Ancaman Kutukan Negara Melian di Konflik Laut China Selatan

Jumat, 17 Mei 2024 14:54 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kutukan Melian dalam kisah perang Peloponnesia bisa saja jatuh kepada Indonesia jika dianggap bersikap ambivalen negara super power. Sikap tidak memihak namun tidak melakukan apa–apa, harus ditelaah lagi.

Ancaman Kutukan Negara Melian di Konflik  Laut China Selatan

            Sejarah perang Peloponnesia merupakan sejarah perang yang selalu menarik untuk dipelajari baik secara taktik maupun strateg.  Perang ini menggambarkan perseteruan dua kekuatan militer di zaman Yunani kuno antara Sparta dan Athena di mandala perang kepulauan. Sparta merupakan negara berbasis daratan, memiliki pasukan darat yang sangat kuat, dan pemerintahannya menganut  sistem otoritarian, seperti yang digambarkan dalam film 300. Sementara Athena adalah negara maritim yang memiliki armada banyak kapal perang yang kuat, menguasai jalur perdagangan dan komunikasi laut, serta bentuk pemerintahannya adalah  demokrasi.   

             Keduanya kemudian terlibat dalam perseteruan “zero sum game” dimana permasalahan tidak dapat diselesaikan dengan damai dan perang tidak menjanjikan keuntungan bagi kedua belah pihak, justru kerugian baik harta ataupun nyawa. Ditengah konflik hegemoni militer ini dan perebutan pengaruh untuk mencari aliansi, terdapat satu negara non-blok, Melian,  menolak untuk memihak baik Sparta atau Athena. Melian mencintai perdamaian untuk penyelesaian sengketa, namun negara ini lemah baik secara militer maupun diplomasi. Yang terjadi kemudian didalam buku Peloponnesia adalah Melian dihancurkan oleh Athena, seperti yang digambarkan oleh Thucydides dalam “Melian Dialogue”, bahwa rakyat Athena percaya bahwa yang lebih kuat, lebih berkuasa. [1] Dan mereka percaya bahwa keadilan tidak memiliki hubungan antar kota – kota, negara yang lemah tidak memiliki hak dan harus mematuhi yang lebih kuat kecuali terdapat kekuatan yang seimbang diantara mereka .[2]

            Yang kemudian menarik adalah, konflik Laut Tiongkok Selatan terlihat jelas bahwa  Tiongkok dan Amerika mewakili gambaran Sparta dan Athena. Sementara Indonesia adalah negara yang mempercayai tidak ada musuh, penyelesaian damai, dan percaya diri dengan gerakan Non Blok. Apakah penampilan Indonesia yang damai dan bersahabat disertai tidak mau memihak ini menggambarkan negara Melian dalam konflik Laut Tiongkok Selatan ?

Meskipun tingkatan level konflik terbuka bersenjata di Laut Tiongkok Selatan berada di level rendah, namun kasus pelanggaran batas negara oleh kapal ikan Tiongkok, provokasi kapal penjaga pantai Tiongkok, dan intensitas  kehadiran   militer AS  tidak bisa dianggap angin lalu, karena selalu berulang tanpa menghiraukan protes negara – negara di kawasan. Negara – negara pengklaim memandang kompetisi di Laut Tiongkok Selatan sebagai zero – sum game.[3] Terbukti dengan Tiongkok semakin agresif dalam memproyeksikan kekuatan militernya, tidak hanya defensif  juga ofensif.  Tentara Pembebasan Rakyat ( People Liberation Army /PLA) telah mengembangkan anti akses / area penolakan (anti access/area denial,  A2/AD) untuk membatasi penggunaan laut dan udara di wilayah yang mereka klaim secara sepihak. PLA juga telah membangun sejumlah infrastruktur militer antara lain, landasan udara, runways, dermaga, dan markas untuk mengakomodasi pesawat nirawak (Unmanned Aerial  Vehicle/UAVs), pesawat tempur, pembom, rudal kendali defensif maupun ofensif di Woody Island,   Paracel dan  Fiery Cross Reef, Spratly. Tentu saja ini memancing  negara sengketa lainnya untuk turut mengembangkan kekuatan militernya untuk mengimbangi apa yang PLA lakukan, seperti Vietnam, Malaysia dan Philipina tidak mau kalah dengan membangun bangunan artificial dipulau terluarnya yang berada wilayah sengketa tersebut.

Situasi ini menciptakan tekanan berat bagi situasi kawasan, ditambah lagi sikap kurang aktif komunitas negara – negara Asia Tenggara / Association of South East Asian Nation (ASEAN)  menghadapi kebijakan maritim Tiongkok yang cenderung agresif dan keikutan sertaan Amerika Serikat (AS) yang dianggap selalu memprovokasi Tiongkok melalui kebijakan Rebalancing Asia. Dampaknya, Philipina memberikan persetujuan untuk dibangun pangkalan udara bagi militer AS di lima pulaunya. Lebih jauh lagi, setelah Presiden Obama menyetujui untuk menghapus embargo senjata bagi Vietnam, Vietnam secara positif akan mendukung kehadiran militer AS dengan memberikan akses masuk kepada  AS dengan kembali dibangunnya pelabuhan di teluk Cam Ranh yang pernah digunakan angkatan laut AS pada masa perang Vietnam.[4]

            Situasi pelik,  saling  klaim dan pembatasan kebebasan  dalam  bernavigasi dilaut ini mengundang AS  bergabung dalam sengketa ini. AS memandang bahwa keikut-sertaannya penting untuk  menjamin kebebasan bernavigasi  dan penyelesaian tanpa kekerasan, hal tersebut tertuang dalam kebijakan Pivot to Asia.[5]  Amerika mengkampanyekan kebebasan tersebut dengan melakukan operasi  rutin sepanjang tahun dibawah Freedom  of Navigation Operation (FONOP)  yang justru  menyebabkan bentrokan yang lebih sering lagi. Di dalam  kebijakan Pivot to Asia, AS   berniat untuk  menempatkan lebih banyak  pasukannya di pangkalan militer terluarnya, termasuk   Japan, Guam, Singapore, Australia, South Korea dan  perjanjian baru  dengan  Vietnam juga di Philippina. Sekarang   sejarah perang Peloponnesia semakin dekat untuk berulang kembali,  “sejarah berulang hari ini”.

            Kepentingan AS dalam kebebasan  bernavigasi dan terbang merupakan salah satu kunci penting dalam kebijakan Rebalancing Asia.  AS bersikeras bahwa laut dan udara adalah bebas untuk bernavigasi termasuk di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan rejim kepulauan (Archipelagic regimes).   Permasalahanya adalah parameter untuk kebebasan bernavigasi bagi kapal  dan pesawat militer serta kegiatan  militer lainnya masih berada diwilayah antara hitam dan putih, terlebih lagi AS  tidak meratifikasi United Nation Convention Law of The Sea (UNCLOS). Sehingga AS seringkali mengadakan aktivitas militer di ZEE tanpa memberitahu  negara pantai terlebih dahulu. Meskipun di UNCLOS tidak ada larangan menyelenggarakan latihan militer di ZEE namun bisa dibayangkan kecemasan negara pantai jika gugus perang AS melaksanakan ujicoba atau latihan perang di ZEE terutama di Laut Tiongkok Selatan.   Oleh karena itu, Tiongkok beranggapan bahwa kapal militer dan kegiatan   intelijen di dalam ZEE nya tanpa pemberitahuan dan ijin dari negara pantai melanggar hukum domestik dan hukum international. Beijing menghendaki permohonan  ijin terlebih dahulu sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan atau penghadangan oleh PLA.

            Dapat diprediksi kontigensi dan ancaman bentrokan antar militer merupakan ancaman dimasa depan yang terus meningkat akibat peningkatan kekuatan militer AS dan agresifitas PLA. Miskalkulasi dan salah paham bisa saja menyebabkan tembak – menembak sehingga meningkatkan eskalasi perang serta krisis politik yang mengancam stabilitas keamanan regional. Peningkatan – peningkatan ketidakpercayaan tersebut  baik politik maupun militer menjadikan penyelesaian konflik secara damai semakin sulit diformulasikan.[6]

Lalu dimanakah, Indonesia dan negara – negara lain di kawasan ? sejumlah usaha dan inisiatif telah diupayakan untuk mencari penyelesaian damai di Laut Tiongkok Selatan. Diplomasi yang pernah dilakukan oleh Indonesia dan mendapat apresiasi adalah “shuttle diplomacy”.[7] Indonesia juga telah berusaha untuk mempromosikan penyelesaian damai dengan memformulasikan bersama Code of Conduct (CoC) dengan negara ASEAN lainya. Akan tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam menyelesaikan konflik dan mengurangi ke  aggresifan Tiongkok dikarenakan masih lemahnya implementasi dan penegakkan CoC serta ASEAN yang jelas bukan pakta militer.

Dapat disimpulkan, bahwa CoC[8], Asian  Regional Forum (ARF)[9] maupun usaha – usaha damai lainya belum mendapatkan porsi yang  menentukan dalam  menyelesaikan konflik dan belum membuahkan efek positif  ataupun memberikan dampak paksa kepada kedua negara adidaya tersebut dan negara – negara yang bersengketa. Tiongkok dan AS  masih menunjukan arogansinya sebagai negara superpower dan belum memandang  negara-negara di region sama kedudukannya. Lemahnya implementasi dan kekuatan militer yang tidak berimbang menyebabkan negara   - negara di kawasan  lebih memilih meningkatkan kekuatan militernya daripada mematuhi CoC.

Kutukan Melian dalam kisah perang Peloponnesia bisa saja jatuh kepada Indonesia jika sikap  Indonesia dianggap ambivalent oleh kedua negara super power tersebut,  tidak memihak   namun tidak juga melakukan apa – apa. Sementara Tiongkok dan AS telah berhasil menarik garis diantara negara ASEAN. Ini menggambarkan perseteruan antara ahli strategy terkenal di dua negara tersebut “Sun tzu” versus “Albert Thayer Mahan”.  Apakah kutukan Melian akan dihadapi Indonesia apabila benar terjadi perang ? apakah  Thucydides benar tentang siapa yang kuat, adalah yang berkuasa ?

 

Isi dari artikel merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili Institusi Penulis

 

Notes 

[1] “….that in fact the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept”. Thucydides, History of the Peloponnesian War, (Penguin,1872), Book V.89, 401.

[2] Ibid. Book I.76, p.80

[3]Clarence J.Bounchat, “Dangerous Ground : The Spratly Islands And U.S Interest And Approaches, U.S Army War College Press, Strategic Studies Institute, (Desember,2013) : 23.

[4]Jane Perez, “Why Might Vietnam Let U.S Military Return ? China May”,  New York Times, 19 May 2016,. Available at www.nytimes.com/2016/05/20/world/asia/access-to-bay-adds-enticement-as-us-weighs-lifting-vietnam-embargo.html

[5]U.S Department of Defense, Asia – Pacific Maritime Security Strategy ; Achieving U.S National Security Objectives in a Changing Environment, Asia-Pasific Maritime Security Strategy ( U.S Department of Defense Publication) : 27,. Available at www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/NDAA%20A-P_Maritime_SecuritY_Strategy-08142015-1300-FINALFORMAT.PDF

[6]Glaser, Bonnie S. “Armed Clash in the South China Sea, Contingency Planning”,, Center for Strategic and International Studies, Contingency Planning Memorandum, (Memorandum No. 14, ),. Available at  http://www.cfr.org/world/armed-clash-south-china-sea/p27883.

[7]Jiang Zhida, Indonesia’s “Confidence” Diplomacy under the Yudhoyono Government, (China Institute of International Studies, CIIS, 31 December 2012),. Available  at www.ciis.org.cn/english/2012-12/31/content_5638110.htm

[8]Ching Chang, “Examining the Flaws of a South China Sea Code of Conduct A South China Sea Code of Conduct presents several challenges” The Diplomat, 20 October 2015,. Available at thediplomat.com/2015/10/examining-the-flaws-of-the-south-china-sea-code-of-conduct/ also see ; Association South East Asian Nation, “Declaration on The Conduct of Parties in The South China Sea”, accessed 22 May 2016, available at www.asean.org/?static_post=declaration-on-the-conduct-of-parties-in-the-south-china-sea-2

[9]ASEAN Regional Forum, “ASEAN Regional Forum Work Plan for Maritime Security 2015 – 2017”, Available at  aseanregionalforum.asean.org/files/library/Plan%20of%20Action%20and%20Work%20Plans/ARF%20Work%20Plan%20on%20Maritime%20Security%202015-2017.pdf

 

Daftar Pustaka

  1. History of the Peloponnesian War. Penguin, 1872.
  2. Bounchat, Clarence J. "Dangerous Ground: The Spratly Islands and U.S. Interest and Approaches." U.S. Army War College Press, Strategic Studies Institute, December 2013: 23.
  3. Perez, Jane. "Why Might Vietnam Let U.S. Military Return? China May." New York Times, 19 May 2016. Available at nytimes.com/2016/05/20/world/asia/access-to-bay-adds-enticement-as-us-weighs-lifting-vietnam-embargo.html.
  4. S. Department of Defense. Asia-Pacific Maritime Security Strategy: Achieving U.S. National Security Objectives in a Changing Environment. Asia-Pacific Maritime Security Strategy (U.S. Department of Defense Publication): 27. Available at www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/NDAA%20A-P_Maritime_Security_Strategy-08142015-1300-FINALFORMAT.PDF.
  5. Glaser, Bonnie S. "Armed Clash in the South China Sea, Contingency Planning." Center for Strategic and International Studies, Contingency Planning Memorandum, Memorandum No. 14. Available at http://www.cfr.org/world/armed-clash-south-china-sea/p27883.
  6. Zhida, Jiang. "Indonesia’s ‘Confidence’ Diplomacy under the Yudhoyono Government." China Institute of International Studies (CIIS), 31 December 2012. Available at ciis.org.cn/english/2012-12/31/content_5638110.htm.
  7. Chang, Ching. "Examining the Flaws of a South China Sea Code of Conduct: A South China Sea Code of Conduct Presents Several Challenges." The Diplomat, 20 October 2015. Available at com/2015/10/examining-the-flaws-of-the-south-china-sea-code-of-conduct/.
  8. Association of Southeast Asian Nations. "Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea." Available at asean.org/?static_post=declaration-on-the-conduct-of-parties-in-the-south-china-sea-2.
  9. ASEAN Regional Forum. "ASEAN Regional Forum Work Plan for Maritime Security 2015–2017." Available at asean.org/files/library/Plan%20of%20Action%20and%20Work%20Plans/ARF%20Work%20Plan%20on%20Maritime%20Security%202015-2017.pdf.
  10. Information Fusion Center (IFC). "Fact Sheet: Information Fusion Centre." Inaugurated on 27 April 2009. Available at mindef.gov.sg/imindef/press_room/official_releases/nr/2014/apr/04apr14_nr/04apr14_fs.html#.V1GKbzEyrU.
  11. Parameswaran, Prashanth. "Singapore Calls for Global Action to Tackle Maritime Challenges." The Diplomat. Available at com/2015/05/singapore-calls-for-global-plan-to-tackle-maritime-challenges/.

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua