x

Petugas satgas kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut yang terjadi di Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau, 27 Agustus 2016. ANTARA/Rony Muharrman

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antara Investasi dan Hutan Kita

Sangat perlu ditekankan di sini bahwa merisikokan kelestarian bukanlah berarti pasti merusak hutan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jalal
Reader on Political Ecology and Corporate Governance
Thamrin School of Climate Change and Sustainability
 
 
Saya diminta untuk menjadi moderator pada sebuah side event dalam konferensi setahunan yang diselenggarakan oleh United Nations Principles for Responsible Investment (UN PRI).  Konferensi tersebut, PRI in Person, adalah yang terbesar di dunia dalam mengumpulkan para pemangku kepentingan investasi yang bertanggung jawab.  Di sinilah ajang yang memungkinkan pesertanya mendapatkan informasi lengkap tentang apakah investasi memang semakin diarahkan kepada keberlanjutan, ataukah masih cenderung melawan tujuan tersebut.   
 
Sesi yang saya moderatori itu bertajuk Forests and Finance.  Diselenggarakan pada Selasa 6 September 2016, hari pertama konferensi.  Perwakilan dari tiga institusi yang berkolaborasi membangun www.forestsandfinance.org adalah pembicara-pembicara pada acara tersebut.  Ketiga institusi itu, Rainforest Action Network, TuK Indonesia, dan Profundo telah bekerja keras selama lebih dari setahun untuk menunjukkan kepada dunia apa yang sesungguhnya terjadi di hutan-hutan Indonesia.
 
Caranya adalah dengan menunjukkan siapa saja perusahaan yang terlibat di dalam sektor-sektor yang membawa risiko terbesar terkait kelestarian hutan: kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, serta kayu. Tidak seluruh perusahaan ditunjukkan, melainkan hanya 50 besar saja.  Tetapi kemudian—yang jauh lebih menarik lagi—adalah siapa sesungguhnya bank dan investor di balik perusahaan-perusahaan tersebut.
 
Mengapa bank dan investor yang membiayai perusahaan-perusahaan itu sangat penting untuk diketahui?  Tampaknya jawaban yang paling memuaskan adalah keniscayaan sejarah.  Kalau kita membincangkan soal deforestasi di tahun 1990an, para petani ladang berpindah lah yang dianggap paling bersalah.  Mereka yang paling banyak disebut, juga ketika kebakaran hutan dan lahan hebat terjadi pada penghujung dekade itu.  Padahal tentu saja mereka tak cukup punya daya untuk menjadi aktor utama bencana lingkungan yang membuat kita kehilangan setidaknya USD6 miliar itu.
 
Di penghujung dekade itu juga, dan semakin kuat di awal 2000an, kita menyaksikan bahwa aktor yang paling banyak disebut bukanlah lagi para petani di sekitar hutan.  Uang yang sangat besar yang bisa diambil dari kegiatan pembalakan serta konversi hutan menjadi perkebunan menjadi pertanda bahwa aktor utamanya pastilah berkantung tebal.  Maka, pada periode itu pembicaraan mengenai penanggung jawab deforestasi di negeri kita bergeser kepada korporasi yang terutama berada di sektor kehutanan dan perkebunan.
 
Tetapi sejarah terus bergeser.  Pemahaman soal siapa yang bertanggung jawab kemudian tidak lagi dibatasi oleh siapa pemilik konsesinya, melainkan juga siapa yang menyediakan pembiayaan untuk itu.  Dokumen yang ditulis van Gelder dan Wakker—People, Planet, Palm Oil?—tepat satu dekade yang lampau adalah salah satu yang membawa dunia kepada sudut pandang yang berbeda.  Tentu saja, mereka yang membiayai adalah yang mendapatkan keuntungan finansial dari bisnis yang merisikokan kelestarian hutan tersebut.
 
Sangat perlu ditekankan di sini bahwa merisikokan kelestarian bukanlah berarti pasti merusak hutan.  Risiko sendiri berarti ketidakpastian.  Tetapi, bila kita melihat kondisi di lapangan, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia di sektor tersebut memang membawa dampak kehutanan yang negatif yang besar dan tak terbalikkan.  Kabar buruknya adalah, bahwa apapun manfaat ekonomi dan sosial yang datang bersama dengan bisnis tersebut akan hilang dalam jangka panjang bila lingkungan rusak.
 
Di antara dampak lingkungan yang paling menonjol tentu adalah hilangnya keanekaragaman hayati.  Entah sudah berapa banyak cerita mengenai hilangnya habitat orangutan, harimau sumatera, dan gajah pigmi yang dituliskan.  Setiap kita kehilangan material genetik, spesies dan habitat lantaran deforestasi, kita kehilangan peluang untuk pemanfaatannya selama-lamanya.  Kita tak pernah tahu bahwa ada tumbuhan endemik tertentu yang sesungguhnya bisa mengobati kanker tertentu di hutan kita, kalau bagian hutan itu sudah telanjur hilang.
 
Kalau kita sadar pada dampak perubahan iklim, kita akan sangat ngeri membaca hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa kehilangan hutan tropis itu menyumbang 14-21% dari total gas rumah kaca dunia.  Sudah beberapa tahun belakangan ekspansi perkebunan kelapa sawit serta pulp dan kertas merangsek masuk ke dalam kawasan gambut.  Dari situ saja, kita menyumbang 1-2,5% total emisi.  Sebuah sumbangan yang tak bisa kita banggakan sama sekali.  Dan, tentu saja, kebakaran hutan dan lahan yang jadi bencana lingkungan paling mengerikan di abad 21, terjadi terutama lantaran pembukaan lahan gambut.  Emisinya setara 1.7 miliar ton CO2.  Tapi kita juga kehilangan 2,6 juta hektare lahan, dan nilai ekonomi dari kerugian itu mencapai setidaknya USD16 miliar.  Ini seperti kita dihajar Tsunami Aceh dua kali dalam kurun waktu tiga bulan saja.
 
Deforestasi juga menyebabkan daya regulasi hidrologi dari hutan menghilang.  Air menghilang bersama dengan menghilangnya hutan.  Banjir di mana-mana terjadi, membawa korban nyawa dan harta, menyisakan trauma yang kerap tak lekang oleh waktu.  Bahkan, para ilmuwan telah menemukan bukti bahwa deforestasi di Indonesia telah membuat pola curah hujan bergeser.  Bukan saja di tingkat lokal dan regional di mana hutan itu menghilang, namun juga dalam skala nasional dan global.  Kalau nilai air yang hilang itu diperhitungkan, jumlahnya sudah jauh melampaui nilai ekonomi kayu yang hilang dari hutan-hutan itu.
 
Siapapun juga yang pernah datang ke kebun-kebun kelapa sawit dan mengamati sungai-sungai di sekitarnya akan melihat dampak lingkungan yang jelas: erosi tanah.  Sungai-sungai menjadi keruh lantaran membawa gerusan tanah sepanjang tahun.  Di musim hujan, apalagi bila banjir terjadi, pemandangannya menjadi lebih mengerikan lagi.  Selain itu, kontaminasi atas air sungai juga terjadi lantaran berbagai bahan kimiawi yang dipergunakan untuk perkebunan.  Laporan tentang ikan-ikan yang mengecil atau bahkan menghilang, lalu membuat warga desa harus membeli lauk-pauk dengan uang, membuat mereka menjadi lebih miskin, bisa ditemukan hampir di manapun kebun sawit berada.
 
Sekali lagi, sektor-sektor yang membawa risiko kehutanan itu bukannya tidak membawa dampak positif dalam aspek ekonomi dan sosial.  Namun, kerap kali itu semua didapat dengan mengorbankan lingkungan.  Dan korbanan itu pasti menuntut pihak tertentu untuk membayarnya, termasuk dan terutama generasi mendatang.  Mereka tidak akan mendapatkan jasa lingkungan udara dan air yang bersih sebaik yang dinikmati generasi sebelumnya.  Tapi, sebagaimana yang juga telah banyak dituliskan, sangat banyak korbanan itu dibayar tunai hanya berbilang waktu yang sebentar.  Ketika waktu membayar tiba, dampak positif ekonomi dan sosial menjadi semu atau bahkan hilang sama sekali.
 
Pertanyaannya kemudian, apakah kita tidak akan menuntut akuntabilitas perusahaan-perusahaan, serta investor dan bank yang berada di belakangnya?  Kini kesadaran global telah semakin jelas, yaitu bahwa tanggung jawab atas itu semua juga harus dibagi di antara perusahaan dan mereka yang menaruh modal agar perusahaan itu bisa bekerja.  Mereka sama-sama menangguk untung, dan sewajarnya pula berbagi tanggung jawab dan tanggung gugat.  Sudah saatnya kita bersikeras menuntut pertanggunggugatan itu, dengan data yang kokoh, kepada pihak yang tepat.
 
Kalau kita perhatikan isi website yang baru diluncurkan itu, kita akan mendapati kenyataan bahwa bank-bank yang membiayai sektor-sektor yang merisikokan kelestarian hutan kita sesungguhnya tidak hanya berasal dari Indonesia.  Bahkan, sebagian besar dana itu tak berasal dari bank-bank Indonesia.  Malaysia, Tiongkok dan Jepang adalah negeri-negeri asal bank yang memberikan modal terbesar.  Indonesia sendiri ada di nomor empat, disusul oleh Singapura, Inggris, lalu Amerika Serikat.  Di peringkat 10 besar bank pemodal, tak ada satupun nama bank dari negeri kita.
 
Website tersebut jelas akan memberikan transparensi radikal yang dibutuhkan untuk memulai tuntutan akuntabilitas juga ditujukan kepada sektor perbankan.  Tetapi, lantaran dominasi bank asing sangatlah kuat di sektor-sektor yang membawa risiko kelestarian hutan, maka kerjasama internasional adalah juga sebuah keniscayaan.  Kalau kita tak berhasil mendesak otoritas jasa keuangan di Malaysia, Tiongkok, Jepang dan negara-negara yang banknya berinvestasi di hutan dan lahan kita untuk berubah—membuat bank-bank di sana sepenuhnya memerhatikan kelayakan lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam pengambilan keputusan investasi—selain mendesak hal yang sama di negeri sendiri, maka hutan kita akan terus berada dalam bahaya.  Kita akan terus berada dalam bahaya.
 
 

Singapura, 7 September 2016

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini