x

Kontras menggelar kopi darat di Taman Demokrasi dengan pembacaan puisi, menyanyi, menari, dan menyerahkan 60 ribu petisi ke pemerintah sebagai wujud dukungan agar negara membeantas mafia narkoba secara sistematis pada 20 Agustus 2016. Tempo/Avit Hida

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Poin Krusial Demokrasi

Demokrasi menjadi sesuatu yang sakral karena dalam dirinya ada prinsip kebebasan yang menginklusi hak dan martabat kemanusiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menurut Badan Pusat Statistik (3/8) merangkak turun. IDI untuk level nasional: 72,82 dengan skala 0-100, turun dibandingkan IDI 2014: 73,04 persen. Penurunan tersebut pada dua aspek: kebebasan sipil (dari 86,62 menjadi 80,30) dan aspek lembaga demokrasi (dari 75,81 menjadi 66,87).

Minusnya dua variabel tersebut sebenarnya sudah diramal, mengingat belakangan, toleransi beragama kita belum keluar dari kegentingan. Kasus pembakaran dan pembongkaran paksa puluhan gereja di Aceh Singkil, larangan Walikota Bogor terhadap perayaan harri Asyura oleh komunitas Islam Syi’ah, pembongkaran sanggar persujudan komunitas sapto Dharmo di Rembang, hingga pengrusakan sejumlah rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara, adalah bukti konkret. Tak heran raut demokrasi selalu ambigu: kebebasan diagungkan, tapi dengan melemahkan kenyamanan banyak orang. Memperluas kemakmuran dengan menendang tungku orang miskin.Parpol dan DPR(D) kurang lebih sama,lebih asyik “beronani” lewat kultur politik uang, perburuan rente, transaksional dan abai pada misi sakral, reproduksi kader pemimpin (Winters 2014).

Tak semua variabel demokrasi merepresentasikan beragam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu (Diamond, 2003). Namun laporan tersebut cukup untuk menyaringkanperingatan, bahwa kemerosotan IDIberfirasat serius pada sisi kesejahteraan yang terluka. Itulah kenapa garis kemiskinan nasional kemarin naik 2,78 persen, dari Rp.344.809 perkapita/bulan September 2015 menjadi Rp.354.386 perkapita/bulan pada Maret 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika pepertuasi demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka sisi suara dan kepentingan rakyat mestinya dikultuskan sebagai basis moral demokrasi, bukan diketiaki kekuasaan. Tak heran jika di kita, menonton warga mencari ubi hutan supaya bisa makan seperti di NTT, anak balita dirajam gizi buruk atau remaja desa dibujuk cari makan di negeri orang sembari bertaruh nyawa (disiksa, dibunuh), adalah hal biasa. Padahal itu semua puzzle retaknya bangunan demokrasi kita, terutama memakai sudut pandang Hannah Arendt (filsuf politik asal Jerman).

Bagi penulis, demokrasi lebih dari sekadar instrumen menuju kesejahteraan.Demokrasi menjadi sesuatu yang sakral karena dalam dirinya ada prinsip kebebasan yang menginklusi hak dan martabat kemanusiaan. Ia menjadi hakekat dari kualitas kehidupan yang dituju demokrasi. Kalau demokrasi sekadar alat, sistem kerajaan atau diktator benevolent absolut jauh lebih baik dalam memerhatikan rakyat.

Karenanya, jika kebebasan yang bertanggung jawab dirampas demi merebut “kebebasan lain”, maka demokrasi hanya sebatas angka-angka dalam peti pemilu. Ironisnya, momentum politik seperti pilkada kerap merusak imajinasi warga terhadap spirit demokrasi karena menghasilkan pemimpin yang cuma lihai bersabda, atau memimpin bergaya angsa: berteriak nyaring tapi tak kunjung bergerak.

Kenapa industri ekstraktif terus dikuasai para mafia yang puluhan tahun memutus siklus kesejahteraan warga? Kenapa pemerintah tak tergerak, melihat indikasi adanya monopoli kelompok usaha tertentu yang membuat harga kebutuhan pokok mahal dan sulit dijangkau masyarakat? Mengawal politik beradab memang tak cukup dengan tuduhan. Tapi untuk merawat nalar berkuasa supaya tidak keluar rel dan mereduksi hal vital dari rakyat, jelas dibutuhkan kritik sebagai sanggahan konstruktif atas kenyamanan berkuasa.

Keterlenaan pada statistik demokrasi, tanpa bergerak aktif membuat perubahan konkret, tak akan pernah mengantar kita pada ujung perjalanan mencari kebenaran yang obyektif. Memang perjuangan melembagakan nilai-nilai demokrasi oleh pemerintah dan rakyat adalah proses yang perlu dihargai karena memakan biaya, waktu serta ratapan. Namun apresiasi harus dalam kadar semestinya, supaya tak kehilangan keseimbangan dan nilai-nilai terpenting tak mudah digerus arus besar pencitraan politik.

Tahun lalu, puluhan tokoh adat dari berbagai wilayah di Kabupaten Ende, NTT yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berunjuk rasa ke gedung DPRD. Mereka ingin menggugah kesadaran pemerintah bahwa daerah-daerah di NTT selalu terjadi konflik SDA seperti pertambangan, konflik tapal batas hutan adat dan konflik okupasi lahan masyarakat adat untuk dijadikan hutan lindung dan lain-lain.

Konflik di wilayahFlores, Lembata, khususnya izin pertambangan minerba yang masih berstatus izin eksplorasi berjumlah 313. Untuk Kabupaten Ende, konflik bertensi tinggi didominasi konflik kawasan hutan adat yang saat ini masih berstatus pada kekuasaan negara. Kawasan hutan yang dijadikan Taman Nasional (5538.36 ha), cagar alam (1958.24 ha), hutan produksi konversi (1186.029 ha), kawasan hutan produksi (36556.701 ha), kawasan hutan produksi terbatas (1506.603 ha), dan kawasan hutan lindung (24193.338 ha). Padahal keputusan MK, hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara.

Konflik memperebutkan ruang hidup masyarakat nampaknya masih terjadi, dan mestinya menjadi poin krusial bagi substantif berdemokrasi. Ada enklave kerakusan dalam wilayah ekologis yang “sengaja” dipelihara kekuasaan. Selain itu, ada pengecualian terstruktur yang dilakonkan para pengambil keputusan setempat, seakan menganggap konflik-konflik tersebut soal biasa.Jika dua hal tersebut tak pernah menjadi entropi untuk bertobat bagi pemerintah dalam meresponsakitnya kondisi sosial, kita khawatir demokrasi hanya akan melahirkan bom waktu kemiskinan, pengangguran dan tipisnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan segala agenda politik.

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB