x

Iklan

yon bayu wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keberatan Isu, Satelit BRI Kembali Gagal Mengangkasa

Untuk ketiga kalinya peluncuran BRIsat gagal dilakukan. Benarkah ini ada kaitannya dengan sejumlah isu yang menyertai pembelian satelit tersebut?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peluncuran BRIsat- satelit milik PT Bank Rakyat Indonesia Tbk kembali ditunda. Satelit buatan Space Systems/Loral, LLC, (AS), sedianya diluncur oleh Arianspace dari Guiana Space Center, Kourou, Guiana antara pukul 17.00-18.00 waktu setempat atau sekitar pukul 04.00 – 05.00 WIB, Sabtu, 18 Juni tadi, menuju titik orbit 150,5 BT atau tepat di langit Pulau Papua. Namun karena cuaca buruk, peluncuran yang disiarkan secara live streaming itu ditunda.

Ini merupakan penundaan ketiga peluncuran satelit seharga Rp 2,5 triliun tersebut. Penundaan pertama terjadi 8 Juni lalu. Alasan saat itu karena ada pergantian konektor cairan antara kriogenik bagian atas roket Ariane 5 dengan landasan peluncuran landasan ELA-3. Penundaan kedua terjadi tadi pagi menjelang detik-detik peluncuran.  Namun setelah ditunda selama satu jam, BRIsat tetap belum bisa diluncurkan karena cuaca buruk sehingga diputuskan untuk ditunda sampai besok.  

Apakah kegagalan peluncuran sampai dua kali ada kaitannya dengan kontroversi yang mengiringi pembelian BRIsat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 Direktur Utama BRI Asmawi Syam membantah adanya kontroversi itu. Asmawi berusaha menyakinkan publik jika pembelian satelit yang dilakukan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut memiliki tujuan mulia dalam rangka meningkatkan pelayanan BRI kepada nasabahnya. Layanan inklusi keuangan, terutama di sektor mikro yang menjadi bisnis inti BRI, bakal kian melesat setelah BRIsat beroperasi. Dengan memanfaatkan 23 dari 45 transponder yang dibawa BRIsat, BRI dapat meningkatkan pelayanan yang berkelanjutan hingga ke unit BRI di pelosok nusantara . Apalagi selain kawasan Indonesia, BRIsat juga mampu menjangkau seluruh kawasan Asia Tenggara, sebagian wilayah Pasifik, hingga Australia Barat.

Bahkan BRIsat bisa menekan beban operasi sedikitnya Rp 500 miliar per tahun yang selama ini digunakan untuk menyewa satelit. Secara matematis, selama 15 tahun ke depan- sesuai usia satelit, BRI juga akan menghemat biaya operasional hingga Rp 200 miliar pertahun. Bahkan sebenarnya BRI juga masih bisa meraup keuntungan “sampingan” andai mau menyewakan sisa transponder yang tidak dipakai. Sebab dari 22 transponder tersisa, hanya empat yang akan diberikan kepada kepada pemerintah yakni untuk Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Artinya BRI masih bisa menyewakan 18 transponder kepada pihak lain. Bank Mandiri, Indosat dan beberapa perusahaan lainnya sudah menyatakan kesediaannya untuk menyewa transponder tersebut. Namun sejak pembelian BRIsat ditandatangani pada 18 April 2014 lalu, jajaran direksi maupun komisaris BRI- termasuk Dirut BRI (saat itu) Sofyan Basyir yang kini menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara, selalu mengatakan tidak akan menyewakan sisa transponder karena akan digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi penambahan jumlah nasabah.

Benarkah begitu?

Alasan untuk antisipasi penambahan nasabah tidak masuk akal. Apakah dalam rentang 15 tahun ke depan nasabah BRI akan bertambah sampai dengan 2/3 dari nasabah yang ada saat ini? Rasanya kok mustahil. Kalau pun ada penambahan, masih bisa diatasi dengan 2-3 transponder lagi.  Itu berarti tetap masih ada 15 transponder yang menganggur.

Bukan rahasia lagi, saat ini kebutuhan transponder di Indonesia  sangat tinggi. Minimnya transponder yang tersedia, membuat harga sewanya sangat mahal. Tak pelak lagi, sewa-menyewa transponder satelit menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Di pasar umum, sewa satu transponder sekitar Rp 100 miliar pertahun. Jika BRI menyewakan seluruh transponder yang tersisa, maka akan meraup keuntungan sedikitnya Rp 1,5 triliun pertahun dengan asumsi tiga transponder benar-benar difungsikan sebagai cadangan. Dengan hitung-hitungan itu, maka menjadi aneh jika BRI keukeuh tidak akan menyewakan transpondernya. 

Aroma tidak sedap di balik pembelian satelit BRI yang terkesan dipaksakan pun kembali merebak. Penggunaan slot 150.5 bekas satelit Palapa yang semula dipakai Indosat juga menuai sejumlah tanda tanya karena terlalu dipaksakan. Dugaan ada kebutuhan dana politik menjelang Pemilu 2014 menjadi pemicu spekulasi terkait kengototan BRI membeli satelit. Kecurigaan yang paling mengemuka, sebenarnya sisa transponder sudah disewakan sejak awal, bahlkan uangnya sudah diambil untuk kepentingan poltik partai tertentu pada 2014 lalu. Itu sebabnya pada Pemilu 2014 tidak ada bank yang kolaps.  Pola bank kolaps sehingga perlu dana talangan adalah cara paling mudah untuk mengambil dana politik seperti yang terjadi selama ini.

Semoga besok BRIsat dapat mengudara dengan sukses sehingga isu miring yang menyertainya segera berakhir.

 

Salam @yb  

Ikuti tulisan menarik yon bayu wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu