x

Iklan

Fandy Hutari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Valen, Jatuh-Bangun Mendidik Anak-Anak Marjinal

Valen adalah contoh Kartini di era modern. Dia ikhlas mengajar dan memberikan ilmu kepada anak-anak marjinal, tanpa balasan materi sama sekali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir bulan Januari 2016, hujan yang mengguyur Jakarta sejak dinihari, baru saja reda. Tersisa gerimis. Tepat pukul 09.00 WIB, seorang perempuan muda berbaju hijau sudah menunggu saya di seberang jalan, persis di kolong jembatan layang Jalan Pulomas-Cawang, Jakarta.

Di sini, sudah berkumpul sekitar 30 anak yang duduk beralas terpal. Jembatan layang ini setiap hari menanggung beban dilintasi bus kota, mobil pribadi, dan sepeda motor. Seolah melawan teriakan klakson, raungan deru mesin, dan tebalnya asap polusi, anak-anak ceria belajar di kolong jembatan ini.

Perempuan tadi bernama lengkap Valentina Palmarini Nugrahaningsih Sastrodihardjo (33). Valen, begitu dia akrab disapa, merupakan lulusan Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dari Universitas Negeri Jakarta. Setiap Sabtu dan Minggu pagi, Valen menempuh perjalanan hampir dua jam dari rumahnya di Petukangan, Ciledug, menuju sekolah kolong jembatannya itu.Dia menyisakan waktunya untuk berbagi ilmu kepada anak-anak selama dua jam di kolong jembatan layang ini, mulai pukul 09.00 WIB hingga 11.00 WIB.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

*

Sekolah itu diawali dengan terbentuknya sebuah komunitas bernama Care for Education pada 11 Mei 2010. Komunitas pendidikan ini didirikan Valen dan tiga kawannya. Di komunitas ini, Valen dan kawan-kawannya membuat empat program untuk pendidikan, salah satunya sekolah yang sekarang ada di kolong jembatan layang ini. Sekolah sederhana ini bernama Sekolah Kolong Pelangi.

“Saya waktu itu masih kuliah semester 5. Setiap hari saya melihat anak-anak ngamen di perempatan. Setiap hari kayak gini, apa ya apa yang bisa aku berbuat untuk mereka,” begitu awalnya dia tergerak untuk membangun sebuah komunitas pendidikan, termasuk Sekolah Pelangi.

Anak-anak bersemangat mengikuti arahan dari Valen. Sebelum belajar, mereka berdiri melingkar. Lantas, dengan khidmat, mereka berdoa. Kemudian, lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya, membacakan Pancasila, membaca 10 hak anak Indonesia, serta lagu nasional Garuda Pancasila ciptaan Sudharnoto dan Bagimu Negeri (Padamu Negeri) ciptaan Kusbini.

Lantas, mereka duduk berkelompok, berdasarkan usia sekolah: usia TK, kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan kelas 4. Pagi itu, Valen dibantu tiga kawan dari sebuah SMP di Jakarta, dan dua pengajar lainnya. Anak-anak belajar dengan ceria. Ada yang menggambar, mewarnai, memahami bentuk, dan berhitung.

*

Awalnya, sekolah ini bernama Teaching Child. Namun, kata Valen, karena anak-anak terlalu sulit mengeja aksen bahasa Inggris dan selalu menyebut “sekolah, sekolah!” maka sekolah dipilih untuk nama pengganti. Sedangkan pelangi, Valen memaknainya sebagai anak-anak didiknya yang indah seperti pelangi.

“Ada sesuatu yang indah, seperti pelangi. Pelangi kan warnanya indah.”

Anak-anak yang belajar di sekolah ini awalnya 150 anak. “Tadinya kita di seberang sana. Pakai pos pengamanangitu,” kata penerima beasiswa S2 untuk pegiat sosial dan seniman dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Matanya menerawang jauh ke arah seberang jalan. Sebuah tanah kosong yang dipagari seng dan tembok, serta ada sebuah plang tanah sengketa. Dahulu, Valen dan kawan-kawannya mengajar anak-anak di perkampungan pemulung yang sudah digusur itu.

“Setahun (tahun 2011 akhir) di sana digusur. Barang-barang (keperluan sekolah) dibakar,” ujarnya.

Pascapenggusuran dan pembakaran, anak-anak didiknya menyusut, karena banyak yang akhirnya terpencar, pindah entah ke mana. Derita keikhlasan Valen dalam mendidik anak-anak marjinal tak berhenti sampai di situ. Setelah tergusur, Valen meminjam rumah kontrakan seorang kawannya di dekat Universitas Ibnu Chaldun, Rawamangun, Jakarta Timur. Tak lama, hanya 8 bulan, Valen lagi-lagi terusir.

“Tetangga sekitar tidak suka. Karena banyak anak-anak. Mungkin mereka terganggu, karena berisik,” kata dia.

Lantas, Valen mendirikan sekolah lagi di sebuah halte bus yang ada di Jalan Pemuda, Rawamangun. Di sini, usianya berlangsung lebih singkat daripada di rumah kontrakan tadi. Akhirnya, 2013 dia memilih membangun sekolah di kolong jembatan layang, hingga saat ini. Bagaimana cara Valen mengajak anak-anak yang bekerja sebagai pemulung dan pengamen untuk belajar di sekolahnya?

“Sebelumnya, aku riset dulu selama 3 bulan. Gimana kondisi perekonomian (keluarga). Lalu aku ke orangtuanya, meminta izin,” kata perempuan kelahiran 4 April 1982 ini.

*

Kini, yang aktif belajar di Sekolah Kolong Pelangi ada sekitar 70 anak. Dalam kegiatan mengajar dan mendidik, Valen dibantu sukarelawan. Namun, mereka datang dan pergi.

“Ada yang cuma sekali ngajar, terus hilang,” ungkap perempuan yang mengidolakan Anies Baswedan ini.

Sukarelawan datang sendiri mengajar di Sekolah Kolong Pelangi, lantaran tertarik melihat aktivitas Valen di Sekolah Kolong Pelangi yang diunggah ke media sosial.

“Saya pernah sendirian mengajar, setahun lebih. Sekarang ada 5 (pengajar).”

Di Sekolah Kolong Pelangi ini, anak-anak tak hanya diajari pelajaran asah intelektual, tetapi juga budi pekerti.

“Aku mengajarkan kata maaf, terima kasih, dan tolong. Jadi, akhirnya mereka sering mengucapkan itu. Tadinya mereka tidak mengerti,” ujarnya.

Di sekolah ini, menurut Valen, dirinya juga ingin meminimalisir anak-anak didiknya menonton televisi dan bermain gawai. Dengan hanya dua jam di Sekolah Kolong Pelangi, anak-anak sudah mendapatkan edukasi.

Di sekolah ini, selain lagu nasional, anak-anak juga dikenalkan dengan lagu anak. Lagu anak ini kerap dinyanyikan jelang jam pulang. Alasannya, anak-anak saat ini sudah kehilangan salah satu hak mereka untuk mendengarkan lagu anak.

Keterampilan membuat sesuatu pun diajarkan di sini. Toleransi diaplikasikan Valen melalui cara berdoa yang umum, memakai bahasa Indonesia. Saat Natal, Idul Fitri, atau Imlek, anak-anak juga diajari membuat hiasan-hiasan.

“Jadi kita menghargai setiap individu,” kata Valen yang sehari-hari bekerja di Sekolah Katolik Ricci 2 Bintaro, Tangerang.

*

Banyak sekali kisah haru yang membekas dalam ingatan Valen di Sekolah Kolong Pelangi. Salah satunya saat berhasil mengajari membaca kepada satu pengamen yang buta huruf beberapa tahun silam. Sebelum bisa membaca, pengamen ini sering tersasar jika hendak pulang ke rumah.

“Terima kasih ya, Kak. Kita sudah diajarin membaca, jadi kita tidak nyasar lagi kalau pulang,” kata Valen menirukan kata-kata pengamen itu, yang selalu membuatnya terharu.

Selain itu, Valen juga menikmati proses pertumbuhan anak-anak saat bergiat di Sekolah Kolong Pelangi. Menurut dia, ada anak-anak yang dahulu ikut Sekolah Kolong Pelangi masih berusia satu tahun, kini sudah 6 tahun.

“Ada beberapa (anak) yang dari kecil sampai besar mereka di sini (Sekolah Kolong Pelangi),” katanya.

Ke depan, Valen berencana pindah ke tempat yang lebih layak untuk belajar-mengajar. Valen sangat sadar, sebagai seorang pendidik, dia harus bisa mengaplikasikannya ke orang lain. “Bahwa hidupku bisa berguna untuk orang lain,” kata dia.

Valen adalah contoh Kartini di era modern. Dia ikhlas mengajar dan memberikan ilmu kepada anak-anak marjinal, tanpa balasan materi sama sekali. Mirip seperti nasihat Anies Baswedan kepadanya, “banyak orang pintar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi berapa banyak orang yang mau mengajarkan hal itu?" Valen adalah salah satu yang sedikit itu.[]

Ikuti tulisan menarik Fandy Hutari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB