x

Ilustrasi wanita menggunakan handphone. shutterstock.com

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polemik Interkoneksi Akibat Maladministrasi Izin ~ Alamsyah

Kisruh tarif interkoneksi hanya rentetan dari persaingan tak sehat yang bersumber dari tata kelola izin yang tidak transparan pada masa lalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para pembuat kebijakan kerap mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah yang bersumber pada tata kelola dengan mengintervensi pasar. Akibatnya, industri justru tumbuh tak sehat dan terperangkap pada persaingan saling mematikan. Salah satu contoh adalah polemik pengaturan tarif interkoneksi antaroperator telekomunikasi.

Frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas dan dikuasai oleh negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Kehadiran sektor swasta sebagai penyelenggara tak boleh dilihat sebagai pemilik frekuensi. Mereka hanya perpanjangan tangan negara dalam menjamin akses warga negara atas frekuensi.

Pemerintah, sebagai penguasa frekuensi, menerbitkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yang dikenal sebagai lisensi modern. Berbeda dengan izin yang umumnya bersifat simetris, izin ini memungkinkan perbedaan kewajiban antaroperator berdasarkan kesepakatan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Diskresi ini dimaksudkan untuk memastikan operator membangun infrastruktur di wilayah kurang atau tidak terlayani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Industri telekomunikasi sangat padat modal. Tak mudah untuk masuk dan tidak pula mudah untuk keluar. Untuk memastikan interkoneksi antarpelanggan yang berbeda operator, Kementerian Komunikasi memfasilitasi kesepakatan tarif interkoneksi antaroperator melalui hubungan bisnis ke bisnis.

Tarif interkoneksi adalah biaya yang harus dibayarkan suatu operator kepada operator lain ketika pelanggannya menghubungi pelanggan operator lain. Penerapan tarif interkoneksi ini dinilai wajar karena pelanggan suatu operator juga memanfaatkan jaringan yang dimiliki oleh operator lain ketika menghubungi pelanggan beda operator.

Awalnya diterapkan tarif simetris yang mendekati penawaran oleh Telkomsel sebagai operator terbesar. Dalam perkembangan, Kementerian bermaksud untuk menurunkannya. Namun upaya ini mendapat perlawanan dari Telkomsel. Perseteruan meluas dan mulai melibatkan publik. Ada protes dari serikat pekerja BUMN, gugatan ke pengadilan oleh pengacara publik, dan terakhir Kementerian dilaporkan ke Ombudsman RI.

Amat disayangkan bahwa selama bertahun-tahun dokumen izin frekuensi tak dipublikasikan oleh Kementerian. Padahal, berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen yang memuat hak dan kewajiban operator telekomunikasi tersebut masuk kategori informasi terbuka.

Publik tak cukup mengetahui perkembangan pelaksanaan kewajiban setiap operator. Kondisi ini memberi peluang terjadinya perlakuan istimewa terhadap salah satu operator dibanding yang lain. Pemanfaatan frekuensi tak lagi sejalan dengan tujuan pemberian izin, yakni menjamin akses terhadap frekuensi yang lebih merata dan terjangkau.

Izin yang tidak transparan membuka peluang maladministrasi yang berbuntut panjang. Gejala ini mulai tampak ketika dalam beberapa tahun Telkomsel lebih aktif dalam membangun infrastruktur sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, sedangkan beberapa operator lain lebih berkonsentrasi di area padat pelanggan.

Kondisi di atas berimplikasi pada dua hal: pertama, penyediaan akses masyarakat terhadap frekuensi lebih banyak didominasi oleh Telkomsel. Untuk mengatasi biaya investasi di daerah sepi pelanggan, Telkomsel membebankannya kepada seluruh pelanggan. Tarif interkoneksi rata-rata Rp 250 per menit dipandang layak oleh Telkomsel.

Kedua, bersamaan dengan meningkatnya dominasi Telkomsel dalam pangsa pasar, percakapan antarpelanggan dengan operator berbeda mulai tak berimbang. Tarif interkoneksi yang berlaku mulai menghambat operator yang sedang mempromosikan tarif murah. Indosat menginginkan tarif interkoneksi diturunkan. Indosat juga menilai Telkomsel tak efisien dan merugikan pengguna.

Keinginan ini diiyakan oleh Kementerian dengan rencana menurunkan tarif interkoneksi rata-rata 26 persen mulai 1 September 2016. Namun Telkomsel berkeberatan dengan alasan mereka sudah telanjur berinvestasi banyak di area tak terlayani dan sepi pelanggan. Kebijakan penurunan tarif interkoneksi dinilai tak adil.

Publik terpecah dalam menyikapi kontroversi ini. Pertama, kelompok yang menginginkan penurunan tarif interkoneksi dengan harapan akan menurunkan tarif retail. Kedua, kelompok yang menolak penurunan tarif interkoneksi ini dengan alasan akan merugikan Telkomsel dan akhirnya akan menurunkan penerimaan negara karena Telkomsel adalah anak perusahaan milik negara, PT Telkom Indonesia.

Pelibatan swasta dalam mengelola barang publik adalah lazim sepanjang tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap rakyat. Pengelolaan frekuensi, seperti halnya jalan tol, adalah urusan publik yang terbuka bagi pihak swasta. Namun pemberian izin pengelolaan frekuensi tak boleh disimpangkan dari tujuan menjamin akses warga terhadap frekuensi, bukan bisnis jasa telekomunikasi semata.

Perlu dicermati izin frekuensi yang berisikan kewajiban dan hasil evaluasi pelaksanaan kewajiban oleh setiap operator. Diskriminasi akan terlihat jika operator tertentu dibiarkan hanya mengincar wilayah padat pelanggan semata, sedangkan operator lain dituntut memenuhi komitmen untuk membangun di area kurang terlayani.

Kisruh tarif interkoneksi hanya rentetan dari persaingan tak sehat yang bersumber dari tata kelola izin yang tidak transparan pada masa lalu. Patut diduga telah terjadi maladministrasi dalam pemberian izin selama ini berupa praktek diskriminasi dalam pembebanan kewajiban antaroperator.

Mengintervensi pasar melalui tarif interkoneksi tak akan menyelesaikan inefisiensi yang bersumber pada tata kelola perizinan. Apalagi secara umum biaya interkoneksi hanya mencapai 15 persen dari tarif retail. Maka, cara cerdas untuk keluar dari polemik ini adalah membuka dokumen izin frekuensi dan hasil evaluasinya ke publik. Setidaknya agar publik tahu bahwa pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi dan maladministrasi.

A. Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman Republik Indonesia

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 19 September 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB