x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Bom Atom yang Membuat Jepang Menyerah

Rribuan ton bom dijatuhkan di Tokyo, menewaskan 100.000 jiwa. Jepang tidak menyerah karena Tokyo, maka mereka juga tidak akan menyerah karena Hiroshima

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Foto: The nightmare aftermath of Hiroshima (www.dailymail.co.uk)

Pemikiran bahwa bom atom penyebab Jepang menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945, telah dicatat dalam buku sejarah di banyak negara. Dan selama ini hal itu diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Demikian juga yang diajarkan guru sejarah anda sewaktu SD.

Tapi belum lama ini, sejarawan yang sangat dihormati dari Universitas California, Tsuyoshi Hasegawa, dalam tesisnya mengatakan, bukan bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang memaksa Jepang menyerah, melainkan serangan mendadak Soviet-lah penyebabnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 6 Agustus, "cahaya seterang seribu matahari" dijatuhkan oleh pesawat Enola Gay di Hiroshima. Hasegawa dalam bukunya "Racing the Enemy" menyatakan bahwa pemimpin Jepang tidak panik akan itu. Menurut Hasegawa, Jepang tidak langsung menyerah karena bom itu. Sebelum bom atom dijatuhkan, di awal Maret, Sebanyak 330 pesawat pembom B-29 Fortres Amerika Serikat dikerahkan menghujani Tokyo dan kota-kota Jepang lainnya dengan ribuan ton bom. Menewaskan sedikitnya 100.000 jiwa dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.

Korban yang diakibatkan bom tersebut dikatakan lebih besar daripada di Hiroshima. Bahkan, hampir 60 kota di Jepang hancur sebelum Hiroshima diserang. Hasegawa mengatakan, jika Jepang tidak menyerah karena Tokyo, maka mereka juga tidak akan menyerah karena Hiroshima.

Militer Jepang terdiri dari para pejuang, yang selain terlatih juga dikenal disiplin, memiliki tekad bertempur hingga mati. Banyaknya korban tewas akibat bom Hiroshima, tidak membuat gentar pemimpin Jepang. Fakta yang memperkuat tesis Hasegawa, adalah instruksi untuk meruncingkan bambu, bersiap menghadapi serangan marinir AS di pantai.

Menlu Jepang saat itu, Shigenori Togo mengirim pesan ke Moskwa. Para pemimpin Jepang sangat sadar dengan posisi sulit mereka, tapi mereka masih berharap pada Uni Soviet yang masih bersikap netral di panggung Asia. Jepang bersedia menegosiasikan kesepakatan pertukaran wilayah di Asia dengan Stalin.

Akan tetapi, Soviet akhirnya mengikuti keinginan AS, untuk mendeklarasikan perang terhadap Jepang pada 8 Agustus 1945. Strategi Jepang pun runtuh seketika, setelah serangan mendadak dilakukan Tentara Merah di Manchuria. Sulit bagi Jepang mempertahankan sistem kekaisarannya, dengan invasi komunis Soviet.

Bagi Jepang ini berbahaya, karena jika Jepang diduduki oleh negara komunis tersebut, sistem kekaisaran tradisional Jepang tidak akan bertahan. Maka keputusan Jepang kemudian, berdasarkan pertimbangan bahwa lebih baik menyerah pada Washington daripada semakin runtuhnya kekaisaran Jepang apabila menyerah di tangan komunis Moskow, akhirnya pada 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Dalam memoarnya pasca perang, mantan presiden Harry Truman ingat bagaimana para pemimpin militer mengatakan kepadanya bahwa setengah juta orang Amerika tewas dalam invasi Jepang. Angka ini dimunculkan untuk membenarkan pengeboman. Walaupun jumlah itu disanggah oleh sejarawan Stanford Barton Bernstein yang mencatat, U.S. Joint War Plans Committee memperkirakan pada pertengahan Juni 1945 bahwa invasi Jepang yang dimulai 1 November mengakibatkan 193.000 korban di pihak AS, termasuk 40.000 kematian.

Truman sadar jika ia tidak menggunakan bom atom, ia akan menghadapi murka besar dari warga negaranya sendiri. Menggunakan bom juga akan menjadi unjuk kekuatan Amerika pada saat itu. Amerika yakin, dengan menggunakan bom atom maka akan mendapat efek ganda, yakni membuat negara lain juga akan ketakutan pada Amerika. Truman juga menyadari kalau hubungan Amerika dengan Soviet sudah menunjukkan gejala menuju arah perang dingin.

Itulah rekonstruksi sejarah yang telah dilakukan oleh Hasegawa. Rekonstruksi tersebut memberikan kita pelajaran, bahwa ternyata penghancuran pusat penduduk tidak membuat suatu negara langsung menyerah. Pada Februari 1945, Sekutu mengebom Dresden. Korban jiwa berjatuhan, tetapi Jerman tidak menyerah. Begitu pula, ketika Hitler mengebom London, Winston Churchill menolak mengibarkan bendera putih.

Deterensi nuklir pun terbukti tidak bisa mendamaikan dunia, justru malah sebaliknya. Sangat berbahaya, apalagi jika kedua negara sama-sama memiliki senjata nuklir. Jika tidak berhati-hati, skenario "musim dingin nuklir" bisa terjadi, dan korban jiwa akan berjatuhan akibat kekurangan pangan, kedinginan, dan radiasi. Satu-satunya alasan penggunaan senjata nuklir adalah untuk menghancurkan asteroid yang mengancam Bumi. Penggunaan selain itu sudah sepatutnya dilarang, nonproliferasi harus ditegakkan.

Sudut pandang lain yang dihasilkan dari rekonstruksi Hasegawa ini adalah: Amerika Serikat telah melakukan kejahatan perang. Pengeboman yang membabi buta telah menimbulkan korban jiwa manusia yang tidak sedikit. Pengaruh setelah ledakan bom atom pun masih menghantui Hiroshima dan Nagasaki hingga sekarang. Kejahatan perang itu selama ini dibenarkan akibat perspektif sejarah yang dipalsukan, yaitu bahwa serangan nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki telah menghentikan perang.

Rekonstruksi mungkin telah mengubah perspektif kita, akan tetapi ada satu hal yang tidak berubah: kejahatan tersebut akan terus dibenarkan. Kecuali jika di masa itu, akibat keajaiban Jepang berhasil memenangkan perang, kemudian mengadakan pengadilan ala Nuremberg terhadap dalang pengeboman itu, dari Harry Truman sampai orang-orang yang terlibat dalam Proyek Manhattan.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu