x

Ilustrasi kurma/anak sahur. Shutterstock.com

Iklan

JJ Rizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kurma

Orang Betawi baru mengetahui dan menggemari kurma yang sohor sebagai makanan kesukaan junjungannya itu pada awal abad ke-20.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meskipun telah menjadi pengikut Nabi Muhammad sejak pertengahan abad ke-16, bahkan ada yang bilang lebih awal lagi di abad ke-15, orang Betawi baru mengetahui dan menggemari kurma yang sohor sebagai makanan kesukaan junjungannya itu pada awal abad ke-20.

Kurma diperkenalkan kepada orang Betawi bersamaan dengan dibukanya cabang-cabang Muhammadiyah di Jakarta. Momentumnya adalah saat bulan puasa. Meskipun cara berislam orang Betawi lebih ke NU, tetapi dalam soal berbuka cara mereka lebih Muhammadiyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak afdol jika berbuka yang disarankan dengan yang manis-manis hanya dengan kolak. Demikianlah hidangan berbuka puasa orang Betawi pertama kali kemasukan makanan Arab, yang sebelumnya hanya makanan-makanan Cina, seperti kue-kue basah manis pacar cina, kolang-kaling, dan putu mayang.

Begitu sohornya kurma di antara orang Betawi, sampai-sampai permainan anak-anak Betawi yang biasa dimainkan sambil menunggu berbuka memasukkannya menjadi bagian dari lagu pantun pengiringnya.

Korma, korma

Sekati dua puluh lima

Ajudan naek nama

Jaga kentut kagak kena

Pantun itu dilagukan sembari bermain ular-ularan, di mana 4–6 anak-anak berbaris memanjang, anak yang di belakang memegang bahu yang di depannya, dan begitu seterusnya. Pantunnya itu sesungguhnya bukan untuk anak-anak, melainkan orang dewasa yang biasa menonton anak-anak bermain ular-ularan.

Ajudan adalah pangkat semacam pengawal. Sering kali mereka yang menjabat ajudan tingkah lakunya pongah. Pantun ini mengajarkan agar seseorang, walau punya pangkat ajudan saja yang rendah tidak boleh sombong, apalagi yang tinggi yang biasa diajudani. Sebab, bukan tidak mungkin, jangankan jaga keamanan kota, negara bangsa, sedang jaga kentut saja tidak sanggup.

Kearifan lokal di dalam permainan anak-anak Betawi itu memang sejalan dengan hikmah puasa yang merupakan latihan membina budi pekerti luhur dengan menahan diri (zuhd) dari dorongan yang tidak benar.

Bukankah dosa manusia yang pertama, Adam dan Hawa, terjadi karena tidak mampu menahan diri mendekati pohon terlarang di surga. Itulah dosa kepongahan. Sungguh kepongahan adalah tindakan yang mementingkan diri sendiri dan tentu berlawanan dengan nilai budi luhur. Egoisme dengan moralitas tidak sejalan. Egoisme terjadi karena ketidakrelaan untuk menderita, sekalipun hanya sementara.

Puasa adalah latihan untuk menanggung derita sementara dan di belakang hari akan ada kebahagiaan yang besar, karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, dan kelemahannya itu adalah untuk mengambil hal-hal jangka pendek. Gampang tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera, maka gampang pula tergoda dan jatuh yang berakibat buruk dalam jangka panjang.

Puasa yang benar dapat mengantarkan manusia kepada peningkatan nilai rohaninya sehingga menemukan kembali pribadinya yang suci dan bakal membuat seseorang menjadi manusia dengan kemanusiaan yang berbudi pekerti nabi.

Itulah salah satu wujud manisnya puasa, dan itu pula bisa dianggap sebagai alasan mengapa Nabi menganjurkan segera berbuka dengan yang manis, seperti kurma. Bukan sekadar kurma mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh, seperti air dan hidrat, tetapi juga manisnya selesai puasa dan mendapat kemanusiaan in optima forma, kemanusiaan sang Nabi.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Selasa, 14 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik JJ Rizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu