x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Haruskah Tunduk pada KBBI?

KBBI kerap dijadikan acuan dalam menyalahkan atau membenarkan bahasa yang kita gunakan. Tapi apakah kedudukannya sedemikian kuat sampai setara kitab suci?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Kami menggunakan kamus tetapi tidak mengimaninya..." 

Suara pria berusia senja itu menggema di dinding ruangan yang hening. Dialah Amarzan Loebis, jurnalis veteran dari media besar Tempo. Saya sungguh beruntung bisa menyaksikannya berbicara panjang lebar tentang diksi dan kosakata sore itu. 

Perkataannya yang menohok itu mengingatkan saya dengan kedua orang teman yang saya temui sedang berseteru di media sosial. Sebab perselisihan mereka bukanlah perkara penting dan darurat yang bisa mengancam nyawa. Mereka berselisih paham soal mana yang benar antara "silakan" versus "silahkan", "utang" versus "hutang", dan sebagainya. Perdebatan berlangsung cukup sengit juga karena keduanya bukan orang yang tidak bergelut dalam bidang bahasa sebagai profesi mereka. Jadi bisa dikatakan cakupan pengetahuan mereka kurang. Yang satu menyalahkan yang lain dengan acuan sebuah artikel yang ternyata juga ditulis berdasarkan riset yang kurang mengenai bahasa Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baginya, penyusunan kamus bahasa Indonesia juga kerap ngawur. Amarzan mengungkit soal kesalahkaprahan terkait pemaknaan kata "canggih". Katanya, di Pusat Bahasa terjadi sebuah kekeliruan yang mendistorsi makna semula kata tersebut, dari "cerewet" menjadi "mutakhir".  "Mereka (Pusat Bahasa - pen) menyamakannya dengan 'sophisticated'. Padahal saya yakin jika bisa diteliti dalam bahasa Melayu, Jawa, atau bahasa daerah lain akan ditemukan padanan katanya yang lebih pas," tutur pewarta yang masih berjiwa muda itu. semua orang di ruangan mengangguk pelan.

Kata "seronok" juga menjadi korban distoris pemaknaan berikutnya di kamus. Amarzan menceritakan di tahun 1980-an saat ia menerima laporan dari seorang jurnalis di kota gudeg. Apa pasal? Ternyata ada sebuah acara hiburan musik dangdut yang dianggap seronok di alun-alun utara Yogyakarta. Amarzan terkejut karena wartawan itu menggunakan kata "seronok" untuk menggambarkan pakaian dan cara menampilkan diri sang biduanita di panggung yang dianggap memancing syahwat penonton (pria). "Padahal 'seronok' artinya itu bagus, manis," paparnya.  

Amarzan memberikan amaran saat kita ingin menggunakan kamus apapun. "Gunakan dengan sikap kritis. Tidak takluk sepenuhnya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia karena para penyusunnya juga punya potensi untuk keliru!"

Sekali lagi, fanatisme dalam bentuk apapun, pada hal apapun memang tidak membawa kebaikan absolut. Akan ada konsekuensi negatif dari berbagai upaya untuk berpegang teguh pada sesuatu secara berlebihan, tanpa adanya sikap kritis dan skeptis dari kita sendiri sebagai pengguna bahasa.

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler