x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lenyapnya Negara Proklamasi

Keadaan Indonesia sekarang ini menunjukkan bahwa Indonesia ini hanya negeri jajahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan sekitar hanya 0,2 persen manusia Indonesia menguasai sekitar 74 persen tanah di negara ini, dapat dikatakan ini merupakan keadaan negara demokrasi terburuk di dunia. Bagaimana demokrasi bisa menghasilkan oligarkhi kekuasaan agraria yang sedemikian parah dan mengerikan?

Keadaan ini mengingatkan pada hasil riset Elizabeth Fuller Collins (2008), seorang akademisi dari Ohio University yang meneliti Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Indonesia Dikhianati” ia menuliskan diantaranya: “Saya mempelajari bagaimana pembangunan telah digunakan untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang mengizinkan para pemegang kekuasaan politik bersekutu dengan kepentingan-kepentingan korporasi untuk melipatgandakan kekuasaan dan kekayaan mereka, sekaligus mengusir rakyat dari tanah mereka sehingga mereka terpaksa pergi ke kota-kota tempat mereka sekarang berusaha bertahan hidup dengan apa saja yang dapat mereka lakukan.”

Ellizabeth melihat bahwa gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, Thailand dan Philipina untuk meletakkan dasar bagi pergerakan demokrasi yang membawa kejatuhan rezim-rezim otoriter, tetapi belum berhasil melawan dominasi ekonomi pasar bebas atau pembangunan model liberal yang telah memperlebar jurang si kaya dengan si miskin di seluruh bumi. Ia berpendapat bahwa perubahan yang mengharuskan pengakuan terhadap kapitalisme neoliberal atau ekonomi pasar bebas, yang dipromosikan di bawah rubrik globalisasi, adalah ideologi utopis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tentu sudah sering bicara apa itu kapitalisme, yang oleh Bung Karno dikecam sebagai biang imperialisme dunia. Di latar belakang kecaman dan perjuangan melawan imperialisme sebagai anak kapitalisme itulah negara Pancasila ini didirikan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Negara Indonesia ini justru menjadi budak kapitalisme neoliberal. Kalah telak tanpa perlawanan.

Sebagai suatu paham, kapitalisme sangat menekankan sisi individualisme dibandingkan kolektif. Kapitalisme merupakan metamorfosis dari ideologi liberalisme yang dikembangkan oleh negara Barat. Kapitalisme merujuk pada pengertian organisasi sosial dan ekonomi tertentu yang tidak mengakui campur tangan pemerintah dalam kehidupan perekonomian negara. Negara hanya dianggap sebagai “penjaga malam”, atau pengatur proses, tetapi tidak membatasi pemilikan dan perilaku ekonomi dari para pemilik modal. Anda tentu pernah mendengar pernyataan seorang Direktur BNI yang mengatakan, hanya ada di Indonesia ini hukum membolehkan asing memiliki 99 persen saham bank nasional.

Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang filsafat sosial dan politiknya berdasarkan pada asas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya, serta perluasan dari paham kebebasan. Dalam kurun waktu abad ke-14 sampai dengan ke-16 muncul kelas borjuis, mengiring tahap feodal, di mana keduanya saling mengisi. Selanjutnya sejak abad ke-16 secara bertahap fase borjuis disusul dengan fase kapitalisme.

Periode kapitalisme klasik yang didasarkan dalil the least government is the best government mulai ditinggalkan negara-negara Barat, karena tidak mampu mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Terjadi pemberontakan di negara-negara Utara oleh para buruh dan pengangguran tahun 1930 – 1940, serta keberhasilan perjuangan kemerdekaan negara-negara jajahan tahun 1940 – 1950. Selanjutnya berganti ke periode neokapitalisme atau neoliberalisme, yang didasari pada gagasan John Maynard Keynes (1883 – 1946) yang menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ekonomi yang mengedepankan peran pemerintah.

Para penguasa neokapitalisme tersebut mempengaruhi negara dan badan-badan internasional, termasuk PBB. Berdasarkan penelitiannya, Martin Khor Kok Peng menyatakan bahwa PBB kini semakin dekat dengan korporasi-korporasi internasional. Demikian pula hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno bahwa dalam masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional, menguasai ekonomi dunia.

Dengan adanya dominasi kekuatan korporasi-korporasi tersebut maka sistem hukum negara-negara jajahan neoimperialisme, termasuk Indonesia, dibentuk dalam pengaruh neokapitalisme dan neoliberalisme. Bangsa-bangsa jajahan diatur oleh sistem hukum yang memberikan keleluasaan kaum borjuis untuk menanamkan kapital.

Saya hendak memberikan sedikit contoh yang terjadi di Amerika Serikat. Lewis Stanley (2008) dalam tulisannya Americans Murdering Their Judges, and the US Crisis of Judicial Corruption menggambarkan kenyataan rezim Amerika Serikat yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di Amerika Serikat, menanamkan sebagian politisi mereka di Partai Demokrat dan Republik, memperoleh dana dari korporasi-korporasi tersebut dengan kepura-puraan menjadi berbeda. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki semua media massa utama, mengendalikan berita yang dibaca kebanyakan orang, mengendalikan sebagian dari organisasi-organisasi nonprofit terkenal.

Kata Lewis, korporasi-korporasi tersebut menentukan siapa yang diperbolehkan oleh media untuk menjadi "kandidat besar" dalam politik, memiliki pengacara Amerika Serikat dan hakim dengan uang suap miliaran dolar. Para hakim Amerika Serikat menegakkan hukum yang diartikan sebagai Hukum Korporasi Besar.  Korporasi-korporasi itu menjadi pemenang, sebaliknya si lemah menjadi kalah.  Demi kepentingan perusahaan-perusahaan besar, hakim dan pengacara Amerika Serikat bertindak menyimpang, sehingga para hakim dan pengacara mendapatkan "hadiah" untuk menjalankan hal-hal demi kepentingan orang-orang yang benar-benar kaya yang merupakan pemegang saham besar di perusahaan besar. Lewis Stanley menceritakan bahwa hal-hal demikian itu “tidak terlaporkan” sebab media massa takut memberitakannya. Salah satu gambaran contoh buruk hukum di Amerika Serikat akibat kekuasaan korporasi yang menguasai rezim adalah jumlah tahanan mencapai 2,2 juta manusia. Ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahanan di negara China yang hanya beberatus orang, padahal Amerika Serikat menuduh Cina sebagai negara yang represif. (Tapi nanti kita akan melihat perkembangan lebih jauh ketika China mulai dikuasai tirani korporasi itu).

George Soros dalam buku Escaping The Resouce Curse (Marcatan Humpreys, Jeffrey D Sachs dan Joseph E Stiglitz, 2007), menggambarkan kekuatan korporasi modern sebagai penyebab kutukan sumber daya alam. Kutukan sumberdaya alam ini punya sejarah yang cukup kelam. Perusahaan-perusahaan migas internasional kerap mendapatkan dukungan dari pemerintah negeri asal masing-masing. Secara rutin perusahaan-perusahaan itu menyuap para penguasa dan berkolusi, dengan tidak mengungkapkan secara terbuka angka pembayaran hasil bumi yang sebenarnya. Mereka juga biasa campur tangan dengan menempatkan orang yang tepat di tampuk kekuasaan, atau bahkan kadangkala menyokong pemberontakan bersenjata dengan harapan mendapatkan konsesi.

Fenomena tersebut terjadi secara global, sebagaimana dikemukakan Daniel C Maguire, yang menggunakan panduan tulisan David Korten dan David Loy, bahwa korporasi multinasional tumbuh kuat jika dibandingkan dengan negara-negara.

Indonesia sudah masuk ke dalam jerat kapitalisme global dan rupa-rupanya kesulitan keluar dari jeratan itu. Para pengurus negara sibuk melayani kepentingan korporasi-korporasi yang telah dimitoskan dalam teori-teori ekonomi yang diajarkan di kampus-kampus bahwa mereka adalah para dewa kemakmuran masyarakat.

Para pendiri negara Indonesia mendirikan negara ini dengan menetapkan ideologi perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Ratusan ribu dan bahkan jutaan nyawa melayang dalam jihad perjuangan menentang kapitalisme dan imperialisme. Tapi pengorbanan itu sia-sia. Para pengurus negara hingga yang sekarang sedang mengurus negara ini tidak sedikitpun mempunyai jiwa patriotisme. Jika perlu seluruh lautan di negara ini ditimbun untuk kemakmuran para tuan tanah, sebagaimana pengurus negara telah mengemis-ngemis kepada dewa kemakmuran yang bernama investor asing itu agar mengelola (menguasai) tanah dan lautan negara ini.

Kita juga mau meniru-niru gaya China dengan proyek-proyek raksasanya. Tapi apakah sudut pandang rakyat dan keadaan Indonesia memang membutuhkan itu? Apakah kebanggaan negara ini ada pada banyaknya waduk, rel kereta api, panjangnya jalan tol, besarnya pelabuhan? Proyek-proyek raksasa untuk kebutuhan siapa? Kebutuhan rakyat ataukah kebutuhan neo-VOC untuk mempermudah pergerakan kapital mereka? Kalau 99 persen rakyat hanya berbagi sekitar 26 persen lahan di negara ini, apakah rakyat diuntungkan oleh proyek-proyek besar itu?

Dengan demikian negara proklamasi ini sebenarnya telah lenyap, dan berganti menjadi negeri jajahan di mana para pengurus negara ini hidup melayani para tuan penjajah. Pancasila telah mati, tapi jenazahnya di bawa-bawa ke mana-mana seolah-olah masih hidup. Sebanyak 99,08 persen rakyat Indonesia menjadi seolah-olah kere yang memperebutkan 26 persen tanah di negara ini. Ini memang takdir yang tragis. Hari ini keadilan sosial hanya romantisme kenangan masa lalu. Hanya kesadaran hidup yang akan bisa menghidupkan kembali negara proklamasi dan Pancasila. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB