x

Sekolah di Serang Keberatan Dengan Gagasan Full Day School. TEMPO/Darma Wijaya

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hamparan Barikade Full Day School ~ Dede Rosyada

Jadi, full-day school tidak hanya berurusan dengan jam ajar yang bertambah, tapi juga terkait dengan berbagai elemen dasar yang harus dipenuhi pihak guru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dede Rosyada

*) Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan merupakan sektor paling vital dalam mempersiapkan Indonesia masa depan. Minimal pada kurun waktu 2025, sebagai akhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, masyarakat Indonesia mampu berdaya saing dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Salah satu pilar kemampuan berdaya saing ini adalah kemampuan negara mengelola berbagai kebijakan di ranah pendidikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Problemnya kemudian, terkait dengan wacana yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy perihal full-day school atau sekolah sehari penuh bagi anak didik sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, akankah wacana ini menjadi sebuah kebijakan negara dalam dunia pendidikan agar Indonesia mampu berdaya saing di masa depan? Bukankah sebuah kebijakan negara yang amat vital, seperti kebijakan di dunia pendidikan, harus dikelola secara matang dengan merujuk berbagai aspek yang tumbuh dan berkembang di ranah publik.

Ide Menteri Muhadjir itu menuai pro-kontra. Di satu sisi, kontroversi ini memberikan sinyal positif bahwa publik merasa punya kepentingan untuk ikut serta membenahi sektor pendidikan. Sisi positif lainnya, negara, dalam melahirkan sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tak boleh main-main. Mata masyarakat ikut juga sebagai "intel", sebagai pengawas gerak kebijakan negara.

Sejatinya, konsep pendidikan full-day school menyandarkan pada upaya pengembangan dan peningkatan pada anak didik agar memiliki tingkat kecerdasan, intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ) yang seimbang dengan beragam inovasi yang cukup kreatif dari para guru, pegiat pendidikan di sekolah.

Kurikulum yang dikembangkan dalam full-day school adalah kurikulum integratif. Sebuah kurikulum yang mencoba menawarkan berbagai aspek kehidupan pada anak didik, baik aspek pendidikan umum maupun pendidikan agama. Ini merupakan sebuah tawaran yang mencoba mengawinkan metode pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada buku sumber, tapi juga pada pengalaman para guru ataupun pengalaman sehari-hari anak didik.

Kurikulum integratif juga menyodorkan bahan pembelajaran ditentukan secara demokratis antara guru dan anak didik. Bahan-bahan dikelola bersama terkait dengan problem aktual yang ada di masyarakat. Artinya, anak didik dalam metode pembelajaran full-day school bisa menjadi subyek, ketika si anak didik bisa menentukan bahan ajar sendiri. Selama ini, dalam proses belajar-mengajar di kelas, anak didik seolah-olah dijadikan obyek guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Anak didik tidak diberi peran untuk menguar berbagai pikiran yang tumbuh di benaknya.

Pola full-day school diharapkan mampu memberi wawasan baru bagi anak didik dengan metode pembelajaran yang tidak kaku dan tidak baku. Di sini peran pembimbing, yakni para guru, diharapkan mampu menjadi jembatan dalam proses kegiatan belajar-mengajar agar dinamis, penuh inovasi, dan kreatif.

Jadi, full-day school tidak hanya berurusan dengan jam ajar yang bertambah, tapi juga terkait dengan berbagai elemen dasar yang harus dipenuhi pihak guru. Di sinilah problem full-day school lahir.

Berbagai ragam inovasi yang kreatif, yang menjadi elemen dasar dalam mengembangkan full-day school, akan menuai banyak barikade dari para guru di sekolah, mengingat aspek profesionalitas para guru yang masih beragam. Sikap profesional para guru selama ini menjadi barikade bagi kegiatan proses belajar-mengajar di kelas. Banyak guru yang tidak memiliki kompetensi kepribadian yang cukup memadai dalam mengolah bahan ajar untuk anak-anak didiknya. Kompetensi kepribadian ini terkait langsung dengan komitmen sang guru untuk memberi pelayanan bagi anak didiknya.

Tentu saja kualifikasi kompetensi kepribadian tidak sekadar komitmen mengajar, membimbing, dan mendampingi para siswa agar menjadi anak-anak berprestasi di masa yang akan datang. Hal itulah yang akan memunculkan banyak barikade karena profesionalitas guru sebagai mitra pembelajaran belum cukup memadai.

Untuk itulah, penerapan full-day school tak semudah yang dibayangkan Menteri Muhadjir. Alasan Menteri, yang bersandar pada waktu belajar yang cukup banyak di sekolah, sehingga anak-anak bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya setelah jam kerja, justru bisa menjadi bumerang bagi anak itu sendiri.

Anak-anak akan kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan dunia riil di sekitar dirinya. Secara fisik mereka akan kelelahan dengan beban belajar yang amat padat. Anak-anak yang belajar di pedesaan, di daerah pegunungan, yang harus berjalan kaki hingga 5 kilometer menuju rumahnya, akan habis energinya untuk belajar pada pagi harinya.

Di tengah sisi remang-remang full-day school, tentu ada sisi terang dari penerapan wacana yang diigaukan Menteri Muhadjir. Sisi terang itu bermuara pada keterlibatan aktif dari para guru, anak didik, dan orang tua murid. Tapi, sekali lagi, sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus melalui prosedur kajian yang amat dalam. Program full-day school itu baik. Baik itu baik, tapi terlalu baik itu tidak baik.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini