x

Ilustrasi menulis. shutterstock.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Rumah di Benak Orang Lain

Menulis tidak ubahnya membangun rumah di benak orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

George Orwell, penulis 1984 dan Animal Farm, pernah mengungkapkan rahasia yang, menurut dia, tersimpan dalam diri setiap penulis. Rahasia ini terkait alasan mengapa mereka menulis. Orwell menyebut empat alasan rahasia itu: egoisme belaka, antusiasme estetis, impuls historis, dan tujuan politis. Semua alasan ada di balik kepenulisan seseorang, meski berbeda-beda proporsinya.

Egoisme terkait dengan hasrat seseorang untuk terlihat cerdas, dibicarakan orang, diingat setelah kematiannya, dan seterusnya. “Motif ini juga dimiliki oleh mereka yang jadi ilmuwan, artis, seniman, pengacara,” kata Orwell.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian penulis lainnya mengejar keindahan dalam tulisan, sejenis kesenangan yang didapat dari tulisan yang bagus. “Mereka berusaha menemukan ritme dalam cerita yang bagus,” kata Orwell. Sebagian lainnya menulis karena dorongan untuk menemukan kebenaran dalam peristiwa-peristiwa. Entah karena becermin pada dirinya sendiri, Orwel juga berkata: “Tidak ada buku yang secara genuin bebas dari bias politik.”

Sekalipun begitu, banyak orang punya pandangan lain. Entah sekadar berkelakar, mungkin pula tidak, dalam bagian pidatonya saat menerima Hadiah Nobel 2006 Orhan Pamuk berkata: “Saya menulis karena saya tidak dapat melakukan pekerjaan normal sebagaimana orang lain lakukan.” Saya rasa, Pamuk hereui.

Mendiang sastrawan Reynolds Price punya alasan yang lebih serius. Baginya, menulis adalah satu-satunya hal yang benar-benar sangat baik di dunia ini. “(Dengan menulis), saya dibuat sibuk sehingga tidak terjerat masalah, menjaga diri agar tidak gila, atau sekarat karena depresi.” Price mengaku memperoleh banyak sekali kesenangan dari menulis, tapi yang terpenting ya itu tadi: tidak gila dan tidak sekarat karena depresi—barangkali karena ia begitu bebas menyalurkan emosinya. Meskipun, banyak pula penulis yang mengakhiri hidupnya dengan tangan sendiri.

Memang ada beragam alasan yang mendorong seseorang untuk menulis—kamupun niscaya punya (Misalnya saja, “Saya menulis sebagai hobi, profesi saya dokter” walaupun ada pula yang sebaliknya, “Profesi saya menulis, menjadi dokter hobi saya”). Dalam bukunya, Fields of Play, sosiolog Laurel Richardson mengungkap motifnya, yakni ingin menemukan sesuatu lewat menulis. “Aku menulis untuk belajar sesuatu yang aku tidak mengetahui sebelum aku menulisnya,” kata Laurel. Dengan menulis, ia merasa akan menemukan sesuatu.

Menulis, tulis mendiang William Safire, dulu kolomnis The New York Times, dalam William Safire on Language, adalah cara untuk mengekspresikan diri—dan “saya menikmatinya”. Menulis, di sisi lain, menjadi jalan untuk memaksa dirinya berpikir lebih koheren ketimbang hanya berbicara. Menulis membuatnya berpikir lebih terarah, fokus, teratur, tapi mungkin juga lebih liar namun tersampaikan kepada pembacanya.

Foer menulis untuk mengakhiri kesendiriannya—dengan menulis, ia merasakan percakapan dengan orang-orang yang tak terlihat, yang jauh, yang ada dalam imajinasi, yang belum pernah ia jumpai di dunia nyata, tapi membuatnya merasa memiliki teman. “Percakapan mungkin terjadi walaupun jarak berjauhan,” tulis Jonathan Safran Foer seperti dikutip Deborah Solomon dalam “The Rescue of Artists”.

Menulis juga proses konstruksi—menghimpun serakan-serakan peristiwa, pengalaman, pemahaman, emosi, suasana. Seringkali kita tak mampu langsung mengerti apa yang tengah terjadi. “Inilah bagian dari alasan mengapa menulis, sebab pengalaman tidak pernah tampak sangat nyata hingga saya membangkitkannya kembali,” kata Gore Vidal ketika diwawancara oleh Bob Stanton (Views from a Window: Conversations with Gore Vidal, 1980). Ketika seseorang berusaha menulis, ia membangunkan kembali apa yang tersimpan selama ini—masa lampau dan masa kini.

Orang-orang yang telah menulis, seperti kata Alfred Kazin, telah membangun rumah di atas kertas (di layar komputer), di suatu waktu, dan di benak orang lain. Saya rasa saya dapat bersepakat pada Kazin, walaupun mungkin sebagian pembaca menolaknya—sepenuhnya atau sebagian. Diniatkan ataupun tidak, pikiranmu bersemayam di benak banyak orang ketika mereka membaca tulisanmu. Walau sejenak, tapi jejaknya pernah ada di sana. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu