan - pemanusiaan manusia agar memanusia - mahal tak ternilai. Hukuman mati adalah wujud oportunisme hukum yang tidak mampu dan tidak mau repot untuk membayar harga pendidikan.

Akhirnya, semoga semua warganegara yang tidak setuju hukuman mati mau terus berjuang lebih keras lagi. Berkonsolidasi, lewat berbagai forum menyuarakan sikap dengan argumen yang kuat.

Siapa tahu suatu saat mekanisme politik di negara kita melahirkan produk hukum yang menghapus hukuman mati. Lebih 100 negara yang  relatif maju, bermartabat, dan tergolong negara pintar memilih menolak hukuman mati. Sementara negara-negara yang  memberlakukan hukum mati, umumnya adalah negara-negara  tergolong bodoh. Mengapa kita tidak memilih pilihan negara-negara pintar?

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler