x

Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi demonstrasi peringatan dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di depan Istana Negara, Jakarta, 20 Oktober 2016. Tepat dua tahun lalu, Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai

Iklan

Binziad K

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reformasi Hukum Jokowi~Binziad Kadafi

Namun yang menarik adalah keinginan Presiden meningkatkan kepercayaan publik pada berbagai institusi hukum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Binziad Kadafi

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Setelah meluncurkan paket kebijakan ekonomi, Presiden Joko Widodo berencana mengeluarkan paket yang sama di bidang hukum. Bermacam agenda besar disebut, seperti peningkatan kualitas aparat penegak hukum, perbaikan sarana-prasarana penegakan hukum, hingga pembentukan budaya hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun yang menarik adalah keinginan Presiden meningkatkan kepercayaan publik pada berbagai institusi hukum. Sebab, dalam aspek ini akan mengemuka persoalan pelayanan hukum bagi masyarakat. Untuk mengkajinya, data di pengadilan menarik untuk dilihat.

Mari kita lihat gugatan perdata yang biasa dipakai untuk mengukur kepercayaan masyarakat pada pengadilan. Pada gugatan perdata, masyarakat secara sukarela membawa masalah hukumnya ke pengadilan untuk didengar dan diputus. Ini berbeda dengan perkara pidana kala masyarakat dihadirkan dengan upaya paksa penegak hukum.

Pada 2015, sebanyak 353 pengadilan negeri di seluruh Indonesia menerima 28.374 gugatan perdata. Jumlah tersebut sebenarnya sudah meningkat sejak 2014, yang bisa diklaim sebagai tanda mulai meningkatnya kepercayaan publik terhadap pengadilan. Sebelumnya, rata-rata gugatan perdata ada di kisaran 17 ribu perkara per tahun.

Jumlah itu, meski meningkat, harus diakui kecil. Rasio 28.734 gugatan perdata terhadap 57,8 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia hanya 0,05 persen. Padahal, UMKM merupakan kelompok masyarakat yang paling potensial membawa gugatan perdata ke pengadilan. Merekalah yang sehari-hari harus bertransaksi, dari soal produksi, distribusi, penjualan, hingga kontrak perburuhan. Semuanya berpeluang menjelma menjadi sengketa perdata.

Rasio gugatan perdata terhadap 258 juta penduduk Indonesia menjadi lebih kecil lagi, yakni hanya 0,01 persen. Dibanding negara tetangga, seperti Australia, rasio tersebut bisa mencapai 2,7 persen.

Data di masa lalu juga layak diajukan. Menurut catatan Barend Ter Haar, pada 1927 saja perkara perdata yang ditangani Landraad, pengadilan di masa Hindia Belanda bagi golongan pribumi, berjumlah 36 ribu setahun.

Dari situ bisa diartikan, ketika menghadapi sengketa perdata, masyarakat kita, termasuk para pelaku UMKM, cenderung pasrah. Menganggapnya semata cobaan Tuhan atau soal peruntungan. Sebab, jika harus membawanya ke peradilan perdata, kuat persepsi bahwa prosesnya akan panjang dan mahal, yang sesudah diputus pun tidak berarti banyak karena putusannya sulit dilaksanakan.

Jika punya waktu dan sumber daya, akan lebih menjanjikan membawanya ke ranah pidana, sambil berharap adanya ancaman penjara, yang akan memaksa pihak lawan memenuhi kewajiban perdatanya. Tren ini dikonfirmasi pula oleh data. Dari 1.750 perkara pidana umum yang masuk ke Mahkamah Agung pada 2015, sebanyak 40 persen merupakan jenis tindak pidana yang sangat mungkin berasal dari transaksi perdata, yaitu penipuan, penggelapan, dan pemalsuan surat. Akhirnya, penjara makin penuh sesak. Lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa perdata ikut menyumbang penjara kelebihan kapasitas.

Memang, pengadilan kita adalah lembaga yang sangat sibuk. Begitu pula berbagai lembaga hukum yang bekerja dengannya, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, lembaga pemasyarakatan, dan profesi hukum. Setiap tahun tidak kurang dari 4,6 juta perkara yang mereka tangani.

Namun, jika dipilah, dari 4,6 juta perkara pada 2015, sebanyak 3,8 juta (84,5 persen) adalah perkara pidana cepat. Diperkirakan, 3,2 juta dari perkara pidana cepat itu adalah perkara tilang dengan menempatkan masyarakat sebagai tersangka pelanggaran lalu lintas ringan.

Bisa dibayangkan dampaknya jika 3,2 juta orang itu menempuh proses yang tidak jelas dan penuh calo. Cukup bercerita ke tiga orang saja, akan ada lebih dari 12 juta masyarakat Indonesia setiap tahun yang berbagi persepsi negatif tentang pengadilan, aparat penegak hukum, dan sistem hukum secara keseluruhan.

Apa relevansi semua itu dengan paket kebijakan hukum yang akan diluncurkan Presiden? Jawabannya cukup kuat. Salah satu yang penting, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pembinaan aparatur sipil negara bisa turut memastikan berbagai jabatan kunci di institusi hukum, termasuk MA, diisi oleh orang-orang yang peduli dan mengerti apa arti angka-angka di atas dan kaitannya dengan kepentingan masyarakat. Juga orang-orang yang selalu termotivasi meningkatkan kinerja lembaga, bukan yang abai dan justru membebani lembaga dengan perilaku tidak patut.

Berbagai inisiatif baik yang sudah dilakukan juga bisa terus didukung Presiden agar makin sempurna. Misalnya untuk mengikis persepsi negatif bahwa proses peradilan lama dan rumit, pengadilan sudah membentuk dan menjalankan mekanisme gugatan sederhana yang dalam 1 tahun sejak didirikan telah memeriksa 404 perkara di 124 pengadilan negeri yang mayoritas diputus kurang dari 25 hari. Persepsi negatif bahwa proses peradilan tertutup sudah lama dijawab dengan publikasi putusan yang saat ini hampir mencapai angka 2 juta.

Yang jelas, banyak tantangan untuk meningkatkan kepercayaan publik pada pengadilan dan lembaga hukum. Kebijakan berbasis data yang digodok secara partisipatif akan menjadi kunci keberhasilan jika digunakan sejak menentukan area-area yang harus dijamah pembenahan, merumuskan langkah-langkah rinci pembenahannya, hingga memantau pencapaiannya nanti.

Ikuti tulisan menarik Binziad K lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler