x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rekonsiliasi Katolik

Dalam tradisi Katolik, prasyarat mutlak rekonsiliasi adalah pengakuan diri, pertobatan dan maaf. Mungkin ini secara hakiki juga berlaku dalam agama2 lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: slideshare.net)

 

Konflik  lebih setengah  abad  sejak 1 Oktober 1965 sampai hari ini menyangkut tanggungjawab negara atas pelanggaran HAM berat ternyata  tetap berat dibebani banyak  kepentingan. Kepentingan dengan spirit  jahat masih amat dominan terus ngotot berupaya membodohi bangsa Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di tengah kekacauan dan kebekuan sosial semacam itu, kata  “rekonsiliasi = rukun kembali” mengemuka ke ranah publik nyaris tiap saat.  Hati nurani nalar sehat sejatinya mengakui,  rekonsialiasi antara korban dengan para pembuat korban adalah keharusan, demi peradaban lebih baik di masa depan.

 

Sayang sekali. Rekonsiliasi  yang kini tenar itu mustahil bisa terjadi tanpa pengakuan diri, pertobatan dan maaf. Dalam tradisi Katolik  - mungkin secara hakiki juga berlaku di banyak agama lain meski dengan rumusan lain -  tiga syarat itu mutlak. Tak bisa ditawar dan tak ada kompromi!

 

Tiga syarat itu menjadi mutlak, sebab dalam tradisi Katolik rekonsiliasi selalu memuat hal horizontal (antar manusia) dengan hal vertikal (antara manusia dengan Tuhan) pada waktu yang sama. Vertikalitas rekonsiliasi mengharuskan horizontalitas rekonsiliasi. Mereka saling memuat secara dialektis. Tanpa ini, tak mungkin terjadi  rekonsiliasi.

 

Prasyarat  tersebut agaknya berbeda dengan rekonsiliasi bahasa politik yang kini amat sangat repot dan amat berliku-liku itu.  Di sini rekonsiliasi seolah-olah cuma mengacu rekonsiliasi horizontal antarorang, semisal antara pembunuh dengan korban-korbannya, atau antara para koruptor dengan korban-korban korupsi ialah rakyat banyak. Ini bukan berarti jelek atau kurang.  Jika rekonsiliasi yang "cuma" horizontal itu berlangsung secara sejati, otomatis sejatinya akan memuat rekonsiliasi vertikal pula - dalam bahasa teologis disebut "katolik anonim".

 

Rekonsiliasi dan Sakramen

Karena keharusan saling muat horizontalitas dan vertikalitas, tiga prasyarat di atas menjadi harga mati sebagai “alat bayar yang sah”  untuk rekonsiliasi. Atau: prakondisi itu menjadi keharusan agar tersedia kondisi-kondisi logis-objektif sebagai dasar  terjadinya rekonsiliasi yang absah. Prasyarat itu sudah berlaku sejak awal gereja purba sekitar 2000 tahun lalu, dan hakikatnya sampai hari  ini tetap tak berubah, tak peduli zaman sudah menjadi sibernetik atau berada di zaman edan.

 

Artinya, rekonsiliasi itu bukan cuma upacara atau retorika pengampunan, tetapi menjadi sakramen ialah tempat dan saat peristiwa duniawi diangkat ke jagat sakral. Ia bukan sekadar fakta empiris-material-horizontal, apalagi cuma kodian, yang bisa "dibisniskan" di pasar bumi yang apa pun, semisal pasar politik dan pasar hukum. Lebih dari itu, rekonsiliasi itu sudah menjadi fakta metafisik-ideal-vertikal yang cuma bisa "dibisniskan" secara gratis sebab alat pembayarannya yang sah adalah iman, pengharapan dan cintakasih (tritunggal yang tak bisa dipisahkan).

 

Dalam rekonsiliasi, segala fakta empiris yang kasat mata atau "kasar" dicerahkan sehingga terbuka pada segala yang tidak kasat mata atau "halus". Di sini semua pihak terkait tercerahkan akalbudi atau entah apanya, hingga taraf kemanusiaan yang seolah tak bisa lepas dari "keterkungkungan jasmani" itu terlewatkan sehingga terbuka pada segala yang "rohani". Dengan demikian istilah sakramen yang khas Katolik (secara terminologis katolik berarti umum atau universal) itu, agaknya bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, tentu saja dengan "terminologi" yang cocok bagi sang pemanfaat sendiri.

 

Kembali ke tradisi Katolik, jalan ke rekonsiliasi itu harus melewati ritual, disebut sakramen pengakuan atau tobat, bisa sakramen tobat pribadi atau tobat publik. Bukan ritualnya yang penting, tapi sikap batin ke proses rekonsiliasi tersebut. Pihak terkait mempersiapkan diri, pasrah, kalau perlu dengan puasa dan pantang, merenungi "dosa" dan mempersiapkan pertobatan serta kesediaan melakukannya secara nyata.

 

Jika dilakukan semestinya, maka sakramen tobat itu berarti penyerahan diri secara total kepada Tuhan (vertikal), lewat manusia konkret (horizontal). Horizontal berarti harus menyelesaikan "perkara" dan ganjalannya dengan pihak-pihak lain. Itu tidak/belum terjadi, rekonsiliasi dengan Tuhan juga tidak/belum terjadi. Sebab, hakikat rekonsiliasi itu mereparasi barang rusak (korelasi antar manusia).

 

Kerusakan korelasi antar manusia itu telah "membunuh" harapan-cinta-iman di antara sesama manusia. Dan, itulah yang disebut "dosa" - yang hakikatnya adalah kerusakan atau terputusnya hubungan manusia dengan Tuhannya. Situasi yang rusak ini akan pulih jika sumber perusak mengakui dan bertobat. Maka dia akan mendapat maaf dari sesama manusia yang ia rugikan dan ampun dari Tuhan. Itulah rekonsiliasi!

 

Soalnya, bagaimana pengakuan dan pertobatan itu harus dilakukan? Dan apa hakikat dan maksud maaf/ampun setelah pengakuan dan pertobatan itu?

 

Mengaku, Tobat, Maaf

Dalam bingkai Katolik, mengaku-tobat-maaf itu amat sederhana. Mengaku artinya tidak usah disuruh-suruh, diusut, disidik dan tidak usah diinterogasi (artinya tak perlu jaksa, polisi, hakim, tukang kepruk dan sejenisnya), pihak terkait akan mengakukan segala "dosanya". Yang paling "biasa" dalam arti tidak kontroversial, dalam tobat pribadi ya kepada petugas yang berwenang ialah pastur pengakuan sebagai figur konkret yang ambil bagian dalam "kekuasaan illahi" uskup.

 

Mekanisme keabsahan soal pengakuan ini perlu uraian panjang tersendiri, tidak diulas di sini sebab bisa menjadi terlalu "teknis", tapi pada hakikatnya adalah: dalam tradisi Katolik, jika sang "pendosa" sudah melakukan hal itu, ia akan diampuni alias mendapat absolusi, asal dia melakukan  penitensi alias bertobat dan menyesal  serta  "membayar tebusannya" secara nyata.

 

Terpenting, tobat itu menyangkut dua hal ialah tidak akan lagi melakukan "dosa" itu lagi dan "membayar tebusan" yang adil.  Bagi orang Katolik yang korupsi  misalnya, sejatinya mudah,  pedomannya jelas, ialah cuma jangan korupsi lagi  dan mengembalikan segala jarahannya kepada rakyat. Dia harus kembali seperti semula saat ia belum melakukan korupsi. Jika sebelum korupsi punya harta satu gunung dan setelah korupsi  sekian tahun  punya harta raya sebanyak 1000 gunung, maka yang 999 gunung itu harus  dikembalikan kepada yang berhak.

 

Hal sama juga berlaku untuk "dosa" lain. Jika dia tukang bunuh atau tukang suruh bunuh, maka dengan tulus dan ksatria akan segera menyerahkan diri kepada yang berwajib dan mengakui dia memang begitulah adanya. Prinsip ini juga berlaku untuk 1001 "dosa" lain entah kejahatan besar atau kecil yang "membunuh" harapan-cintakasih-iman.

 

Jika pertobatan tersebut benar-benar direalisasikan secara sejati, maka maaf dan atau ampun itu akan menjadi keniscayaan. Secara horizontal akan mendapat maaf dari sesama dan secara vertikal mendapat pengampunan dari Tuhan. Perlu dicatat, dalam tradisi Katolik, pemaafan atau pengampunan itu mengacu pada sanksi. Jika semula sanksinya adalah neraka misalnya, maka hukuman neraka itu dihapus. Tapi itu bukan berarti menghapus "dosa" yang pernah dibuat. Ia akan nempel terus sampai kapan saja sebab memang tidak bisa dihapus. Nah, itulah keterangannya bahwa Tuhan mencintai manusia habis-habisan ialah mencintai manusia secara total termasuk dengan segala "dosanya".

 

Bagaimana jika pengakuan dan pertobatan dipoles-poles sehingga, misalnya, pembunuh bisa tampak menjadi seolah-olah pahlawan, dan pelaku KKN bisa menjadi seolah-olah tulang punggung negara? Jika dia Katolik, maka ya tidak akan pernah terjadi rekonsiliasi dalam dirinya. Ia telah melakukan rekonsiliasi semu tipu-tipu. Artinya, dia tetap menjadi makhluk bermasalah, di depan manusia dan Tuhan.Yang resikonya, silakan tanggung sendiri. Terutama disiksa oleh hati nuraninya sendiri.  

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

 

*****

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu