x

Pegawai negeri sipil (PNS) menguap saat berdoa dalam Upacara Peringatan HUT Korpri ke-44 di lingkungan Pemprov DKI Jakarta di Lapangan Eks Irti Monas, Jakarta, 30 November 2015. Dalam pidatonya saat memimpin upacara Wakil Gubernur DKI Djarot Syaiful

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menimbang Opsi Pensiun Dini PNS

Setelah ‘gagal’ melakukan reformasi struktural dan pengendalian kegiatan birokrasi, Yuddy Chrisnandy mewacanakan pemangkasan PNS hingga 1 juta orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menteri  Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN & RB), Yuddy Chrisnandy kembali membuat kegaduhan di ruang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Betapa tidak! Setelah sebelumnya ‘gagal’ melakukan reformasi struktural  kelembagaan, dan pengendalian kegiatan birokrasi di hotel-hotel berbintang, kembali mewacanakan  pemangkasan PNS hingga 1 juta orang! (Suara Merdeka,  2 Juni 2016)

Diakui Kemen PAN dan RB bahwa jumlah PNS di Indonesia  saat ini konon hanya 3,5 juta saja. Sedangkan dari data Kemen PAN dan RB, hingga Desember 2015 jumlah PNS mencapai 4,53 juta. Untuk alasan tersebut Men PAN dan RB bermimpi perlunya pengurangan secara radikal jumlah PNS yang konon akan segera dijalankan pada tahun 2018 sesuai dengan Renstra Kemen PAN dan RB.  Salah satu alasan mendesaknya pemangkasan jumlah PNS karena diakui bahwa kinerja dan kualitas kerja PNS banyak dinilai jauh dari harapan. Disamping dikenal jauh dari disiplin dalam bekerja dan mengerjakan tugas pokok dan fungsinya, juga kinerja PNS dikenal luas tanpa target, minim kompetensi, dedikasi apalagi prestasi.

Akibatnya fatal! Tak hanya jumlah anggaran untuk penggajian dan fasilitas negara yang rata-rata per tahun mencapai Rp 16 triliun lebih, juga kualitas layanan publik dan solusi agenda-agenda pemerintahan dan pembangunan yang belum prima.  Keluhana dan kritik terhadap kualitas kerja dan kinerja PNS demikian sering menghasilkan satir di ruang publik mulai PNS itu bekerja atas sistem PGPS (Pinter Goblok Podo Sengsarane) atau sarkasme sejenis seperti ‘pasukan 7002’ karena kebanyakan jam kerja PNS hanya datang tepat jam 7 pagi, dan datang apel siang lagi jam 2 siang, sementara dari jam 8-1 siang banyak yang tak bekerja dengan penuh dedikasi, semangat dan disiplin tinggi untuk mencapai target kinerja lembaga/organisasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atas dasar opini publik demikian, sudah lama pemerintah menggagas wacana untuk segera mengurangi jumlah PNS bahkan berbagai wacana sejenis seperti rasionalisasi, hingga pemangkasan secara radikal untuk memutus blunder jumlah PNS tersebut hingga kini berkembang wacana opsi pensiun dini PNS.  

Opsi pensiun dini nampaknya merupakan langkah baru yang perlu mendapat apresiasi dan kajian mendalam-menyeluruh dari Kemen PAN dan RB bersama kementrian terkait (Kementrian Keuangan, BPK dan Bappenas) karena menyangkut ‘pesaongon serta rencana penonaktifan PNS dalam jumlah yang besar. Konon jika dikalkulasi secara tepat dan akurat, diperlukan sebanyak 365 triliun untuk memberikan ‘pesangon’ dan dana pension untuk 1 juta PNS yang ‘dipensiundinikan’ oleh pemerintah. Anggaran sebesar itu, dapat disebut hal yang mustahil bisa direalisasikan dalam 1-2 tahun mendatang, karena kondisi APBN/D yang masih sedang ‘krisis’ dan defisit setiap tahun anggaran (Kompas, 31/5/2016).

Namun diakui, opsi pensiun dini merupakan pilihan kebijakan yang paling ‘aman’ dan ‘terkendali’ karena tidak hanya berbasis kemampuan keuangan negara juga memberikan ‘pengharapan baru’ bagi PNS yang selama ini memang merasa tidak bekerja dengan standar yang ideal sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Disamping itu, dengan opsi pensiun dini diharapkan terjadi win-win solution dimana antara pemerintah/negara dan PNS bersangkutan bersama-sama bisa berkolaborasi untuk bermusyawarah secara demokratis dan adil untuk menghitung besaran pesangon dan kelayakan pensiun dini. 

Formulasi Pensiun Dini

Harus diakui, sebelum pemerintah/negara melalui Kementrian terkait melakukan konsolidasi dan validasi data PNS secara menyeluruh untuk memastikan jumlah PNS dan kualifikasi yang sebenarnya dibutuhkan baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang di semua lini kelembagaan/organisasi pemerintaha (pusat-daerah), harus terlebih dahulu dipertimbangan formulasi pensiun dini. Mengapa? Karena dua alasan pokok.

Pertama, formulasi pensiun dini merupakan fondasi untuk memangku struktur penganggaran dan alokasi – distribusi dana negara yang dipersiapkan. Formulasi ini tak hanya menyangkut kalkulasi akuntansi-keuangan yang memadai, layak dan adil secara ekonomi, tetapi juga mampu menjawab ‘masa depan’ PNS pasca pensiun dini. Hal ini strategis diperhatikan pemerintah karena urusan pensiun dini bukan sekedar urusan pesangon an sich, tetapi juga dampak sosial politik yang dipastikan tak ringan bagi pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Kedua, formulasi berbasis kemampuan anggaran negara on cash. Hal ini penting dijalankan pemerintah apabila hendak melakukan pensiun dini. Padahal diketahui, APBN kita selama 10 tahun terakhir tak pernah surplus dan selalu kekurangan anggaran bahkan untuk belanja rutin sekali pun. Untuk alasan ini, formulasi pensiun dini on cash harus menelisik secara jujur dan adil serta transparan kemampuan keuangan negara sehingga memberikan efek kepuasan dan kepastian pada PNS yang berani dipensiundinikan. Maka tak dibenarkan, pola ‘gali lubang tutup lobang’ dalam pembiayaan dan penyediaan dana pensiun dini seperti yang diwacanakan Kemenpan dan RB.

Maka berangkat dari dua hal diatas, pemerintah melalui Kementrian terkait memiliki PR besar yang akan menguras energi, waktu dan anggaran yang tidak sedikit. Namun sepert disebutkan pakar politik LIPI, Syamsudin Harris, (2016),  banyak pesimisme PNS berkembang dengan wacana rasionalisasi, pemangkasan atau pensiun dini dalam waktu dekat oleh Kemen PAN dan RB. Hal mana lantaran selama ini apa yang dikeluhkan dan dijanjikan pemerintah kepada segenap PNS hingga detik ini belum dijalankan secara murni dan konsekuen. Yakni menata kembali struktur kelembagaan, pos-pos jabatan dalam analisis jabatan dan kompetensi PNS yang diperlukan lembaga/instansi pemerintah. Buktinya di level pusat saja, jumlah kementrian yang menurut hasil analisis Kemen PAN dan RB tahun 2014 konon ‘hanya’ butuh 16 Kementrian, kini masih berjumlah 34, dimana jumlah kementrian yang bengkak butuh  pegawai yang banyak pula. Padahal seiring dengan semangat otonomi daerah, sejatinya di level pusat ‘hanya’ butuh pos-pos pekerjaan dan jabatan ‘fungsional’ karena 80% layanan publik secara langsung sudah berada di level daerah. Namun kembali, pemerintah pusat justru terus menambah jumlah PNS bahkan tanpa seleksi yang kredibel hingga melakukan pengkatan PNS dari tenaga honorer untuk dukungan politik tertentu yang menggerus keuangan negara tetapi hanya menghasilkan PNS kualitas rendah!

Di sisi lain, janji pemerintah untuk segera melaksanakan UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PP no. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP no. 46/2011 tentang Penilaian kerja, Kinerja dan Prestasi PNS dan puluhan regulasi sejenis lainnya, yang sudah susah payah diterbitkan dalam operasionalnya di lapangan sering ‘melempem’ karena tak didukung budaya kerja dan tradisi kinerja modern di ranah birokrasi. Karenanya semestinya Kemen PAN dan RB lebih dahulu mengerjakan amanat UU dan PP diatas sebelum mewacanakan rasionalisasi, pemangkasan hingga opsi pensiun dini PNS!

Karena sejatinya,seperti data BPS (2015),  jumlah PNS dalam komposisi jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai 263 juta orang, sebenarnya belum dapat dikatakan over PNS. Karena jika dikalkulasi, dengan dinamika kebutuhan dan tuntutan bisnis, investasi dan layanan publik yang terus berkembang luas dan massif, untuk konteks Indonesia sebenarnya jumlah ideal PNS mencapai 5,2 juta (Banyumas Policy Watch, 2015), baik level administrasi, keuangan, teknik, investasi, pendidikan, kesehatan-medis dan infrastruktur serta ekonomi rakyat. Sayangnya, dari jumlah yang ada sekarang (4,5 juta), distribusinya tidak merata dan banyak terpusat di kota-kota sementara di daerah pelosok, perbatasan dan daerah terpencil justru selalu berteriak kekuarangan PNS. 

Oleh karena itu, hemat penulis, wacana rasionalisasi, pemangkasan hingga opsi pensiun dini diharapkan bukan sekedar membuat kegaduhan yang tak perlu, tetapi harus berbasis kajian menyeluruh agar tak hanya untuk sok disebut inovatif, tetapi tak banyak diketahui setting politiknya. Pada pendulum inilah, presiden Jokowi harus segera bersikap serta mempersiapkan berbagai dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Ingat, PNS sudah menjadi asset nasional karena menentukan pertumbuhan ekonomi nasional, dan pemangkasan secara emosional hanya akan menghasilkan kekacauan baru yang tak perlu! Maka opsi pensiun dini bisa mulai dikampanyekan secara jujur dan adil-bertahap agar tak menjadi bauh simalakama baru bagi pemerintah sendiri!***

Tasroh, S.S,.MPA,.MSc

PNS di Pemkab Banyumas

Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific Univesity, Jepang

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler