x

Imam Fethullah Gulen. AP

Iklan

Husein Jafar Al Hadar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Turki, Gulen, dan Kita ~ Husein Jafar Al Hadar

Sejarah Turki adalah sejarah pergumulan islamisme dan sekularisme. Keduanya sudah pernah masuk laboratorium politik Turki: Turki Utsmani dan Kemal Ataturk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah Turki adalah sejarah pergumulan islamisme dan sekularisme. Keduanya sudah pernah masuk laboratorium politik Turki: Turki Utsmani dan Kemal Ataturk. Namun hingga kini Turki tak selesai dalam pergumulan dua “isme" tersebut. Apa yang beberapa waktu lalu populer dengan “kudeta gagal" pun tak lepas dari isu pergumulan keduanya, ketika Erdogan dikhawatirkan atau bahkan dicurigai akan membawa Turki pada islamisme yang otoritarian dari posisinya sekarang: sekularisme demokratis.

Di samping itu, ada kesilauan menatap modernisme Eropa yang berangkat dari mental inferior. Ini menjadi problem lain yang berada dalam konteks kebudayaan. Maka, lengkaplah sudah pergumulan politik di Turki: islamisme, sekularisme, dan modernisme.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks itu, Indonesia sebenarnya unggul. Di sini, apa yang menjadi perkara di Turki itu telah selesai di tingkat paradigmatik sejak negeri ini didirikan. Di Indonesia, Islam tidak sampai bermetamorfosis menjadi islamisme politik. Alih-alih ia masuk secara paradigmatik dalam paradigma politik kita, sehingga, tanpa mengusung islamisme, apalagi mengimajinasikan negara Islam atau khilafah islamiyah, negeri ini telah memenuhi komponen-komponen yang dikehendaki Islam atas sebuah bangsa: darus-salam, tanpa harus menjadi darul Islam.

Begitu pula dalam konteks sekularisme. Tanpa menjadi sekuler, namun sekularisasi yang gagasannya dipopulerkan pertama kali oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) pada 1970-an berjalan di negeri ini, dengan berpuncak pada penetapan Pancasila sebagai asas tunggal pada 1985. Sekularisasi di sini tidak berpuncak pada sekularisme, melainkan pada batasan depolitisasi Islam.

Adapun dalam konteks kebudayaan, yang berkaitan dengan modernisme maupun tradisionalisme, Islam Indonesia sejak masuk telah menstimulasi kesadaran kebudayaan kita dengan akulturasi Islam dan tradisionalisme budaya Indonesia serta apresiatif terhadap modernisme dengan sigap melakukan pembaruan Islam yang juga dimotori Cak Nur.

Problem dasar di Turki sebenarnya adalah, pertama, mendudukkan sederet “isme" tersebut tidak pada duduk ideologisnya secara paradigmatik. Ia hanya menjadi selubung ideologis bagi kepentingan atau iklim politik temporer. Karena itu, posisinya begitu lemah dan mudah diombang-ambingkan dinamika politik internal negeri itu. Kedua, Turki menempatkan sederet “isme" tersebut secara oposisi biner: berhadap-hadapan, paradoksal. Padahal, secara mendasar, posisi epistemologisnya tidak paradoksal. Karena itu, Indonesia, misalnya pada era Orde Baru, mengalami sekularisasi yang diikuti secara relatif dekat dengan islamisasi. Kehadiran keduanya berbeda dengan Turki, yang silih berganti secara oposisi biner. Itulah yang, meminjam demokrasi deliberatif Jurgen Habermas, terkandung dalam Pancasila.

Dalam konteks ini, Fethullah Gulen sebenarnya telah menawarkan gagasan ke arah sana bagi masa depan Turki, sejak Islam kembali ke negeri itu pada 1970-an. Ia berupaya melampaui islamisme dan sekularisme, yang menjadikannya dibenci kalangan islamis (seperti Erbakan dari Partai Refah) sekaligus sekularis (seperti Merve Petek Gurbuz dari Partai Republik Rakyat Turki). Ia membawa gagasan berbasis paradigma sufistik: moderat dan berjarak dengan politik, dengan pengaruh dari Said Nursi. Secara politik dan keagamaan, ia bercita-cita mengislamkan ideologi nasionalis Turki dan men-Turki-kan Islam.

Karena itu, Gulen berseberangan dan menolak Necmettin Erbakan, yang bervisi Islam politik. Gulen menjadi hocaefendi (ulama yang terhormat)yang nasionalis. Ia mengkritik transformasi Turki ala Ataturk atau Reza Shah Pahlevi di Iran, tapi juga konsisten menolak fundamentalisme Islam. Ia menjunjung penafsiran dan pengalaman Islam Anatolia (Turki), sebagaimana kita memiliki Islam Nusantara, yang rahmat, moderat, dan toleran. Karena itu, ia sangat kuat dalam komitmen dan gerakan dialog intra dan antar-umat beragama.

Adapun dalam politik, ia memilih tata kelola negara berbasis demokrasi, meskipun ia tetap memandang penting bagi agama—dan ulama, seperti yang dilakukannya—berkontribusi secara berjarak pada masalah kenegaraan. Menurut dia, masuknya agama secara praktis dalam politik hanya akan mereduksi nilai profetiknya dan membuat negara riskan terjebak dalam otoritarianisme atas nama agama.

Adapun dalam kebudayaan, Gulen mendukung masuknya Turki ke Uni Eropa, tapi tetap dengan kesadaran kebudayaan. Melalui Gerakan Gulen, ia membangun kepribadian bangsa Turki yang disadarinya memiliki jejak superioritas serta menjemput modernisme. Itu dilakukannya di berbagai lini: pendidikan, sosial-budaya, keagamaan, politik, media, hubungan internasional, dll. Kini jejak gerakan ini bisa kita temui dari Amerika, Cina, Afrika, Australia, Timur Tengah, Asia Tengah, dan termasuk Indonesia.

Namun dinamika politik Turki sedang tak berpihak pada Gulen dan justru dilakukan oleh mantan mitra politiknya: Erdogan. Ia dituduh sebagai dalang “kudeta gagal" beberapa waktu lalu—sesuatu yang sering dituduhkan kepada Gulen oleh kalangan islamis, sekularis, maupun militer (misalnya pada 1971). Erdogan bahkan telah mengeluarkan keputusan untuk menutup seluruh aktivitas Gerakan Gulen, hingga menyebutnya Fethullah Terrorist Organization (FETO), termasuk bagi yang berada di luar negeri, termasuk Indonesia.

Menurut penulis, sikap Erdogan itu tak hanya berlebihan, tapi juga salah kaprah. Pertama, ia berarti menyeret kita masuk dalam krisis dan dinamika politik internal negaranya. Jika Indonesia memenuhi permintaan itu, secara tidak langsung kita telah melakukan intervensi politik serta menyalahi prinsip dasar politik luar negeri kita yang bebas-aktif. Kedua, kita memiliki aturan sendiri yang, jika sebuah aktivitas filantropis bernuansa politis, tentu kita akan bertindak tegas atasnya. Sedangkan Gerakan Gulen selama ini justru bervisi sufistik yang selaras dengan karakter Islam Nusantara. Ketiga, sebagai hocaefendi, Gulen melampaui Turki. Ia inspirasi bagi dunia, terlebih negara muslim seperti kita. Sesuatu yang seharusnya dibanggakan Turki seperti Natsir, Hamka, atau Gus Dur dalam konteks Indonesia.

Husein Ja'far Al Hadar, Direktur Cultural Islamic Academy Jakarta

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 8 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Husein Jafar Al Hadar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler