x

Iklan

yon bayu wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menakar Pasal “Pembunuh“ Calon Independen

Pasal 48 ayat 3 nomor 3a RUU Pilkada mengenai verifikasi faktual dengan metode sensus mengingkari semangat demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para politisi di DPR menunjukkan kelas sebagai “pemain ulung”. Selama pembahasan revisi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pilkada, oponi masyarakat digiring pada isu penambahan prosentase dukungan masyarakat untuk calon independen, keharusan mundur bagi incumbent dan cuti di luar tanggung negara bagi anggota DPR, DPD, DPRD selama mengikuti gelaran pilkada. Publik baru sadar ada hal yang lebih besar, mengancam salah satu peserta pilkada, setelah revisi selesai dan disahkan dalam paripurna DPR, 2 Juni lalu.

Rupanya selama pembahasan revisi UU Pilkada, anggota Komisi III DPR sepakat untuk tidak memperdebatkan secara terbuka perubahan metode verifikasi faktual KTP dan surat dukungan masyarakat untuk calon independen dari metode acak (random) menjadi metode sensus. Tidak heran begitu paripurna DPR mengesahkan revisi UU Pilkada sebagian besar masyarakat merasa senang karena harapannya agar DPR tidak memperberat syarat dukungan calon independen, tidak ada keharusan mundur bagi calon petahana dan sebaliknya anggota legislatif wajib mundur bila mengikuti pilkada, dipenuhi para legislator yang terhormat.

Namun para pengamat dan penggiat politik mulai menangkap ada kejanggalan setelah beberapa anggota DPR, kasak-kusuk akan ada partai yang ‘mensponsori’ masyarakat untuk mengajukan judicial review terhadap UU Pilkada hasil revisi. Dari situ akhirnya terbuka ternyata ada pasal yang sangat tidak logis dan nyaris mustahil bisa dilaksanakan oleh KPU. Sejumlah pengamat dan penggiat demokrasi pun menuding frasa pasal 48 ayat 3 nomor 3a mengenai verifikasi faktual dengan metode sensus mengingkari semangat demokrasi karena berpotensi menjadi “pembunuh” calon independen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Verifikasi faktual memang tetap harus dilakukan untuk menjamin KTP dan surat pernyataan dukungan benar-benar diberikan oleh warga yang bersangkutan secara iklas dan bertanggungjawab. Metode yang digunakan pun harus random, terutama ditujukkan untuk bukti dukungan yang mencurigakan. Jadi verifikasi faktual benar-benar didasari semangat untuk melahirkan demokrasi yang sehat, bukan tipu-tipu dan pemaksaan. Sebab dari proses verifikasi faktual itu akan terungkap jika ada anggota masyarakat yang sebenarnya tidak memberikan dukungan tetapi copy KTP-nya ada dalam dokumen dukungan calon independen.

Namun ketika verifikasi faktual dipolitisir untuk mempersulit calon yang mengikuti kontestasi pilkada di luar jalur partai politik, klaim adanya ketakutan para politisi terhadap calon independen mendapat pembenaran. Terlebih sejak pertama kali diperbolehkan calon independen mengikuti pilkada pada tahun 2008 lalu, hampir di semua gelaran pilkada selalu muncul calon independen. Di beberapa daerah calon independen atau perseorangan berhasil mendulang sukses. Pada pilkada serentak 2015 lalu, ada lima pasangan calon independen yang berhasil meraih kemenangan. Bahkan pasangan Neni Moerniaeni dan Basri Rase meski dikeroyok semua partai politik berhasil memenangkan pilkada Kota Bontang melalui jalur independen dengan meraih 55,85 persen suara.

Fenomena kemenangan para calon independen benar mulai mengusik para politisi. Mereka merasa eksistensinya terus terdegradasi hingga ke titik nadir. Berbicara tentang politisi selalu dibayang-bayangi perilakunya yang koruptif dan jauh dari amanah konstituen. Citra buruk politisi berimbas pada partai politik. Ibarat rumah, jika penghuninya bandit semua, maka rumahnya pun dijauhi tetangga. Ada kegelisahan, ada kekhawatiran di benak para politisi. Puncaknya ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) terang-terangan melakukan perlawanan terhadap dominasi partai politik. Para politisi menjadikan ucapan-ucapan Ahok yang tendensius, sebagai lem perekat sehingga rela melepas ego kepartaian. Partai Keadilan Sejahtera membuka diri untuk bergandeng tangan dengan PDI Perjuangan. Gerindra pun tanpa sungkan-sungkan menebarjalan dengan mengorbankan kadernya agar tujuan utamanya menjegal Ahok dapat tercapai.

Lalu datanglah kesepakatan tingkat tinggi di DPR. Tanpa banyak ekspos dan perdebatan, masuk frasa dalam UU Pilkada yang mustahil untuk dilakukan yakni pasal 48 ayat 3 huruf 3a mengenai verifikasi faktual dengan metode sensus yang selengkapnya berbunyi : Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon.

Ahok dan para calon independen yang akan bertarung pada pilkada serentak 2017 mendatang dibuat panik. Dari Yogja, mantan ketua KPK Busyro Muqqoddas mewacanakan untuk menggugat pasal yang dinilainya bertentangan denmgan UUD 1945. Sementara di Jakarta, Ahok langsung bermanuver melontarkan wacana untuk mengganti bakal calon pasangannya Heru Budi Hartono dengan kader PDIP Djarot Saiful Hidayat. Tujuannya jelas untuk membuka kembali komunikasi dengan PDIP yang sudah tertutup rapat pasca Megawati Soekarnoputri menolak saweran Ahok dalam acara peluncuran buku kumpulan tulisan tentang Megawati.

Upaya Ahok untuk merusak konsentrasi PDIP dengan terus mengumbar klaim Megawati mendukung dirinya, gagal dengan menyedihkan. PDIP terus menambah speed untuk mewujudkan koalisi tenda besar. Keberhasilan Setya Novanto menggenggam kendali Partai Golkar sehingga arahnya berpotensi dibelokkan ke kubu Ahok, tidak menyurutkan langkah PDIP yang mendapat dukungan penuh Gerindra, PKS dan belakangan PAN serta Demokrat. 

Keberhasilan memasukkan “pasal pembunuh” calon independen dalam UU Pilkada tanpa interupsi menjadi bukti nyata pada simpul-simpul tertentu seluruh kekuatan politik sudah bersatu.

Mengingat tahapan pilkada serentak 2017 sudah dimulai, sebaiknya pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya “pasal pembunuh” calon independen itu, segera melakukan judial review. Jika tidak, jumlah calon independen dalam pilkada serentak 2017   akan turun dratis. Mungkin tinggal 10 persen dari jumlah calon independen pilkada serentak 2015 yang mencapai 35 persen.

 

Salam @yb 

Ikuti tulisan menarik yon bayu wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu