x

Dugaan Katebelece Mahkamah Konstitusi

Iklan

Despan Heryansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Runtuhnya Mahkamah (Hukum) Indonesia

Di tengah maraknya kasus hukum yang melanda, realitas tentang MK dan MA berbanding terbalik dengan harapan masyarakat indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua mahkamah yang menjalankan sistem hukum di Indonesia tengah mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Keduanya tengah menghadapi masalah internal yang mencoreng nama baik institusi secara keseluruhan. Pertama Mahkamah Agung, saat ini sedang menjadi objek utama pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena adanya dugaan keterlibatan Sekretaris Jendral MA Nurhadi terhadap kasus penyuapan. Dugaan ini mencuat setelah beberapa pekan lalu KPK menangkap basah salah satu pegawai MA yang sedang melakukan transaksi suap.

Kedua Mahkamah Konstitusi, akhir-akhir ini Mahkamah Konstitusi tengah menjadi sorotan publik karena beberapa masalah yang cukup ironis, setidaknya ada dua masalah yang menjadi sorotan, yaitu tindakan hakim MK yang dianggap “tuna” etika (misal ditemukannya surat Ketua MK kepada Kejaksaan Magelang) dan adanya putusan-putusan MK yang belakangan dinilai miskin serta tandus keilmuan. Hal ini sangat disayangkan mengingat pada masa-masa awal berdirinya MK sampai dengan 2010, MK menjadi salah satu lembaga negara yang diharapkan menjadi penggerak reformasi. Kita masih ingat betapa perjuangan Prof. Jimly Ashiddiqi lalu Prof. Mahfud MD untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat terhadap MK. Kini MK kehilangan kepercayaannya bahkan ikut menjadi sasaran kecurigaan masyarakat. Barangkali ini yang disebut dengan arus balik (meminjam istilah Pramoedia Anantatoer) lembaga-lembaga pasca reformasi.

Kontra Das Sollen

Kedua realitas di atas berbanding terbalik dengan harapan masyarakat indonesia atas keberadaan dua lembaga ini. Di tengah maraknya kasus hukum yang melanda republik ini, mulai dari kasus korupsi yang belum juga berhasil diselesaikan, hingga kasus pemerkosaan disertai pembunuhan yang belakangan menjadikan anak-anak sebagai korbannya, harapan masyarakat terhadap kedua lembaga ini sangat besar sebagai penyelenggara penegakan hukum (law enforcement). Tetapi nyatanya dua mahkamah ini malah mempertontonkan tindakan-tindakan yang tidak hanya mencoreng nama baik intsitusi tetapi juga mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mahkamah Agung sebagai penyelenggara tertinggi kekuasaan kehakiman sejatinya menjadi contoh (teladan) serta pengawas bagi penyelenggara kekuasaan kehakiman yang berada di bawahnya, tapi jauh panggang dari pada api, MA justru tidak ada bedanya dengan “tikus-tikus” yang menggerogoti negeri ini. Jika menggunakan teori Lawrence Friedman, dimana sistem hukum berpegang pada tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Maka sejatinya keberadaan struktur hukum yang terdiri dari institusi dan aparatur penegak hukum, menjadi motor utama penggerak penegakan hukum tersebut. Lalu jika aparatnya sendiri mencerminkan lakon-lakon yang kontra hukum, mau dibawa kemana republik ini?

Melihat kondisi republik saat ini, di mana KKN telah menjadi sistem yang menggerogoti aparatur penegak hukum, maka rasanya apapun yang kita tawarkan untuk merekonstruksi sistem yang ada hanya sia-sia saja. Satu-satunya harapan yang masih cukup berpeluang adalah kepada generasi yang akan datang. Tapi entahlah, melihat kondisi pendidikan yang tak kunjung menunjukkan perbaikan hingga saat ini. Semoga...

 

Despan Heryansyah, SHI., MH.

Mahasiswa Program Doktor FH UII YOGYAKARTA

Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII

Ikuti tulisan menarik Despan Heryansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini