LUMAJANG - Ratusan mualaf suku Tengger di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mulai menjalankan puasa sejak 6 Juni 2016. Empat masjid di Argosari sudah mulai menjalankan salat tarawih berjamaah pada Ahad malam lalu. Salah satunya adalah Masjid Al Hidayah, Dusun Bakalan. Lebih dari 100 anggota jemaah melaksanakan salat tarawih. Setelah tarawih, tradisi nampani poso atau tradisi makan bersama menyambut datangnya Ramadan digelar di masjid tersebut.
Didin Pratanto, juru dakwah Islam di kawasan Tengger, mengatakan para mualaf Tengger sangat antusias menyambut datangnya Ramadan. "Warga bahkan sudah bersiap beberapa hari sebelumnya," kata Didin kemarin. Beraneka ragam persiapan dilakukan untuk menyambut datangnya Ramadan. "Mulai dari membuat kue hingga belanja makanan untuk persiapan selama Ramadan," katanya.
Bahkan banyak di antara mualaf Tengger yang membeli sarung atau mukena. Mereka turun ke pasar induk di Kecamatan Senduro. Desa Argosari berada di ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Probolinggo, Desa Argosari merupakan daerah penghasil kentang dan daun bawang. Sebagian besar warganya adalah petani.
Dakwah Islam di Desa Argosari sudah dilakukan sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Didin Pratanto adalah salah satu juru dakwah di Desa Argosari. Dalam menyambut Ramadan, ada beberapa juru dakwah yang diterjunkan untuk mendampingi para mualaf Tengger ini selama Ramadan. Bahkan ada delapan mahasiswa Sekolah Tinggi Dakwah Mochamad Natsir, Jakarta, yang diterjunkan ke Argosari.
Para juru dakwah ini diinapkan di rumah-rumah penduduk. Tugas mereka, kata Didin, adalah mendampingi mualaf Tengger menjalankan ibadah puasa serta memberi bimbingan keagamaan. Bimbingan diperlukan karena level pemahaman mualaf Tengger berbeda-beda. "Ada yang sudah lama menjadi mualaf dan ada juga yang baru hitungan hari atau bulan," kata Didin.
Sebagai mualaf yang baru, tentu saja menjalankan ibadah puasa sehari penuh bukanlah perkara yang mudah. Ada banyak pengalaman unik mualaf Tengger yang diceritakan Didin selama sepuluh tahun menjalankan dakwahnya di tengah permukiman suku Tengger. Salah satu pengalaman yang berkesan adalah ketika membimbing Marto, anggota suku Tengger. Kejadiannya beberapa tahun lalu saat hari pertama Ramadan. Marto, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh di kebun sayur, mengaku tidak kuat menjalankan ibadah puasa pada hari pertama Ramadan.
Pekerjaan Marto cukup berat karena dia harus mengolah lahan sayur di Desa Argosari. Kepada Didin, Marto bercerita bahwa pada siang itu dia tidak kuat meneruskan pekerjaannya, padahal saat itu belum tengah hari. Mau membatalkan puasa, Marto merasa sayang dengan puasanya. Akhirnya dia memilih menghentikan pekerjaannya dan kemudian tidur di gubuk di kebun sayur. Dia baru bangun pada sore hari setelah masuk waktu asar.
Akhirnya dia pulang untuk kemudian menunggu waktu berbuka. "Bisa jadi banyak lagi yang seperti Pak Marto," Didin menambahkan. Hal unik lainnya yang bersifat massal pada mualaf Tengger adalah bagaimana mereka ketika menunggu waktu berbuka. "Sejak asar mereka sudah menyalakan radio, menunggu azan magrib (dari Lumajang)," katanya.
Padahal waktu magrib Lumajang dengan Argosari berselisih 3-5 menit. "Ini yang terkadang bikin repot. Mereka harus menunggu 3-5 menit setelah mendengarkan suara azan di radio, baru kemudian berbuka," kata Didin. Akhirnya yang menjadi patokan waktu berbuka adalah azan di masjid Argosari.
DAVID PRIYASIDHARTA
Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.