x

Anak jalanan yang hidup di sejumlah kota besar khususnya di Jakarta terancam tindak kejahatan sindikat perdagangan anak yang akan dijadikan sebagai komoditas seks.TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tercabiknya Kemanusiaan

Di Surabaya, seorang agen perdagangan manusia tak tanggung-tanggung menukar 20 anak dengan sebuah mobil Xenia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam forum dialog bersama para Pimpinan Redaksi (Pemred) salah satu media massa di Surabaya, Jumat (2/9), Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memastikan, kasus perdagangan manusia (human trafficking/HT) di NTT akan diusut hingga tuntas. Pasalnya kala ia dilantik menjadi Kapolri, salah satu yang ditekankan Presiden Joko Widodo adalah soal penuntasan HT di NTT di mana setiap tahapan proses hukum kasus tersebut harus dilaporkan ke Presiden. Untuk menggaransi itu kepada warga NTT, Tito juga merubah plesetan NTT (Nanti Tuhan Tolong) menjadi Nanti Tito Tolong.

Sebelumnya, 14 pelaku HT berhasil ditangkap di sejumlah daerah yang menjadi jaringan mafia TKI dari NTT, yakni Semarang (Jawa Tengah), Jawa Timur, Dumai (Riau), Tanjung Balai (Kepulauan Riau), dan dari NTT sendiri, dengan korban mencapai 941 anak NTT. Tragisnya, anak-anak dengan rata-rata berusia 15-16 tahun itu, diperdagangkan layaknya hewan di pasar mulai harga Rp 4,5 juta hingga Rp 27,5 juta per orang, sebagaimana disampaikan Brigjen Pol. Drs. Eustaceus Widyo Sunaryo, saat jumpa pers di Markas Polda NTT, Senin (22/8). Tak itu saja, seorang agen perdagangan manusia dari Surabaya tak tanggung-tanggung menukar anak dengan mobil Xenia.

Remuk-redam kita menyimaknya. Harga utuh kemanusiaan begitu gampang dikuret oleh kalkulusekonomi-eksploitatif para kapitalis modern. Mereka tidak saja melucuti masa depan para korban, tapi juga menjatuhkan martabat mereka di titik nadir. Anak-anak malang, kaum minoritas tersebut, beserta keluarganya diposisikan sebagai penghuni abadi tempurung kerakusan atas nama mimpi plastis kekayaan. Realitas kemiskinan, ketidakadilan yang mestinya dibela dan dilindungi malah menjadi entropi manipulasi dan penaklukan kehendak dan pilihan para korban untuk hidup sejajar dengan yang lain di dalam negara demokrasi ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah keterlaluan jika fenomena ini tak menyulut keprihatinan pemerintah. Sebab bagaimanapun fakta tersebut seakan menyeret kita dalam situasi, apa yang oleh John Locke sebut sebagai masyarakat prapolitik, di mana mereka, korban HT itu, tidak lagi mampu menggenggam hak untuk hidup merdeka dan memiliki sebagai manusia utuh. Ditambah lagi, tugas pemerintah untuk memberikan jaminan penghidupan yang layak dan berkeadilan kepada seluruh warga negara sebagaimana perintah konstitusi mulai tergembosi saat berhadapan dengan gurita fulus dan kekuasaan.

Orang-orang kecil dalam bangsa sebesar ini, dibiarkan bergeliat, menggangsir hidupnya sendiri di tengah jaring laba-laba “anarkisme pasar” (Friedman, 1973). Situasi di mana tawar-menawar harga sebuah produk terjadi dalam multifacet (multiwajah), tidak saja barang secara fisik, tetapi juga reproduksi kapital dari sosok-sosok bertubuh yang kehilangan nilai tawar dan esensi hidup, karena dalam bursa rekognasi sosial ia tak punya potensi, skill, yang bisa  “dijual”, selain mimpi-mimpi yang “menidurkan” para calo, aparat, petinggi rakyat dalam ranjang kejahatan konspiratif.

Di NTT, stigma sebagai sarang kemiskinan telanjur terpompa kuat dan menggelembungkan inferioritas sistemik. Deretan realitas kepapaan wong cilik dalam etalase pembangunan yang menderu nan ringkih itu justru menjadi umpan segar bagi para broker manusia yang ada di kursi-kursi pengambilan keputusan. Dua kemirisan pun mencuat di sini. Pertama, kondisi kemiskinan masyarakat NTT selalu dikomoditisasi untuk memproduksi mesin uang dengan tumbal nyawa rakyat jelata.

Termasuk plesetan Nanti Tito Tolong yang sejatinya tidak etis diucapkan di kala para korban HT nyaris tersudut di ujung ajal. Selain memperkeras stigma ketidakberdayaan kolektif yang sudah ada, dengan plesetan itu seolah kita hanya membaca realitas kelam HTdalam perspektif mainan angka dan simbol mati. Padahal harapan rakyat, terutama korban, bukan sekadar melihat sikap misantrofik (membenci) dari pemerintah. Lebih darinya, butuh lompatan reaksi kebijakan aparat lebih nyata, dengan mengungkap siapa dalang sindikat HT yang telah memerkosa masa depan rakyat kecil, termasuk generasi muda.

Di kurik ini persoalannya, karena para penjahat top yang menyuplai energi dan jaminan proteksi bagi kaki-kaki tangannya, selalu “sulit” disentuh. Makanya HT walau terjadi berulang-ulang di NTT, tapi tidak ada upaya serius dan tuntas dari aparat maupun pemerintah untuk meredam operasi jahanam tersebut, yang justru kini telah berubah menjadi ladang bisnis.

Kedua, ada sesat kebijakan pemerintah (lokal) yang telanjur termakan adopsi politik kacangan materialis, seperti membagi-bagi uang supaya memuaskan publik, meski ujungnya cuma kamuflase populisme sempit. Anthony Giddens pernah mengingatkan, negara kesejahteraan dengan perangai tersebut tak mungkin menjadi sebuah negara investasi sosial, karena tugas pemerintah yang paling hakiki ialah menanamkan “modal manusia”, bukan bantuan langsung pemeliharaan ekonomi atau outdoor relief, yang melemahkan kapasitas rakyat untuk berdikari (1998:117), termasuk kemampuan untukmemperoleh pendidikan, layanan kesehatan dan standar hidup minimal, sebagai rumus memperkuat kapasitas masyarakat dalamberkompetisi di pasar kerja yang asimetris dan kejam.

Kita respek atensi Presiden menuntaskan HT di NTT. Namun harus disertai praksis koersi penegakan hukum bagi para pelaku termasuk gembong sindikatnya, karena itulah otoritas paling kokoh untuk melindungi kaum minoritas. Orang tidak akan mengerti apa itu hukum, apa itu negara, jika tak melihat koersi sebagai tambahan otoritas ada dalam negara (pemerintah) (Raz 1979, Green 1998). Intinya, negara harus di garda terdepan memerangi HT untuk membalut luka anak bangsa yang tercabik.

 

Oleh : Umbu TW Pariangu

Dosen FISIP Undana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB