x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Para Penjaga Api Pengetahuan

Sejak zaman purba, api pengetahuan dialihkan dari generasi manusia ke generasi berikutnya melalui para penjaganya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kepada manusia, Prometheus menghadiahkan api dan keterampilan mengerjakan logam. Api adalah milik para dewa, tapi Prometheus mencurinya. Karena itulah, Prometheus dihukum oleh Zeus. Para dewa cemas, dengan menguasai api, manusia akan berbuat onar.

Api jadi simbol pengetahuan. Manusia telah mengusungnya sejak zaman purba, Yunani kuno, Romawi, dan diteruskan hingga kini. Mengikuti pengetahuan, peradaban bangun dan jatuh, silih berganti, hingga sampai ke era digital. Bagaimana pengetahuan ini dijaga dan ditumbuhkan? Siapa yang memelihara dan mengembangkannya? Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton berusaha memahami pertanyaan ini melalui penelusuran sejarah dan menuangkannya dalam karya mereka, Reiventing Knowledge: From Alexandria to the Internet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak pengetahuan masa lampau yang masih bertahan hingga kini, seperti bahasa Yunani kuno yang belakangan ini dipelajari kembali oleh banyak orang yang berminat. Kisah kepahlawanan Homer mungkin tak akan pernah kita dengar bila tak ada yang tergerak untuk menuliskannya. Tradisi lisan tidak cukup; inilah yang disadari oleh generasi penerus Sokrates dan Plato—kesadaran yang membuka kesempatan pada kita, yang hidup di zaman Internet ini, untuk membaca Odyssey.

Di antara penguasa yang memahami kegunaan pengetahuan terdapat Alexander yang Agung, yang menghimpun segenap pengetahuan tertulis di dalam apa yang disebut perpustakaan. Ini bukan sekedar gedung, melainkan institusi yang di dalamnya pengetahuan diorganisasi. Perpustakaan dibangun atas dasar keyakinan bahwa menulis merupakan cara terbaik untuk mengorganisasi pengetahuan.

Entah karena untuk mengangkat prestise, atau karena pengakuan yang dalam terhadap kekuatan pengetahuan, para penguasa di masa kemudian berlomba-lomba mendirikan perpustakaan. Hingga di masa-masa kemudian, pertumbuhan pengetahuan melalui lembaga-lembaga seperti perpustakaan, biara, universitas, maupun laboratorium tidak lepas dari konteks kekuasaan. McNeely, dengan fokus pada tradisi Barat, sembari mengapresiasi peran budaya besar China, Islam, dan India, meneropong peran lembaga-lembaga ini dalam mengelola dan mengembangkan pengetahuan.

Peran perpustakaan, biara, universitas, maupun laboratorium tidak lepas dari konteks zamannya. Biara menjadi pilihan untuk menekuni teks ketika perkembangan pengetahuan diwarnai oleh hiruk-pikuk duniawi. Cassiodorus, senator Romawi, memilih untuk mensunyikan diri dengan menetap di Squillace, di kaki bukit Italia, tempat ia dapat membaca dan menulis buku dengan tenang. Untuk waktu yang lama, para petapa Kristen mengganti berbicara dengan diam, menanggalkan interaksi lisan dan menggantinya dengan pengabdian yang sabar terhadap teks. Selama beberapa abad masa keemasan Muslim, ratusan sarjana memilih ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk berbakti.

Seperti kata McNeely, kita harus keluar dari biara untuk dapat memahami di mana dan bagaimana semangat perdebatan ilmiah bangkit kembali di Eropa. Universitas menyemaikan semangat pencarian dan perdebatan. Pada mulanya, universitas di Eropa Abad Pertengahan adalah gejala perkotaan yang diawali ketika para guru dan siswa mulai berkumpul. Paris, Salerno, Bologna, dan Praha melahirkan universitas-universitas yang awal. Teologi, hukum, kedokteran, dan sosial-budaya menjadi fokus universitas ini.

Sepanjang dua abad (1500-1700), kombinasi antara protes keagamaan dengan persaingan politik mengakibatkan Eropa nyaris terbakar. Gerakan reformasi, khususnya Martin Luther, merebak dan menimbulkan pergolakan. Tapi, kata McNeely, gerakan ini tak akan pernah berhasil seandainya para pangeran dan politisi tidak memakai alasan agama, dengan memilih atau menghancurkan para pembarunya.

Respublica literaria (Republic of Letters) menjadi, lagi-lagi, respons atas situasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan pengetahuan secara normal. Respublica literaria, lembaga yang mungkin paling kurang kita kenal dibandingkan lembaga-lembaga lain yang dikisahkan McNeely, didefinisikan sebagai komunitas pembelajar internasional yang dirajut bersama melalui surat-surat yang ditulis dengan tangan dalam bentuk surat-surat pos, dan kemudian melalui buku-buku atau jurnal-jurnal cetak. Surat, seperti kata Erasmus dari Rotterdam (1466-1536), adalah jenis pertukaran pembicaraan bersama di antara teman yang tidak hadir.

Kita mungkin belum lupa tentang kisah Alfred Wallace yang mengirim tulisan tentang evolusi dari bumi Nusantara, tempat ia melakukan penelitian alam, kepada Charles Darwin di Inggris. Korespondensi di antara mereka menyadarkan Darwin bahwa ia harus bergegas menerbitkan teorinya tentang evolusi. Surat-menyurat di antara mereka telah mendorong pertumbuhan pengetahuan.

Mendahului Darwin dan Wallace, Copernicus, Newton, Descartes, serta raksasa-raksasa Abad Pertengahan bertukar pikir dengan sejawat mereka melalui korespondensi. Keampuhannya dalam mengatasi pergolakan ditunjukkan oleh pertukaran pengetahuan yang mampu menembus wilayah geopolitik, etnis, kekuasaan, dan sekat-sekat lain. Legitimasi Republic of Letters ini dibangun berdasarkan produksi pengetahuan yang baru.

Bersama ‘disiplin ilmu’ dan laboratorium, lembaga-lembaga ini telah menjaga pengetahuan sepanjang masa dengan menjadi penengah atau penyambung lidah antara para ilmuwan dan masyarakat luas. Setiap lembaga yang baru mendefinisikan ulang praktik-praktik pengetahuan lama. Kalangan aktivis di Republic of Letters menjauhi universitas yang dibikin bangkrut secara intelektual oleh konflik agama. Mereka memanfaatkan korespondensi jarak jauh untuk mengesahkan penemuan-penemuan baru.

Lembaga-lembaga yang disebut McNeely ini telah berjasa menjaga agar pengetahuan yang telah dihimpun selama ratusan abad tidak lenyap dari ingatan kolektif masyarakat. Kehadiran Internet, dengan segala kedigdayaannya, menopang keberlanjutan pengalihan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lebih dari Republic of Letters, Internet membuka peluang yang lebih leluasa bagi mereka yang sanggup mengaksesnya untuk mereguk air pengetahuan. Namun, McNeely skeptis terhadap Internet dengan melihatnya bukan sebagai jalan untuk menghasilkan pengetahuan baru, layaknya laboratorium, tapi sekedar metode baru dalam menyajikan informasi.

Akses manusia kepada pengetahuan kini menghadapi tantangan besar, yakni demokratisasi dan komersialisasi. Sejarah berulang ketika pengetahuan dihadapkan pada berbagai kepentingan. Mereka yang berniat menghegemoni pengetahuan dan mereka yang menilai tinggi bobot ekonomis pengetahuan akan cenderung enggan berbagi. Inilah yang melahirkan apa yang disebut oleh McNeely sebagai ‘kapitalisme akademik’ yang melanggengkan kontak dan pengaruh timbal balik antara universitas riset dan dunia bisnis tapi menepis keterlibatan pihak lain. Anggota-anggota fakultas acap kali lebih memilih untuk mengapitalisasikan penemuan dengan nama dagang ketimbang memublikasikan penemuan tersebut untuk kemaslahatan komunitas yang lebih besar.

Lebih dari sekedar katalog historis mengenai peristiwa dan institusi, buku ini telah menegaskan argumen bahwa institusi-institusi pengetahuan telah berubah, beradaptasi, dan berkembang selama berabad-abad. “Pengetahuan telah secara fundamental ditemukan-ulang enam kali di dalam sejarah Barat,” tulis McNeely dan Wolverton. Pendekatan mereka dari berbagai sudut memperkaya pemahaman kita mengenai sejarah pengetahuan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler