x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa yang Hebat bisa Tumbang

Banyak perusahaan bagus kemudian ambruk, dan sebagian besar disebabkan oleh masalah internal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seandainya Jagdish Sheth tidak terusik oleh pertanyaan yang diajukan Duanne Ackerman, ketika itu CEO BellSouth Corporation, mungkin buku berjudul Self Destructive Habits of Good Companies tidak akan lahir. Setidaknya, bila bukan dari Sheth, karya sejenis ini mungkin lahir karena alasan lain. Pertanyaan Ackerman itu sederhana, tapi jawabannya sukar: “Mengapa perusahaan bagus gagal?”

Ackerman pernah menjadi pengagum berat buku bisnis terlaris pada era 1980an, yakni In Search of Excellence, karya Tom Peters dan Robert Waterman. Namun, dengan berlalunya waktu, ia dikejutkan oleh banyaknya perusahaan yang dianggap sebagai contoh terbaik perusahaan kelas dunia dalam buku itu mengalami keterpurukan. Di antaranya adalah ikon-ikon bisnis AS, seperti Sears, Dana Corporation, AT&T, IBM, Xerox, dan Kodak.

Untuk menjawab pertanyaan yang mengusik itu, Sheth melakukan riset, setahap demi setahap, hingga ia sampai kepada kesimpulan bahwa perusahaan yang bagus akan terpuruk bila tidak mampu atau tidak mau berubah saat lingkungan usaha berubah secara signifikan. Di balik ketidakmampuan atau ketidakmauan beradaptasi itu, Sheth menemukan sejumlah kebiasaan buruk yang dilakukan perusahaan menjelang keterpurukannya.

Bukankah setiap perusahaan suatu ketika pasti menemui ajal? Sheth berusaha menunjukkan bahwa di samping dua teori mengenai sebab kematian perusahaan, ada satu lagi teori yang optimistis. Teori pertama menyebutkan, perusahaan mati karena perusahaan baru yang lebih besar atau lebih baik akan hadir dan mengambil alih bisnisnya. Teori kedua, seperti manusia, perusahaan juga memiliki siklus hidup berupa kelahiran dan kematian yang tak sanggup dielakkan. Alamiah belaka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sheth menawarkan pendapat berbeda. Sebagian besar perusahaan akan mampu hidup selamanya, kata Sheth, asalkan orang-orangnya menyadari, mengoreksi, dan mencegah timbulnya kebiasaan merusak diri. Karena ini berkaitan dengan kebiasaan, menurut Sheth, keterpurukan semestinya dapat dicegah.

Keberhasilan kerap menimbulkan sikap puas diri dan pengingkaran. Pengalaman yang dilalui  Digital Computer Corp., produsen minicomputer, adalah contoh pengingkaran itu. Di balik berbagai pujian yang diterima Kenneth Olsen, pendiril Digital, ia adalah eksekutif yang meragukan personal computer (PC) justru saat mulai pasar beralih ke komputer jenis ini. Ketika itu, Olsen mengejek PC sebagai “mainan anak-anak.”

Ketika Olsen digantikan oleh Robert Palmer, keadaan Digital membaik, tapi hanya untuk sementara waktu. Digital tamat riwayatnya ketika pada 1998 dibeli oleh Compaq, pembuat PC nomor satu di dunia waktu itu. Gordon Bell, salah satu kepala insinyur di era awal Digital, mengatakan, “Minicomputer VAX mengambil alih perusahaan. Tapi kesuksesannya membuat semua orang tidak lagi berpikir.”

Kekalahan Intel dalam pertarungan melawan AMD pada suatu ketika terjadi sewaktu perusahaan yang lebih kecil ini meluncurkan Opteron, chip berkemampuan 64-bit. Pada awalnya Intel dan sejumlah kalangan industri meremehkan chip buatan AMD ini. Namun, ketika IBM, Sun Microsystem, dan HP hanya dalam waktu satu tahun sudah terdaftar sebagai pelanggannya, Intel tidak punya pilihan lain kecuali mengejar ketertinggalan.

“Bila tidak ada AMD,” kata seorang eksekutif perusahaan pelanggan AMD, “Intel akan berleha-leha memaksimalkan keuntungannya.” Lebih tegas lagi, Fred Weber dari AMD menyatakan, “Intel arogan karena hampir menjadi monopolis… Rasa hormatnya kepada pelanggan hanya muncul bila pelanggan membentak.”

Arogansi, pengingkaran, sikap puas diri, menurut Sheth, adalah kebiasaan buruk yang merusak perusahaan bagus. Sheth menyebutkan, setidaknya ada empat lagi kebiasaan buruk yang paling penting untuk dicermati, yakni obsesi akan volume, fanatisme wilayah, rabun jauh persaingan, dan terlalu mengandalkan kompetensi.

Perusahaan kerap kesulitan dalam menilai dirinya sendiri, apakah organisasinya masih sehat atau nyaris terlambat untuk berubah. Sheth berusaha menunjukkan sejumlah tanda dari kebiasaan buruk itu, sehingga eksekutif dan manajer perusahaan dapat mengenalinya sejak dini dan berikhtiar untuk mencegah.

 Bila Anda sudah berhenti mendengarkan apa yang dikatakan pelanggan, pegawai, investor, ataupun pemerintah, itu pertanda arogansi sudah menghinggapi Anda. Bila Anda mau menang sendiri, dengan mengakali aturan dan prosedur dengan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat mengatur atau mempertanyakan bisnis Anda, itu pertanda Anda sudah arogan.

Lantas apa yang dapat dilakukan untuk meruntuhkan arogansi? Sheth menawarkan resepnya, walaupun ringkas. Hadapkan pada tantangan baru yang lebih pelik. Kegagalan menghadapi tantangan baru akan membuat mereka rendah hati. Selanjutnya, lakukan rotasi manajemen dan terapkan suksesi yang tidak lazim. Tempatkan kandidat dalam ‘jalur cepat’ melalui penugasan lintasfungsi, divisi, maupun pasar. Ganti pemimpinnya.

Cara lain yang dianggap efektif ialah dengan menunjuk orang luar untuk menjadi penasihat yang tugasnya, antara lain, mengingatkan Anda terhadap bahaya arogansi. Ia mesti orang yang aktif memantau Anda dan menjadi apa yang disebut profesor Thomas DeLong dari Harvard Business School sebagai “penyampai kebenaran.”

Betapapun, apakah kebiasaan buruk dalam perusahaan akan berubah atau tidak, semuanya berpulang kepada kepemimpinan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB