x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilema Para Pewarta Songsong Fajarkala Media Baru

Senjakala media cetak telah datang. Fajarkala media baru belum juga menjelang. Transisinya ternyata tidak gampang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

POSISI industri media dan jurnalis saat ini sungguh berada di dalam sebuah kekalutan luar biasa namun tak kasat mata. Ada semacam kabut kecemasan yang melingkupi dunia pers modern yang mengambang tetapi jika kita dekati dan coba untuk pegang, lenyap begitu saja. 

Dalam sebuah kesempatan saya pernah diajak berbicara dengan seorang rekan yang bekerja di sebuah media cetak. Majalah tepatnya. Mereka ini sedang kalang kabut menghadapi invasi media daring yang makin sengit. Oplah turun dan laba perusahaan tergerus. Alhasil, mereka mencoba menjaring peluang pemasukan luring (offline). Dari promosi di acara-acara publik sampai menjadi mitra media (media partner) dilakukan. Pokoknya tidak mengeluarkan biaya. Asal bisa terus dikenal orang dan bisa menarik mereka untuk membeli produk cetak mereka.
 
Saat saya bercanda saya ingin bekerja di perusahaannya, rekan saya itu tergelak. “Kamu sudah bekerja di media online, kenapa malah mau ke cetak? Padahal kami ini yang cetak mau merambah ke online.” 
 
Entah apa yang ada dalam pikiran saya saat itu. harus saya akui, masih ada sebuah asumsi dalam benak saya bahwa bekerja di media cetak lebih prestisius daripada media daring. Kenapa? Karena dalam media cetak, akurasi lebih diutamakan dan karya bisa dihasilkan dalam kualitas yang lebih prima. Sebagai pelaku media daring, saya tahu bagaimana proses produksi berita di dalam sebuah media daring. Semuanya bergerak cepat. Speed over accuracy. Yang penting itu kecepatan, bukan ketepatan. Kalau nanti ada yang kurang akurat toh masih bisa disunting belakangan. Itupun jika masih ada waktu. Karena irama kerja kami sungguh cepat. Tidak ada waktu untuk menyunting teks yang masih mentah atau baru dituangkan dari benak reporter. Semua bisa langsung ditayangkan. Bahkan jika editor sudah terlalu sibuk, bisa langsung klik “publish” saja di dasbor platform sistem manajemen konten (CMS). Tinggal ketik tags ini itu, kata kunci ini itu, lalu kaitkan dengan tautan dari laman web lain untuk meningkatkan page views.
 
Itulah gambaran kondisi kerja pers sekarang ini sepengetahuan saya. Entah dari sudut pandang Anda.
 
Ini tidak cuma melanda media daring kecil, tetapi juga yang di mata orang sudah besar dan memiliki reputasi yang mapan. Meskipun sudah memiliki nama besar di dunia cetak, sebuah perusahaan media umumnya mesti membangun nama besarnya kembali di dunia maya. Memang di satu titik nama besar di dunia cetak akan membantu juga tetapi jika salah strategi, kehadiran mereka di dunia maya justru akan menjadi huah simalakama. Bahkan bisa dianggap sebagai beban saja bagi perusahaan.
 
Kenapa jadi beban? Bukankah media daring yang sudah bereputasi bagus akan bisa menghasilkan uang juga? Belum tentu! 
 
Untuk menggambarkan kepelikan lansekap persaingan di dunia maya memang bukan soal mudah. Katakanlah sebuah perusahaan media X sudah besar di media cetak kemudian menjangkau internet dengan mendirikan situs daringnya sendiri. Memang kualitas kontennya menarik dan unik. Ada suara (voice) tersendiri karena kebijakan editorial yang ketat dan relatif terarah. Visi dan misi mereka jelas. Idealisme jurnalisme mereka jangan diragukan lagi. Netralitas dan independensi serta objektivitas bukan sesuatu yang bisa ditawar bagi mereka. 
 
Namun, nama besar sebagai media cetak tadi bukan jaminan. Sebab di ranah maya, mereka harus berjuang lagi dari nol. Dan ketergantungan mereka terhadap entitas penguasa internet lainnya sangat tinggi. Siapa penguasa-penguasa dunia maya itu? Anda tahu mereka dan menggunakan layanan mereka saban hari. Mereka ialah mesin-mesin pencari besar semacam Google, Yahoo dan mungkin, Bing. Di sini mereka memilih berita yang berkualitas “bagus”. Soal bagus tidaknya memang sangat subjektif. Sering mereka memiliki pandangan yang lain. Sebuah konten bisa dianggap biasa saja atau bahkan murahan dan picisan namun ternyata bagi para penguasa ini justru sangat ‘menjual’. Apa boleh buat?
 
Hengkangnya Yahoo sebagai agregator konten (content agregator) di Indonesia membuat sebagian media daring Indonesia gigit jari. Perolehan page views mereka anjlok. Karena dulu kurator kontennya adalah manusia, berita-berita yang lebih bermutu seperti berita politik dimuat di halaman depan mereka. Namun begitu kurasi kontennya dibebankan pada bot (mesin), akhirnya yang muncul adalah berita-berita bertema seks dan kekerasan. Inilah kenapa berita-berita semacam itu makin mudah kita temukan di internet.
 
Sebagian wartawan dan penyunting memilih untuk setia pada idealisme jurnalistik yang mengharuskan mereka untuk tidak membuat judul-judul bombastis dan tulisan yang tendensius, menyudutkan, berat sebelah atau hiperbola. Akan tetapi, sebagian lainnya lebih memilih mengejar hits dan page views. Kenapa? Sebab para pemilik modal yang menjadi majikan meskipun sebenarnya rekan menuntut mereka untuk menaikkan pencapaian menurut parameter kuantitatif tersebut. Peringkat Alexa, page views, hits menjadi berhala baru bagi jurnalis yang bermigrasi ke dunia daring. Ini sama sekali tidak terelakkan. Jika hanya memajang konten dan tulisan yang ‘lurus’ dan tidak bombastis, peringkat situs berita akan turun dan akhirnya para pemilik modal di bisnis media itu bisa menghentikan sokongan dana mereka. Inilah yang sudah merajalela di dunia media cetak yang konon sudah mengalami senjakala. Jadi jangan heran begitu kita buka portal-portal berita terkini, kita lebih banyak menemukan headline dan konten yang berbau kekerasan, seks dan dramatisasi atas berbagai peristiwa di sekitar kita. Bahkan jika bisa, sedikit kebohongan bisa dipakai sebagai bumbu di sana sini. Asal tidak begitu kentara dan mencolok, bukan masalah besar.
 
Apalagi jika seseorang menjabat sebagai pimpinan redaksi media daring, tuntutan untuk terus mencapai peringkat setinggi mungkin di internet memang ada dan intensitasnya luar biasa. Masalahnya mereka didorong untuk mencapai sebanyak mungkin dalam kondisi penuh keterbatasan dan keprihatinan. Anggaran untuk iklan contohnya dibatasi bahkan dihilangkan jika bisa. Di saat yang sama para atasan dan pemilik modal tetap terus menekan agar bisa mencapai peringkat lebih tinggi di duniamaya. Tingkat kompetisi yang mencekik leher para pelaku media daring ini tergolong amat tinggi dan setiap orang bisa gila karena tekanan persaingannya. Jika sudah di atas pun bukan jaminan akan selalu di atas seterusnya. Bisa saja esoknya melorot dan bahkan terjungkal tanpa sempat menyelamatkan diri karena berbagai faktor, dari keterbatasan sumber daya keuangan, manusia, sampai keterampilan. Pokoknya kondisinya lebih pelik dari apa yang kita pikirkan.
 
Salah satu cara menekan pengeluaran ialah menolak pemuatan berita-berita kontributor daerah. Kontributor ini mesti dibayar begitu beritanya dimuat. Kebijakan pucuk pimpinan akhirnya mengutamakan pemuatan berita-berita yang dibuat para jurnalis di ibukota. Karena jurnalis pusat sudah digaji dan masih bisa dieksploitasi semaksimal mungkin. Itulah kenapa kita lebih banyak menjumpai berita ibukota yang tidak relevan bagi pembaca daerah di media-media selain ibukota. Salahkan pengetatan anggaran itu!
 
Kalau sudah begini, yang jadi korban juga wartawan lagi. Lalu iseng saya lontarkan pertanyaan pada seorang jurnalis asing. Katanya, kita para pewarta masa digital mesti berkonsentrasi ke media sosial. Ciptakan konten viral! begitu katanya sampai air ludahnya muncrat ke meja. Katanya lagi,"Buat saja blog untuk menunjukkan karya jurnalistikmu sendiri. Kau akan bisa menentukan gayamu sendiri; orang yang menyukaimu akan menjadi pengikutmu. Berkelanalah dan sebarkan berita dari tempat-tempat yang tak terjamah sebelumnya. Manfaatnya sungguh tidak akan ada habisnya. Ini alat dan metode saya yang bisa membantumu..." Ia sodorkan sebuah kartu nama yang di dalamnya ada  tautan. Saat saya klik, isinya ulasan bukunya di Amazon.com. Apa sungguh saya harus begitu juga? (Foto: Wikimedia Commons)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler