x

Sekelompok orang tuna rungu berbicara dalam bahasa isyarat Creole di Leveque, Haiti, 16 April 2016. REUTERS/Andres Martinez Casares

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seni Pembangkangan Bahasa

Tidak selamanya menerjang kaidah tata bahasa Indonesia adalah tindakan durhaka pada kelestariannya. Ada saatnya kita perlu mendobrak. Dan itu ada seninya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu hari seorang direktur kreatif di sebuah perusahaan periklanan terkejut dengan permintaan seorang CEO (Chief Executive Officer). Seorang CEO yang biasa-biasa saja mungkin sudah puas dengan copywriting yang standar. Tapi CEO satu ini tidak demikian. Ia memiliki standar tinggi untuk menjadi ‘sinting’.

Direktur kreatif itu dikenal sukses dengan iklan-iklan terdahulunya yang menempel di otak. Dan sang CEO sinting mencoba merayunya tanpa harus merendahkan diri. Gengsinya begitu tinggi sebagai seorang sosok selebritas.  

Dalam beberapa kata saja, si CEO mengatakan ia butuh bantuannya karena rekan seniornya baru saja pensiun. “Hai, bisakah Anda ke sini?” pinta sang CEO gila. Kalimatnya pendek, mungkin untuk mencegah adanya kesan membutuhkan yang amat sangat. Mulanya, si direktur kreatif mencoba menampik permintaan itu. Beban kerjanya sudah menggunung. Ia tak mau lagi menambahi pekerjaan untuk stafnya yang sudah kepayahan. Namun, setelah membombardirnya dengan bujuk rayu, akhirnya sang CEO berhasil meyakinkan si direktur kreatif untuk datang ke kantornya. CEO itu rupanya memilih sang direktur kreatif dengan alasan yang amat kuat. Selain menganggapnya salah satu yang terbaik, si CEO mengetahui baik bahwa sang direktur menyukai produk perusahaannya. Untuk draft copywriting iklan perusahaan sang CEO sinting, direktur kreatif itu mengusulkan tagline cekak “Think Different”. Konon sang CEO yang kaku, keras dan penuh gengsi itu sampai menangis tatkala sang direktur kreatif mengajukan usulan tadi. Seolah ia mampu merasakan “kemurnian jiwa dan cinta”, begitu katanya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitulah sebuah cuplikan dari biografi “Steve Jobs” karya Walter Isaacson yang menggambarkan asal mula kampanye “Think Different". Sang direktur kreatif tersebut bernama Lee Clow dari agensi periklanan besar TBWA\Chiat\Day. Dan si CEO gila tidak lain ialah almarhum Steve Jobs yang saat itu menjabat sebagai pucuk pimpinan perusahaan teknologi Apple. Percakapan mereka sendiri terjadi pada awal Juli 1997. Lee Clow dipilih karena dia yang berjasa besar dalam iklan “1984” yang menjadi iklan peluncuran komputer Macintosh saat itu. 

Tak lama setelah draft tadi diserahkan, terjadilah perdebatan. Tentu saja karena kesalahan tata bahasanya yang dirasa mengganggu. Sebabnya ialah kata “different” sejatinya berfungsi sebagai keterangan bagi kata kerja “think”. Dengan demikian, kata sifat “different” (berbeda) idealnya diubah menjadi kata keterangan “differently” (dengan cara/ gaya berbeda).  

Namanya juga Jobs, kegilaan sudah menjadi bagian utama kepribadiannya. Ia menolak koreksi tadi dan mati-matian mempertahankan frasa “Think Different” dengan alasan ia ingin agar kata “different” dipakai sebagai sebuah kata benda. Selain itu, frasa tadi juga selaras dengan ungkapan lazim lainnya dalam bahasa Inggris “think big”. Jobs bersikeras bahwa ‘membenarkan’ frasa itu malah membuat pesan yang ingin ia sampaikan melenceng.  

Itulah ‘seni’ pelanggaran tata bahasa. Anda boleh saja melanggar tata bahasa yang disepakati para ‘penguasa’ dan ‘cukong’ bahasa (baca: Pusat Bahasa, ahli bahasa, para penulis mapan berstatus quo, dan semua yang berada di lingkaran elit kebahasaan sebuah negeri) asal Anda bisa menjelaskan alasan di balik pembangkangan itu dengan sangat meyakinkan dan cerdas. Dan Anda tidak perlu memiliki gelar sarjana, magister, atau doktor bahasa hanya untuk membangkang dalam perkara ini. Jobs nyatanya bukan sarjana bahasa. Bahkan ia bukan alumni perguruan tinggi manapun. Ia putus kuliah dan memilih merintis usaha di sebuah garasi, yang kemudian menjadi Apple Inc. 

Anak muda zaman digital sering melanggar tata bahasa. Mereka ciptakan portmanteau-portmanteau yang singkat, segar, unik, sekaligus jenaka seperti ‘mager’ (malas gerak), ". Cara berkomunikasi mereka yang berupa teks kerap dijadikan bahan cemoohan generasi tua yang sok bijak menuduh anak muda sebagai perusak bahasa. Anak-anak muda yang malang. Mereka sebetulnya bisa saja mengubah pendapat masyarakat umum seiring berjalannya waktu sehingga dobrakan-dobrakan tadi bisa diterima luas dan menjadi bagian bahasa Indonesia. Hanya saja untuk saat ini mereka kurang cerdas, logis dan kurang lihai bersilat lidah menghadapi para raksasa bahasa yang sudah senja usia. Mereka hanya cukup menelikung para tetua dengan menemukan celah inkonsistensi mereka dan menjelaskan dengan ksatria,”Hai bapak ibu semua, inilah bahasa Indonesia di eraku.” 

Ambil contoh kata “mager”. Apa yang salah sebenarnya dengan ini? Tidak ada! Cuma karena anak muda yang membuatnya, kesan yang ditimbulkan menjadi agak miring. Mengapa mereka juga tidak menuding para wartawan dan aparat negara yang suka sekali menggunakan frasa dan akronim semacam “ebtanas”, “ipoleksosbudhankam”, “alutsista”, atau “perpusda”? 

Contoh kasus lain misalnya kata “pundung” yang diambil dari bahasa Sunda yang artinya tersinggung dan kesal. Jika kata itu juga dianggap tidak berterima di bahasa Indonesia, lalu kenapa kata-kata dari bahasa Jawa seperti “acara”, “adem”, “agama”, “alun-alun”, “suduk”, “usung”, “lara”, “sengit” bisa diserap dan diterima? Meskipun saya terlahir sebagai orang Jawa, saya sebenarnya juga kurang nyaman dengan kenyataan bahwa bahasa Indonesia terkesan agak ‘Jawasentris’. Mungkin cuma masalah waktu bagi “pundung” untuk bisa juga masuk dalam bahasa Indonesia. Dan yang kita lakukan hanya menunggu beberapa orang memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kamus tebal yang menjadi acuan pengguna bahasa negeri ini. 

Sekali lagi, melanggar tata bahasa membutuhkan nyali dari pelakunya. Jika konsisten melanggarnya, ada dua kemungkinan yang bisa ditemui nantinya: dibuang dari pergaulan kebahasaan atau diterima perlahan-lahan. Karena masyarakat bisa berubah dan karena bahasa adalah hasil konvensi atau kesepakatan antara para penggunanya, rasanya tidak perlu terlalu cemas atau rendah diri saat dicap sebagai “pemberontak bahasa” oleh para sesepuh bahasa. Yang penting, Anda tahu alasannya memberontak dan konsisten dalam pemberontakan Anda. Sampai kapan Anda harus memberontak? Sampai Anda bisa membuat pesan pemberontakan Anda diterima sebagai bagian bahasa Indonesia. Itu saja.

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler