x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Larantuka Tempo Doeloe

Deskripsi Flores Timur dari tahun 1930

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ata Kiwan

Judul Asli: Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker Im Tropischen Holland

Penulis: Ernst Vatter

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: NY. S.D. SJAH

Penerbit: Nusa Indah

Tahun: 1984

Tebal:  ix + 143

 

Mendokumentasikan keadaan supaya bisa menjadi bahan perbandingan dan pelajaran bagi masa depan adalah sangat penting. Memang sering kali upaya semacam ini dianggap sebagai sebuah kegiatan yang mengada-ada, tidak urgent dan menghabiskan waktu saja. Padahal tanpa upaya pendokumentasian yang rapi dan teliti, maka masa lalu akan hilang ditelan waktu.

Buku ini adalah terjemahan sebagian dari karya Ernst Vatter yang berjudul “Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker Im Tropischen Holland”. Ata Kiwan berasal dari Bahasa Solor yang artinya Orang Gunung. Hanya bagian Larantuka dan Ili Mandiri saja yang ditejemahkan. Alasan mengapa hanya bagian Larantuka dan Ili Mandiri yang diterjemahkan adalah karena penulisnya cukup lama menetap di dua wilayah ini. Buku Ata Kiwan yang lengkap merupakan deskripsi perjalanan dari prof. Dr. Ernst Vatter di Kepulauan Solor-Alor dari Bulan November 1929 sampai awal Juli 1930. Vatter menggunakan Larantuka sebagai pangkalan penelitiannya. Semoga versi Ata Kiwan yang lebih lengkap bisa segera terwujud.

 

Kota Larantuka

Larantuka pada tahun 1929 adalah sebuah pusat pemerintahan dan pusat misi. Kota ini memiliki pelabuhan yang cukup besar, pemukiman orang Eropa dengan segala kelengkapannya. Ada rumah sakit, kantor pemerintahan, kantor pengadilan beserta penjaranya, kantor pos  dan jalanan yang tertata rapi dengan tanaman peneduh yang berbunga indah. Sebagai pusat misi, Kota Larantuka juga memiliki gereja dan asrama suster serta perumahan misi. Selain fasilitas keagamaan, kompleks misi juga dipakai untuk Sekolah Pertukangan dan Sekolah Standar.

Perdagangan digerakkan oleh orang Cina yang tinggal dalam ruko dua lantai. Orang Cina ini menjual berbagai barang kepada penduduk lokal dan juga kepada orang Eropa. Kain tenun, peralatan memasak dan perhiasan murah adalah dagangan yang dijual kepada penduduk lokal, sementara buah dan sayur dalam kaleng dari California, cerutu dan sigaret dari Eropa serta anggur dan kognak dari Selandia Baru adalah dagangan dengan konsumen orang Eropa.

Penduduk asli Larantuka bisa dibedakan dari para pendatang karena mereka memiliki darah Portugis. Bahkan mereka disebut sebagai “Portugis Hitam”. Selain dihuni oleh orang lokal, Kota Larantuka juga dihuni oleh penduduk pribumi dari bebagai suku, seperti Melayu, Bugis, Ternate dan orang-orang dari pulau Sabu dan Rote. Ada juga orang-orang gunung yang datang ke kota untuk menjual dan membeli barang-barang yang diperlukannya. Vatter secara khusus mencatat orang-orang Adonara yang selalu membawa masalah bagi pemerintahan Belanda di Larantuka.

Vatter mengumpulkan cerita-cerita rakyat yang merupakan legenda kerajaan-kerajaan di wilayah ini. Salh satunya adalah cerita tentang dua bersaudara, Paji dan Demong. Cerita tentang Paji dan Demong ini menunjukkan hubungan wilayah ini dengan Jawa. Cerita tentang Paji dan Demong sering diselaraskan dengan cerita tentang Igo dan Enga, dua kakak beradik yang selalu bertengkar. Pada saat Vatter berada di Larantuka, arti Paji dan Demong telah memiliki identitas agama. Paji adalah para pengikut Islam sedangkan Demong adalam para pengikut Kristen.

Vatter menjadi saksi penaklukan enam kerajaan di wilayah ini. Vatter bersama istrinya menyaksikan pembicaraan Kontroler Segeler dengan keenam raja lokal. Pembicaraan tersebut adalah penyerahan pemerintahan kepada Belanda. Selanjutnya Belanda akan memberikan gaji kepada raja-raja tersebut. Keenam kerajaan tersebut terdiri dari dua kerajaan besar dan empat kerajaan kecil. Dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Larantuka yang beragama Kristen (Katholik) dan Kerajaan Adonara yang beragama Islam. Sedangkan empat kerajaan kecil yang beragama Islam. Dalam peperangan di abad sebelumnya, kerajaan-kerajaan Islam bersekutu dengan Belanda dan Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis.

Vatter menjelaskan bahwa pemerintahan Belanda pada awalnya dipersepsikan sebagai “pemeintahan asing, tekanan pajak dan kerja paksa.” Sebagai contoh kerja paksa, Vatter menuliskan tentang pembangunan jalan trans-Flores yang membentang dari barat sampai ke timur. Jalan yang melewati Kelimutu ini adalah jalan yang bermutu tinggi dan bisa dilewati mobil. Namun Vatter menceritakan bagaimana penderitaan penduduk yang disebabkan pembangunan jalan ini.  Vatter menulis: “Tetapi kalau kita mengetahui sejarah jalan ini, kegembiraan tadi akan hilang, karena dalam angan-angan kita melihat berderet-deret pekerja berkulit coklat menjalani kerja paksa tanpa alat yang memadai, dengan menghadapi jatuh karena pusing, membuat jalan dari pecahan batu kaang, dan membuat jembatan dari kayu dan bambu melintasi berpuluh-puluh sungai dan jurang (hal. 26).”

Namun Vatter juga menyampaikan bahwa pemerintahan Belanda pada akhirnya membawa “keamanan, tata tertib dan kepastian hukum.” Pemerintahan Belanda jauh lebih baik daripada penindasan oleh penguasa lokal yang lalim.

Dampak pelayanan kesehatan dan pendidikan dari pemerintahan Belanda telah mulai dirasakan, meski belum merata. Pelayanan kesehatan di sekitar Larantukan sudah baik, namun pelayanan kesehatan belum bisa menjangkau wilayah pelosok. Persekolahan yang dijalankan Misi telah ada di beberapa desa besar. Sekolah desa memberikan pendidikan 2 sampai 3 tahun. Selanjutnya mereka bisa meneruskan sekolah ke Sekolah Pertukangan atau Sekolah Standar di Larantuka. Sekolah Standar adalah sekolah lanjutan yang lulusannya dipersiapkan untuk menjadi guru dan pegawai pemerintah. Vatter secara khusus mengagumi kecerdasan dan keseriusan anak-anak Flores belajar di sekolah. Kecerdasan mereka tidak kalah dengan anak-anak Eropa.

 

Ili Mandiri (Kampung Lewo Loba)

Kampung Lewo Loba (Leloba) dipilih sebagai tempat penelitian karena kampung ini adalah kampung yang berdiri sebelum pemerintahan Belanda. Leloba termasuk kampung yang luput dari kebijakan Belanda untuk memindahkan penduduk dari gunung ke dekat jalan besar. Jadi di kampung ini bisa ditemukan ‘keaslian’ penduduk Ili Mandiri. Leloba juga relatif aman bagi peneliti Eropa karena di kampung ini sudah banyak yang memeluk agama Kristen.

Vetter dan istrinya, selain melakukan penelitian etnologi juga menyediakan layanan kesehatan bagi penduduk setempat. Layanan kesehatan ini menjadi sarana yang baik untuk menjalin komunikasi dengan penduduk setempat.

Vetter menggambarkan ciri-ciri penduduk Leloba. Dia juga menuturkan tentang praktik tatoo yang merupakan ciri kedewasaan seseorang. Selain menandakan kedewasaan, tatoo juga dihubungkan dengan kepercayaan. Roh orang yang tidak bertatoo akan diusir dari alam nenek moyang setelah mati. Selain tatoo, Vetter juga mencatat pemapakan gigi, budaya makan sirih pinang dan cara menata rambut.

Pada umumnya generasi muda menerima agama Krsiten secara antusias, namun generasi yang lebih tua banyak yang menunggu atau menolak. Salah satu alasan penolakan adalah mereka takut hukuman dari nenek moyang jika mereka menerima agama Kristen. Mereka takut tidak ada lagi orang yang bisa menyelenggarakan upacara pertanian, sehingga panen akan gagal (hal. 56).

Dua sifat penduduk Leloba yang mengesankan Vetter adalah kejujuran dan tidak mengerti berterima kasih. Vetter terkesan dengan kejujuran penduduk karena dia tidak pernah kehilangan apapun. Namun Vetter juga heran dengan penduduk yang tidak berterima kasih atas layanan kesehatan yang dia sediakan. Pertolongan dianggap sebagai suatu yang seharusnya mereka terima.

Kegiatan lelaki adalah berladang dan berburu. Sedangkan perempuan betugas untuk mengumpulkan daun –daunan dan ubi serta melakukan pekerjaan rumah serta memintal. Vatter secara rinci menuliskan aktifitas sehari-hari penduduk Leloba. Khususnya dalam kegiatan menderas nira dan berbagai guna dari nira.

Catatan tentang tata cara perkawinan disuguhkan dalam buku ini. Misi ternyata masih belum berhasil mengubah kebiasaan poligami di antara orang-orang kaya dan terpandang di kampung ini. Misi bahkan cenderung ‘tutup mata’ terhadap praktik poligami untuk menghindari konflik dengan para penguasa lokal. Vatter juga mencatat kejadian kematian di kampung tersebut. Meski sudah banyak yang memeluk agama Kristen namun kepercayaan akan roh-roh nenek moyang dan kemana roh orang mati akan pergi, masih tetap tinggi di kalangan penduduk. Demikian juga kuil Korke (rumah kudus) dan segala upacaranya yang masih tetap bejalan.

Peran pemeintahan Belanda di kampung ini terutama adalah dalam hal menjaga keamanan dan mencegah konflik antar suku. Pemerintah Belanda behasil menggagalkan perang suku yang sudah hampir terjadi. Selain dari menjaga keamanan, pelayanan kesehatan dan pendidikan sudah mulai diberikan kepada penduduk Leloba, meski belum maksimal.

 

Budaya memang akan selalu berubah. Namun seringkali budaya meninggalkan nilai-nilai yang sangat dalam bagi sebuah komunitas. Meski praktik-praktik budaya sering kali sudah tidak lagi dilakukan, namun nilai yang terkandung di dalamnya masih tetap ada dan diyakini. Itulah sebabnya, penting sekali mempelajari praktik budaya masa lalu supaya kita bisa mencari akar-akar nilai yang diyakini oleh sebuah komunitas, suku atau bangsa.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler