x

Warga menunjukkan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera saat dibagikan oleh Presiden Joko Widodo di Kantor Pos Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, 13 Mei 2015. Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

ari susanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Paradoks Pendidikan Kita

Kartu Indonesia Pintar, yang menjadi alernatif dengan dana tambahan, nyatanya tidak terdistribusi dengan baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amanat presiden Joko Widodo yang dibebankan kepada Prof. Muhadjir Effendy salah satunya adalah untuk mengurai benang kusut disparitas (kesenjangan) pendidikan di kota, desa dan daerah tertingal. Adanya Menteri baru,diharapkan memberi nafas kehidupan akan kemajuan pendidikan Indonesia.

Sadar akan pentingnya pembangunan manusia Indonesia, pemerintahan Jokowi-Kalla membuat program ‘Indonesia Pintar’, yaitu dengan wajib belajar 12 tahun dan jaminan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kedua jaminan itu, merupakan program untuk mendukung proses pemerataan pendidikan. Semua program itu dijamin dengan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan dibiayai oleh negara.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Paradoks

Program diatas perlu di apresiasi, namun dengan melihat kenyataan ini, negara tidak optimal dan kurang serius dalam melakukan pelayanan kepada publik dalam bidang pendidikan. Berdasarkan data kemendikbud tahun ajaran 2015/2016, angka putus sekolah sekolah Dasar (SD) 68.066 siswa, 0,26 persen dari total lulusan, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 51.541 siswa, 0,52 persen dari total lulusan dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 40.454, 0,96 persen serta Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 77.899 Siswa, 1,40 persen dari total lulusan.Ini merupakan ironi dalam dunia pendidikan kita, disuatu sisi kita menguatkan program, di sisi lain kita menghadapi realitas yang berlawanan. Terjadi paradoks dalam pendidikan kita.

Penyebab putus sekolah yaitu terkait dengan beban biaya sekolah. KIP yang diperuntukan bagi masyarakat kurang mampu, yang menjadi alernatif dengan dana tambahan, namun nyatanya KIP juga tidak terdistribusi dengan baik. Kasus yang marak di beritakan adalah salah dan tidak tepat sasaran. Kemudian, kurang efektifnya pendistribusian KIP melalui kepala daerah, kecamatan dan desa, dengan alasan ketiadaan dana oprasional distribusi. Sehingga terjadi kelambatan dalam pendistribusian KIP, sedangkan kartu itu bagi siswa kurang mampu sangat bermanfaat untuk keperluan sekolah.

Beberapa kasus atas laporan orangtua murid dan masyarakat, yang di tangani oleh Pendidikan Untuk Indonesia (PUNDI), semakin membingkai fikiran masyarakat bahwa sekolah bermutu dan unggul itu harus mahal. Sehingga yang terjadi adalah sekolah unggul hanya didominasi oleh masyarakat yang memiliki kemampuan finansial, sedangkan masyarakat tidak mampu akan mendapatkan  sekolah yang sederhana dan dengan sarana dan prasarana ala kadarnya dan pas-pasan.

Yang terjadi adalah, seleksi melalui penjaringan peserta didik baru, tidak pada kemampuan siswa namun berdasarkan kemampuan finansial. Padahal warga negara yang kurang mampu mendapat  jamin UUD 1945. Setiap warga negara memperoleh pendidikan, disekolah manapun, dengan syarat dia mampu secara kecerdasan. Selain UUD, kementrian menerbitkan regulasi secara kusus terkait larangan adanya pungutan bagi siswa yang tidak mampu.

Sekolah kini layaknya sebagai penjual jasa, orientasi ‘education for all’ kini menjadi  ‘finacial picking for all’. orientasi mencerdaskan bangsa menjadi sirna, terciderai oleh pungutan kepada semua siswa.permendikbud nomor 60/2011 dengan perubahan permendikbud nomor 44/2012 tentang pungutan dan sumbangan, dengan tegas melarang penerimaan barang/jasa yang di tentukan jumlah dan waktunya. Karena hal ini termasuk kepada kategori pungutan.

 

Harapan Semu

Perjuangan untuk mempersempit jurang pemisah antara pendidikan dikota, desa dan daerah tertinggal, kini semakin terasa tajam, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak merata. Seperti adanyaDualisme kurikulum, K-13 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah diberikan hak untuk memilih menggunakan K-13 atau menggunakan KTSP.Dualisme kurikulum, mencerminkan carut marutnya proses pendidikan nasional kita.

Kemudian, berlakunya program sekolah seharian penuh dikenal dengan full day school(FDS). Program ini, diharapkan akan memperkuat karakter siswa. Siswa menjadi terkontrol sikap dan perilakunya. Dengan harapan terbentukkarakter siswa. Namun, penerapan FDS hanya dilaksanakan bagi sekolah yang sudah mampu, seperti sekolah yang sudah menjalankan program sekolah sore atau berbasi pondok. Untuk sekolah yang berbasis desa tentu hal ini tidak berlaku.  Lepas sekolah para siswa harus bekerja membantu orang tua dirumah atau disawah, sekedar bermain ataupun mengembala.

Sekolah semakin nampak jurang pemisah dengan adanya labeling ataupun kategori-kategori yang disandang sekolah. misalnya dengan labeling sekolah unggulan, sekolah orang kaya, sekola bermutu dan sekolah elit. Sekolah dengan kategori unggulan tentunya memiliki kualifikasi adanya guru-guru yang telah tersertifikasi, fasilitas sekolah yang memadai, kurikulum yang baik. sedangkan sekolah dengan labeling negatif akan dimasuki oleh siswa yang secara financial kurang beruntung. Dengan fasilitas sederhana, banyak guru honorer, kurikulum seadanya serta bangunan yang sederhana.

Pada akhirnya, untuk merubah carut marut wajah pendidkan kita, menjadi penuh harapan masa depan pendidikan, maka diperlukan reformasi pendidikan.

Ikuti tulisan menarik ari susanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler