x

Beduk Kampung Bleder Ditabuh Sampai Italia

Iklan

Irfan Budiman Barus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Beduk

Bertahun-tahun kemudian, setelah sekolah, saya bisa berteman dengan beduk. Bahkan kemudian merasa jatuh hati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


BEDUK seperti dangdut. Namanya diambil karena peniruan bunyi atau onomatope. Dari bunyinya saat dipukul: duk, duk, duk, jadilah dia disebut beduk. Tapi hubungan saya dengan beduk tidak sesederhana itu.

Di waktu kecil, saat belum masuk sekolah, saya selalu menjadi tertawaan seisi rumah. Sebabnya, saya selalu takut terhadap bunyi yang dikeluarkan dari benda itu.

Di telinga ini, suara pukulan beduk berirama lambat yang terdengar dari masjid dekat rumah seperti langkah raksasa yang siap menerkam. Sungguh seperti teror. Saat Ramadan tiba, beduk magrib ditunggu orang serumah tiba-tiba menjadi detik-detik yang menegangkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bertahun-tahun kemudian, setelah sekolah, saya bisa berteman dengan beduk. Bahkan kemudian merasa jatuh hati. Sebabnya, ketika malam takbiran tiba, para pemuda memukul beduk dengan ritmis mengiringi takbir. Diam-diam saya terpesona. Tapi tak pernah ada kesempatan untuk mencobanya.

Setelah Lebaran usai, kesempatan itu datang. Selepas beduk asar lewat, saya pergi ke musala dan memukul-mukul beduk meniru irama yang dilakukan si pemuda di malam takbiran itu. Saya senang karena merasa pukulan saya sudah mendekati kemampuan si pemuda itu.

Tapi sesaat kemudian, seorang pengurus masjid datang dan mengambil dua buah pukulan beduk itu. Satu kata yang terucap, "tidak boleh bermain beduk.” Beberapa orang yang tinggal di sekitar musala pun kemudian menatap saya dengan pandangan yang tidak biasa. Gara-gara itu, mendadak, saya merasa hubungan dengan beduk kembali dingin.

Beranjak remaja, saya kembali jatuh cinta lagi kepada beduk. Namun kemudian, patah hati. Sebabnya, di malam takbiran tiba, bersama temanteman lainnya saat kami memukul beduk dan menyalakan petasan, seketika pula kegembiraan itu terenggut.

Kali ini, lelaki yang kami kenal sebagai ustad bertingkah seperti pengurus masjid di masa kecil. Dia mengambil dua buah kayu pemukul beduk itu. Bedanya, dia tidak banyak bicara, kecuali mengambilnya lalu meneruskan tidurnya sambil memeluk dua kayu itu di dadanya. Rupanya, dia yang memilih tidur di masjid, tidak ingin tidurnya terganggu.

Setelah itu, hubungan saya dengan beduk benarbenar berakhir. Kami pun seperti tengah menjalin hubungan long distance relationship alias LDR. Karena belakangan, beduk jarang terlihat di masjid. Pengeras suara menggantikan fungsi beduk.

Tentu bukan sesuatu yang disesalkan. Menilik sejarahnya, beduk semula dipakai layaknya panggilan bagi penduduk untuk berkumpul. Ketika Islam masuk, kebiasaan ini diteruskan sebagai penanda masuknya waktu salat. Satu sebabnya, dalam sebuah bacaan disebutkan di masa lalu masjid-masjid di negeri ini tidak memiliki menara untuk melantunkan azan. Beduk pun dimanfaatkan untuk itu.

Masjid di dekat rumah tak punya beduk. Masuknya waktu salat langsung dilantunkan dengan azan melalui pengeras suara. Aplikasi di ponsel bisa melakukannya. Cukup dengan mengesetnya berdasarkan lokasi.

Kini, beduk lebih mudah ditemukan di televisi. Tak lagi mempesona, memang. Tapi, cukuplah untuk mengingat berbagai kisah lama: tentang takut, keceriaan, dan juga rasa patah hati yang pilu.

Ikuti tulisan menarik Irfan Budiman Barus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler