x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965

Pengalaman anak-anak muda NU dalam mendampingi rekonsiliasi kultural di 5 kota.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965

Penulis: Moh. Asrofi, dkk

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Syarikat                                                                                                         

Tebal: xxvi + 160

ISBN: 978-128-701-2

Seorang taruna AKABRI jurusan AKPOL (Akademi Kepolisian) anggatan 1988 yang berhasil menyelesaikan pendidikan di AKPOL dan lulus sesuai jadwal, tinggal menunggu wisuda di Jakarta. Bersama taruna-taruna wisudawan, mereka dikumpulkan di Stasiun Kereta Api Tawang Semarang, menunggu diberangkatkan ke Jakarta. Saat kereta api datang dan semua wisudawan dipersilakan naik kereta api, ternyata ada satu taruna wisudawan dari Kabupaten Batang yang tidak diperkenankan naik kereta api dengan alasan prosesi wisudanya harus ditangguhkan. Ternyata bukan penundaan tetapi pembatalan wisuda sebagai akibat dari adanya surat pengaduan yang menyatakan bahwa taruna tersebut adalah anak yang ditengarahi pernah menjadi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Non-Vak Central, yakni organisasi guru yang merupakan onderbouw PKI (hal. 83).

Korban tragedi 1965 bukan hanya mereka yang terbantai pada saat tragedi tersebut terjadi, bukan hanya mereka yang ditahan tanpa pengadilan bertahun-tahun, bukan hanya mereka-mereka yang diberi stigma, namun juga anak-anak mereka yang tidak tahu-menahu apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa tahun 1965 tersebut. Kisah seorang lulusan AKPOL yang gagal diwisuda di atas bisa ditemui di banyak tempat. Banyak juga anak-anak yang terpaksa diakukan kepada pihak lain supaya masa depan mereka tidak ditutup karena orangtua aslinya dianggap berdosa kepada negara.

Stigmasi dan aturan-aturan yang dibuat semasa Orde Baru untuk “mencabut PKI sampai ke akar-akarnya” telah membuat suasana traumatik di kalangan masyarakat. Kebijakan Orde Baru tersebut telah membuat pemisahan di masyarakat. Pemisahan itu terjadi bahkan setelah lebih dari 40 tahun peristiwa itu terjadi.

Tak bisa dipungkiri tragedi 1965, khususnya di Jawa melibatkan warga Nahdiyin. Provokasi-provokasi politik saat itu telah membenturkan warna Nahdiyin dengan anggota PKI yang berakibat kepada tragedi yang penuh darah. Setelah kejadian tahun 1965 keretakan hubungan sosial terjadi di masyarakat. Memori kolektif mereka terbelah.

Gus Dur mengupayakan rekonsiliasi tragedi 1965. Saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau mengkampanyekan rekonsiliasi sebagai bagian dari agenda HAM. Upaya ini tidaklah berhasil secara politik. Bahkan isu rekonsiliasi ini menjadi bumerang bagi Gus Dur secara politik. Namun upaya Gus Dur tersebut tidak berhenti, meski beliau akhirnya dilengserkan sebagai presiden. Anak-anak muda Nahdatul Ulama yang tergabung dalam gerakan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) berupaya untuk melakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang menjadi korban (penyintas) tragedi 1965. Sejak tahun 2000 anak-anak muda NU ini meneruskan upaya rekonsiliasi yang telah dikumandangkan oleh Gus Dur. Buku ini adalah catatan dari upaya rekonsiliasi kultural dari lima kota, yaitu Blitar, Banyuwangi, Batang, Wonosobo dan Palu.

Seperti yang disampaikan oleh editor buku ini, upaya rekonsiliasi kultural di kalangan masyarakat akar rumput ini bukanlah upaya yang telah mampu menyelesaikan persoalan akibat tragedi 1965. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Syarikat adalah dalam rangka mengkatalisasi proses kultural yang sudah terjadi di masyarakat akar rumput, sehingga mereka bisa melakukan rekonsiliasi dan merawat hubungan sosial yang telah mulai pulih. Mereka berharap mereka para penyintas tersebut bisa “memberikan sumbangan bagi kehidupan bersama” (hal. xii).

Syarikat memakai berbagai cara untuk membangun rekonsiliasi kultural. Di Blitar mereka memakai kegiatan-kegiatan ritual keagamaan. Warga Nahdiyin bersama-sama dengan para penyintas tragedi 1965 melakukan doa bersama menyambut tahun baru Hijriyah di depan Monumen Trisula. Mereka juga mengadakan kegiatan halal-bi-halal secara rutin. Kegiatan-kegiatan keagamaan dilakukan bersama-sama secara rutin. Kegiatan-kegiatan keagamaan ini berhasil mencairkan dua kelompok masyarakat yang tinggal dalam wilayah geografi yang terpisah.  

Di Banyuwangi Syarikat menggunakan kesenian, khususnya kesenian gandrung dan angklung. Seperti diketahui, kesenian gandrung dan angklung adalah kesenian ciri khas Banyuwangi. Namun kedua kesenian ini sempat dilarang di era Orde Baru karena dianggap sebagai kesenian orang-orang PKI. Gerakan kesenian yang merangkul kembali para seniman LEKRA telah berhasil membuat rekonsiliasi kultural berjalan di Banyuwangi. Kelompok pentas yang beranggota canpuran dari para eks seniman LEKRA dan warga Nahdiyin dibentuk. Mereka dilibatkan dalam membangun Banyuwangi sebagai tujuan wisata.

Di Batang, Syarikat menggunakan gerakan ekonomi (koperasi simpan pinjam) untuk mendekatkan dua kelompok memori yang terbelah. Melalui usaha simpan pinjam dan berbagai kegiatan, berhasil mempererat kedua kelompok yang terpisah ini. Orang-orang yang diberi stigmasi PKI tidak mendapat akses kepada program-program ekonomi yang diluncurkan oleh pemerintah. Dengan adanya koperasi ini mereka bisa mengembangkan usaha dan kembali berperan dalam masyarakat.

Dalam upaya membangun kota ramah HAM, Syarikat memprakarsai pembongkaran kuburan masal di Wonosobo. Upaya yang mendapat tentangan dari banyak pihak dari luar Wonosobo ini berhasil dilakukan. Upaya penguburan kembali tulang belulang dari kuburan masal pun mendapat tentangan yang luar biasa. Setelah pembongkaran kuburan masal dan pemakaman kembali selesai, ditindak lanjuti dengan membentuk masyarakat yang terbuka melalui “Koloni Masyarakat Terbuka (Kolmaster).”  

Sedangkan di Palu rekonsiliasi terjadi dalam bentuk yang lebih formal. Walikota Palu secara terbuka meminta maaf kepada para penyintas tragedi 1965. Permintaan maaf tersebut ditindak lanjuti dengan penerbitan Peraturan Walikota. Gerakan yang mula-mula ditujukan untuk memulihkan para penyintas perempuan ini kemudian berkembang untuk memulihkan semua korban.

Upaya-upaya yang dilakukan untuk rekonsiliasi di akar rumput ini tidaklah mudah. Berbagai hambatan dialami oleh para pegiat Syarikat. Tuduhan bahwa mereka adalah kelompok PKI baru, mereka sedang membangkitkan kembali PKI bertubi-tubi dialami. Kecurigaan dari beberapa pihak NU sendiri di lapangan, hambatan dari pejabat dan birokrat juga dihadapi. Namun tak sedikit juga yang mendukung gerakan rekonsiliasi tersebut. Dukungan dari para kyai NU dan bahkan bupati juga didapatkan oleh Syarikat di lapangan. Bahkan gerakan ini telah berhasil mengajak Walikota Palu untuk secara formal meminta maaf dan membuat Peraturan Walikota.

Harus diakui bahwa sesungguhnya di kalangan masyarakat akar rumput, rekonsiliasi sudah terjadi. Pernikahan antara orang NU dengan para penyintas atau perkawinan antar keturunan mereka telah terjadi. Di antara para penyintas pun telah banyak yang menjadi warga Nahdiyin. Bahkan beberapa anak para penyintas ini ada yang jadi ketua NU tingkat desa/kecamatan. Syarikat berupaya memupuk dan mengakselerasi gerakan rekonsiliasi kutural tersebut sehingga prosesnya menjadi lebih cepat, lebih “mem-publik” dan bergaung lebih keras. Upaya anak-anak muda NU ini harus didukung. Sebab upaya rekonsiliasi nasional yang dinanti-nantikan masih berada di balik mendung tebal kepentingan-kepentingan politik.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler