x

Aksi masa yang tergabung dalam Migran Care melakukan treatrikal dengan membuat sejumlah mayat di Istana Negara, Jakarta, (18/12). Aksi ini menuntut pemerintah untuk melindungi pekerja buruh migran dan juga memperingati hari buruh Migran Internasional

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Frida dan Pemerintah Kita

Ironis. Peran pemerintah daerah tak seperti yang diharapkan. Semangat menyikapi selalu reaktif, bahkan terkesan hanya mencari popularitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kasus penjualan organ tubuh manusia kembali terjadi dan menimpa warga NTT yang mengadu peruntungan ke negeri jiran Malaysia. Kali ini menimpa Yufrida Selan, Lahir di Tupan TTS, 19 Juli 1997. Keluarga Yufrida berasal dari Desa Tupan, Rt 03/Rw 02  Kec Batu Putih, Kab Timor Tengah Selatan. Frida direkrut secara ilegal ke Malaysia pada tanggal 02 september 2015. Yufrida ditemukan meninggal pada 13 Juli 2016 di rumah majikannya di Malaysia.

15 Juli 2016, jenazah Frida sampai ke rumah orangtua, dan ketika keluarga korban melihat kondisi jenazah, melihat foto, ternyata terdapat banyak jahitan menutup kulit. Pihak keluarga sudah mendatangi Komisi V DPRD NTT meminta kejelasan dan menelusuri motif di balik kematian Yufrida. Namun sampai kini, tak ada tindak lanjut dari dewan. Arwah pahlawan devisa itu pun seperti dibiarkan penasaran mencari kebenaran. Frida adalah satu dari jutaan TKI yang didera pahit getirnya perburuan rupiah di negeri jiran.

Mereka tak jarang harus berbaris menuju “tiang gantungan” penyiksaan. Disekap, disiksa, ditelantarkan dan dibunuh oleh majikan murka seakan sudah jadi “langganan tetap” mereka. Ironisnya fenomena tersebut selalu berulang tanpa pertobatan kebijakan pemerintah. Kita bahkan kerap diolok-olok sebagai negeri pencetak TKI malang, dengam embel-embel stigma yang kadang melumpuhkan harga diri bangsa dan pemerintah sekadar untuk mempertanyakan berbagai perlakuan tak senonoh yang mereka alami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana mungkin kasus penyiksaan TKI, penyelundupan dan perdagangan orang bisa diatasi kalau pemerintah masih berbaik hati pada PJTKI nakal, dengan membiarkan perekrutan, pelatihan, pengurusan dokumen dijalankan asal-asalan, penuh rekayasa, di mana kerap tangan-tangan kotor aparat penegak hukum juga ikut berkontribusi memberangkatkan para calon TKI secara ilegal.

Ironisnya, peran pemerintah daerah tak seperti yang diharapkan. Semangat menyikapi selalu reaktif, bahkan terkesan hanya mencari popularitas, tidak ada mekanisme antisipasi dan pengawasan yang represif terhadap proses rekruitmen calon-calon TKI, sebagai bukti protektif terhadap warga. Padahal calon-calon TKI yang diberangkatkan dengan surat-surat tak resmi jelas berpotensi menjadi korban perdagangan orang. Sinyalemen Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, bahwa angka kasus tindak pidana perdagangan orang di NTT mencapai 70 ribu kasus pertahun (detiknews.com 14/2/2015), bukan hendaknya menjadi alarm sekaligus tamparan bagi pemerintah untuk bersikap, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi.

Ketika mendengar organ tubuh Frida hilang, Gubernur NTT Frans Leburaya marah dan merasa  dilecehkan oleh pihak majikan dan negara tempatnya bekerja. Tapi kemarahan itu sejatinya tak punya orisinalitas ketulusan dengan suasana batin masyarakat yang selama ini merasa diperdaya terus-menerus karena apatisme pemerintah yang diakumulasi terus-menerus. Sebagian kita pasti bertanya, di mana saja pemerintah selama ini, ketika tahu bahwa tiap tahun TKI-TKI dinista dan dipreteli harga dirinya? Kenapa sekarang baru kaget dan seolah-olah teraniaya oleh perlakuan keji para kanibal tenaga kerja itu? Jika pemerintah serius, mestinya sejak dulu sudah memiliki early warning system berupa peta akar masalah, faktor-faktor kausalitas dan pendorong animo TKI rela berangkat ke luar negeri bermodalkan ketrampilan terbatas plus keberanian, peta jalur pengiriman TKI yang bermasalah dengan modus dominan penyaluran ilegal calon TKI yang dapat dijadikan sebagai basis dalam memformulasi kebijakan penanganan dan pengawasan TKI secara komperehensif.

Daerah-daerah yang belum punya balai latihan kerja misalnya bisa dicarikan solusinya, misalnya dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah pusat membangun balai latihan sendiri, sehingga penggodokan calon-calon TKI bisa lebih terkontrol, termasuk menjamin penyediaan satu pintu bagi mereka yang mau diberangkatkan. Kenapa untuk membangun gedung-gedung, infrastruktur megah, yang ujung-ujungnya malah terbengkalai, bisa dengan mudah dilakukan, namun menyediakan properti investasi berupa sarana edukasi dan ketrampilan bagi masyarakat, pemerintah tak kunjung tergerak hatinya. 

Kalau data International Organization of Migrant menyatakan ada 67 persen korban perdagangan orang direkrut PJTKI resmi, bagaimana dengan yang tidak resmi, yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh tangan-tangan pemerintah, baik karena sengaja maupun karena keterbatasan? Ini berarti manajemen pengelolaan TKI mestinya tak bisa diurus serampangan, seperti pemadam kebakaran, karena hal tersebut akan mencerminkan martabat daerah, bangsa dan negara.

Orangtua dan keluarga Frida, sampai detik ini tentu sangat tidak rela darah daging mereka diperlakukan secara menyedihkan oleh negara lain. Upaya mereka mempertanyakan hal tersebut ke wakil rakyat maupun pemimpinnya menunjukkan sebuah protes kemanusiaan yang harus dijawab dengan tindakan konkret, bukan sekadar empati moral belaka.

Kita sudah bosan dengan alibi pemerintah yang terkesan mendiskreditkan rakyat, yang mengatakan calon TKI itu mau dibodoh-bodohi, pemalas, tak suka bekerja keras dan lain sebagainya. Dalam kondisi darurat seperti ini, tanggung jawab moral lewat sikap dan kebijakan konkret pemerintah mestinya jauh mendahului dari statemen-statemen “apologia” bahkan upaya mencari kambing hitam, yang tak berdasar.  

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIP Universitas Nusa cendana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB