x

Dilarang Merokok

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ratifikasi FCTC Bukan Sekadar Ikuti Tren, Pak Presiden

Diperkirakan tembakau mengancam lebih dari 8 juta jiwa per tahun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat membuka rapat terbatas soal aksesi Framework Convention on Tobacco Control pada 14 Juni lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan bersayap. Pertama, pemerintah sangat mempedulikan kesehatan  dan pertumbuhan  generasi muda Indonesia yang lebih baik jika peredaran produksi tembakau bisa dibatasi dan dikendalikan. Tapi, pemerintah mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau yang terancam kehilangan lapangan kerja jika meratifikasi FCTC. 

Jokowi mengakui, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Ia pun mengerti, WHO melansir hingga Juli 2013, sudah ada 180 negara yang telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC atau 90 persen populasi dunia. Apakah Indonesia akan mengambil langkah serupa? Jokowi menyebut, Indonesia tidak akan latah mengikuti negara lain. “Saya tidak mau sekadar mengikuti tren,” ujarnya saat itu.

Bak gayung bersambut, pernyataan Jokowi ini langsung disambut Wakil Ketua Umum Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo. Dia meminta Jokowi tidak ikut-ikutan menyetujui FCTC. Ia beralasan, FCTC saat ini sudah mengarah untuk mematikan industri tembakau. "Sekarang sudah mulai on farm. Artinya petani  disuruh beralih menanam bukan lagi tembakau,” ujarnya dua hari setelah rapat terbatas itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut dia, industri hasil tembakau merupakan sektor padat karya. Upaya mematikan industri ini akan berimbas pemutusan hubungan kerja besar-besaran "Impor tembakau juga semakin besar," ucapnya.

Anggota parlemen dan bekas Ketua DPR Cile, Marco Antonio Nunez menuturkan, masalah pengangguran juga sempat menjadi isu panas di negara itu sebelum meratifikasi FCTC pada 2005. Serikat Pekerja di Cile rame-rame memprotes rencana meratifikasi FCTC. Bahkan bekas menteri-menteri Cile yang menempati posisi direksi di British American Tobacco, perusahaan rokok dengan konsentrasi pasar di Cile mencapai 93 persen, mengancam akan meninggalkan Cile. 

 DPR dan Pemerintah Cile menganggap masalah kesehatan rakyat lebih penting. Alasannya, “prevalensi perokok dewasa di Cile itu sebanyak 40,6 persen, terburuk di Benua Amerika,” ujar Nunez, saat memberikan kuliah di kursus pendek Program Kepemimpinan Pengendalian Tembakau yang saya ikuti di Johns Hopkins School of Public Health di Baltimore, Amerika Serikat, 18-29 Juli lalu.

Setelah meratifikasi FCTC, kata Nunez, Cile mengaksesi semua protokol FCTC. Di antaranya, mereka menerapkan 100 persen kawasan tanpa asap rokok di area publik tertutup, total larangan publisitas dan sponsor dari produk tembakau, dan keharusan memasang peringatan bergambar. “Kami solid demi kesehatan rakyat Cile,” ujarnya.

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menyatakan Indonesia sepatutnya belajar dari Cile. Jokowi harus membatasi dan mengendalian produksi tembakau jika memang ingin melindungi generasi masa depan.  “Satu-satunya cara ya dengan aksesi karena FCTC itu paling komprehensif, mengatur apa saja yang harus dilakukan untuk mengendalikan dan membatasi konsumsi tembakau,” ujarnya, Rabu lalu.

Seberapa parahkah peredaran konsumsi tembakau sehingga sampai harus dibuat konvensi. Farrukh Qureshi, Technical Officer untuk Pengendalian Tembakau, WHO Indonesia  menjelaskan, konvensi FCTC merupakan kesepakatan global yang ditetapkan pada 27 Februari 2005. Konvensi ini menjadi landasan bagi negara-negara melawan epidemi tembakau.

Saban dua tahun sekali, kata Farukh, WHO meluncurkan laporan status global pengendalian tembakau. “Indonesia masih menempati posisi ketiga jumlah perokok terbanyak, setelah Cina dan India. Indonesia adalah satu-satunya negara anggota OKI yang belum mengaksesi FCTC,” katanya, Selasa pekan lalu.

Dari catatan WHO, saat ini penyakit jantung iskemik masih menempati posisi teratas penyebab kematian. Menurut Vinayak Prasad, Program Manager Tobacco Free Initiative WHO, kebiasaan merokok menyumbang tumbuh suburnya penderita jantung iskemik. Di dunia, jantung iskemik menjadi penyebab kematian tertinggi hingga 7,4 juta jiwa diikuti stroke sebesar 6,7 juta jiwa.

“Setiap tahun, tembakau sudah membunuh hampir 6 juta jiwa di seluruh dunia dan ini diperkirakan akan meningkat lebih dari 8 juta jiwa per tahun dalam beberapa dekade ke depan,” katanya, pertengahan Juli lalu. “Jika kebiasaan merokok ini tidak dikendalikan, pada akhir abad 21, tembakau bisa membunuh sampai satu miliar orang pada abad 21 jika tidak ada pengendalian.”

Bagaimana di Indonesia? Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily Sulistyowati menuturkan, prevalensi perokok pria di atas usia 15 tahun mencapai 66 persen. “Ini artinya, Indonesia saat merupakan negara dengan perokok laki-laki terbesar di dunia,” katanya, Rabu lalu. Selain itu, kata Lily, dua dari tiga laki-laki remaja dan pria usia produktif adalah perokok.

Menurut Lily, saat ini pembiayaan Jaringan Kesehatan Nasional mengalami defisit untuk mengobati penyakit katastropi terutama penyakit jantung, strok, kanker, gagal ginjal, dan diabetes mellitus. Pengeluaran pemerintah untuk biaya rawat inap dan jalan tertinggi berdasarkan laporan BPJS 2015 semuanya berkaitan dengan rokok (penyakit tidak menular). Merokok sebagai salah satu faktor risiko penyakit tidak menular dapat menyebabkan kanker atau tumor paru, bronkus dan trakea (54.300 kasus), diikuti  tumor mulut dan tenggorokan (6.670 kasus), penyakit paru obstruktif kronis (284.310 kasus), stroke (144.780 kasus) dan penyakit jantung koroner (183.950 kasus).

 “Litbangkes tahun 2013 menghitung besarnya beban akibat penyakit ini sebesar Rp 378,75 triliun atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau,” katanya.

Dengan data mengerikan ini, kata Lily, Indonesia harus mengaksesi FCTC.  Kalau tidak meratifikasi FCTC, Indonesia akan menjadi tujuan pemasaran produsen rokok internasional dengan risiko merusak kesehatan generasi bangsa. “Dan ingat, Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti conference of party, memperjuangkan kepentingannya dan terlibat dalam negosiasi penerapan panduan dan protokolnya,” ucapnya.

 

 

Perbandingan

FCTC adalah konvensi yang ditelurkan dalam Majelis Kesehatan Dunia WHO ke-56 pada 21 Mei 2003. Perjanjian ini mulai berlaku pada 27 Februari 2005. Hingga Februari 2016, FCTC telah diratifikasi dan diaksesi oleh 180 negara atau 90 persen populasi dunia.  Jika sudah meratifikasi, sebuah neganra wajib mengaksesi artikel-artikel di dalam FCTC, di antaranya soal peringatan bergambar, kawasan tanpa asap rokok, larangan beriklan dan sponsorship rokok, menaikkan cukai, dan kampanye berhenti merokok.

2 Negara Peratifikasi

INDIA

Tahun meratifikasi: 5 Februari 2004

Prevalensi merokok sebelum dan setelah: dari 27,5 menjadi 15 (periode 2005-2009)

Tingkat  pengangguran sebelum dan setelah ratifikasi: 4,3 (2002) menurun menjadi 3,5 (2011)

Pertumbuhan produksi rokok sebelum dan setelah: 97 miliar batang (2000) menjadi 100 miliar (2009)

Perubahan Tingkat Kemiskinan: 41,6 (2002) menjadi 32,7 (2011)

Perubahan Luas Lahan Perkebunan Tembakau: 433 ribu hektare (2000) menjadi 444 ribu ha (2010)

TURKI

Tahun meratifikasi: 31 Desember 2004

Prevalensi merokok sebelum dan setelah: dari 34,6 menjadi 31,5 (periode 2003-2009)

Tingkat pengangguran sebelum dan setelah meratifikasi: 10,4 (2002) menjadi 9,8 (2011)

Pertumbuhan produksi rokok sebelum dan setelah: 127,8 miliar (2000) menjadi 94 miliar (2009)

Perubahan Tingkat Kemiskinan: 2 (2002) menjadi 1,3 (2011)

Perubahan luas lahan perkebunan tembakau: 236 ribu ha (2000) menjadi 81 ribu ha (2010)

Data: WHO dan World Bank

 

INDONESIA

Belum meratifikasi

Prevalensi merokok sebelum dan setelah ada FCTC: 33,8 menjadi 34,9 (periode 2001-2011)

Tingkat pengangguran sebelum dan setelah ada FCTC: 91,6 (2002) menjadi 6,6 (2011)

Pertumbuhan produksi rokok sebelum dan setelah: 151 miliar (2000) menjadi 180,5 miliar (2009) dan kini 362 miliar batang (2015). Pemerintah menargetkan 524 miliar batang (2020)---Kementerian Perindustrian

Perubahan tingkat kemiskinan: 29,3 (2002) menjadi

16,2 (2011)

Perubahan luas lahan perkebunan tembakau: hampir 256 ribu ha (2002) menjadi 206 ribu ha (2014)------ data Kementerian Pertanian

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB