x

Pembahasan APBN-P 2016 Tunggu Tax Amnesty

Iklan

Awalil Rizky

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Efisiensi Belanja dalam APBN Perubahan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 menetapkan target pendapatan yang luar biasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 menetapkan target pendapatan yang luar biasa. Kemudian baru diketahui bahwa realisasi pendapatan pada 2015 justru sedikit menurun dibanding pada tahun sebelumnya. Target kenaikan pendapatan pun terbilang fantastis, sebesar 21,85 persen, dari Rp 1.494 triliun menjadi Rp 1.820,4 triliun. Pendapatan selama sepuluh tahun terakhir cenderung tumbuh di kisaran 5–10 persen.

Selain karena realisasi 2015 jauh di bawah asumsi ketika APBN 2016 disusun, ada kebijakan andalan yang disebut pengampunan pajak (tax amnesty). Secara teoretis dan penghitungan, kebijakan itu terbilang masuk akal jika berjalan lancar. Ketika kebijakan itu masih dalam proses dan belum pasti, fenomena ekonomi global dan domestik justru membuat berbagai pos pendapatan cenderung terkoreksi ke bawah, seperti harga migas dan komoditas yang merosot, kondisi ekspor-impor kurang menggembirakan, dan lifting minyak di bawah target.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seiring dengan target pendapatan yang fantastis, belanja pun digenjot, bahkan waktu lelang dipercepat. Belanja ekspansif disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang masih lesu. Tapi, dari realisasi lima bulan berjalan, banyak pendapatan akan jauh di bawah target, yang memaksa koreksi pos belanja. Seandainya kebijakan pengampunan pajak berjalan pun, APBN Perubahan 2016 harus disusun untuk mengoreksi beberapa item pendapatan. Jika tidak, defisit anggaran akan membengkak dan melebihi batas 3 persen dari PDB, yang diperbolehkan oleh undang-undang.

Masalahnya, belanja apa saja yang dapat dihemat atau diefisienkan dalam semester tersisa? Belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat (BPP) serta transfer ke daerah dan dana desa. BPP terdiri atas belanja kementerian dan lembaga (K/L) dan belanja non-K/L. Transfer ke daerah di antaranya adalah dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana insentif daerah, dan dana otonomi khusus.

Pembahasan kita mulai dari belanja non-K/L yang sulit dikurangi, hanya berkurang proporsional sesuai dengan aturan, atau bahkan terpaksa bertambah dalam APBNP 2016. Belanja non-K/L sebesar Rp 541,4 triliun antara lain berupa pembayaran bunga utang Rp 184,9 triliun, subsidi energi Rp 102,1, dan subsidi non-energi Rp 80,5 triliun. Pembayaran bunga utang akan melebihi target dan bisa mencapai Rp 193 triliun, karena stok utang yang bertambah, penerbitan SBN (surat berharga negara) lebih awal, sedangkan imbal hasil SBN tetap tinggi.

Subsidi energi hanya bisa turun sedikit di kisaran Rp 97 triliun, karena penurunan subsidi migas yang terkompensasi oleh subsidi listrik yang meningkat, antara lain karena carry over dan penundaan kenaikan tarif. Subsidi non-energi mungkin akan meningkat menjadi Rp 90 triliun, antara lain karena tambahan subsidi pangan dan pupuk. Ada pula subsisi bunga kredit program yang tetap seperti kredit usaha rakyat demi penurunan suku bunga kredit usaha mikro, kecil, dan menengah. Hanya ada sedikit item belanja non-K/L yang bisa ditekan, seperti belanja pegawai non-K/L.

Transfer ke daerah memang akan sedikit berkurang, antara lain karena penurunan pendapatan negara yang dibagihasilkan. Paling jauh yang dapat dilakukan adalah perbaikan arus kas dengan memaksa penundaan beralasan efisiensi yang diawasi ketat. Adapun dana desa tetap harus diberikan sesuai dengan target semula.

Dengan demikian, peluang efisiensi terbesar hanya dalam belanja K/L. Berdasarkan hitungan teknis, belanja ini dapat ditekan hingga sebesar Rp 50 triliun, dari Rp 784,1 triliun dalam APBN 2015 menjadi realisasi di kisaran Rp 735 triliun. Tapi itu butuh kerja keras dan kedisiplinan serta ditetapkan dalam APBN Perubahan 2016. Efisiensi belanja operasional itu antara lain dalam hal perjalanan dinas dan paket rapat; belanja jasa (listrik, telepon, air, serta daya dan jasa lainnya); dan pembangunan gedung baru (yang masih diblokir). Efisiensi belanja lainnya, seperti pemeliharaan/pengadaan peralatan kantor, iklan, dan modal non-infrastruktur, dapat ditunda.

Dengan prakiraan di atas beserta efisiensi belanja K/L, ditambah proyeksi normal persentase realisasi penyerapan pada tahun kedua pemerintahan, belanja total diperkirakan turun, dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 1.960 triliun. Angka belanja sebesar itu masih membutuhkan revisi dalam pos pendapatan agar besarnya defisit tidak melanggar ketentuan. Upaya serius mesti dilakukan dalam penyusunan APBN-P 2016 saat ini.

Bagaimanapun, harus diingat bahwa APBN adalah kebijakan fiskal. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi berarti kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Adapun fungsi stabilisasi adalah anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.

Akhirnya, pemerintah harus ingat bahwa tersedia pilihan kebijakan lain selain fiskal, yang berarti meningkatkan sinergi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan DPR. Optimalkan kebijakan moneter, kebijakan perbankan, dan kebijakan sektor riil. Bersinergilah demi ekonomi negeri.

Awalil Rizky, Chief economist Permodalan BMT Ventura

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 8 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik Awalil Rizky lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB