x

Iklan

Teuku Rahmad Danil

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sekilas Pandang Muzakir Manaf (Mualem)-TA. Khalid

Tentang pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh pada pilkada 2017

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

Pilkada Aceh 2017, dimana rakyat Aceh akan terpecah suara dalam pemilihan calon pimpinan kepala daerah, sungguh perbedaan tidak dapat dihindari namun alangkah lebih indahnya bila persatuan dan perdamaian bersemi abadi di tanah Aceh, dan semoga perpecahan karena perbedaan pilihan dalam pilkada dapat dihindari. Sangat disayangkan bila perbedaan terus terjadi sesame masyarakat Aceh ikhwal pemilihan kepala daerahnya, padahal Jakarta dalam hal ini pemerintah pusat sudah memberikan keistimewaan khusus bagi Aceh dalam bidang politik, hal pemilihan kepala daerah, dan yang paling fenomenal adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang boleh mendirikan partai lokal, hal ini termaktum dalam UUPA pemerintah Aceh yang disahkan 1 Agustus 2006 sesuai dengan UU no 11 tahun 2006.

Kekhususan Aceh yang termaktub dalam UUPA merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Aceh dibanding daerah lain. Melalui UUPA, Aceh memiliki keleluasaan yang luas dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Aceh dapat menyelenggarakan tata kelola pemerintahannya sendiri tanpa harus terikat dengan UU yang berlaku secara nasional. Namun berbeda halnya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan pemilu yang sejatinya dinamis justru menjadi kaku dan sulit beradaptasi dengan dinamisasi demokrasi tanah air begitu diatur pasal per pasal dalam UUPA.

Adapun jelang Pilkada  Aceh 2017, Sejumlah nama bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota mulai bermunculan dan ramai diperbincangkan publik di berbagai tempat. Tak hanya di dunia nyata seperti di tempat keramaian, di dunia maya pun sama. Beberapa tokoh yang mencuat dan ditetapkan oleh KIP Aceh dan bakal bersaing merebut kursi Aceh 1 periode 2017-2022 adalah Kemudian ada Tarmizi Karim Berpasangan dengan Zaini T. Machsalmina nomor urut 1, mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman berpasangan dengan T. Alaidinsyah nomor urut 2, turut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilkada kali ini adalah Abdullah Puteh yang berpasangan dengan Sayed Mustafa Usab nomor urut 3. Zaini Abdullah berpasangan dengan Nasaruddin nomor urut 4. Muzakir Manaf berpasangan dengan TA. Khalid dengan nomor urut 5, dan Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah dengan no urut 6, Keempat tokoh semuanya mantan petinggi GAM, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf,  kemudian Zakaria Saman dan Zaini Abdullah sama-sama menjabat sebagai Tuha Peut alias Dewan Pertimbangan Partai Aceh. Dan diikuti oleh puluhan dan ratusan nama calon baik dari dukungan partai atau koalisi partai dan calon dari perseorangan atau independen yang akan menyemarakkan bursa pencalonan pilkada di tingkat kabupaten dan kota di Aceh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dapat masyarakat berasumsi bahwa diantara beberapa calon gubernur dari perahu yang sama sebelumnya yaitu Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf mengindikasikan tipikal masyarakat Aceh susah bersatu dan lebih memilih perpecahan, padahal sebelumnya sama-sama dalam perjuangan ketika damai hadir dan diakomodasikan untuk berpolitik dengan dibolehkannya partai lokal di Aceh, dalam hal ini partai lokal mayoritas dan terbesar adalah Partai Aceh, lalu ada Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Daulat Aceh (PDA). Jika mereka bersatu dan mengusung satu pasangan saja untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh dengan mengeyampingkan ego dan kepentingan pribadi niscaya kemakmuran, kesejahteraan, pembangunan dan ekononi masyarakat Aceh dapat segera terwujud karena di level atas sudah tidak ada khilafiyah lagi dan satu kata demi kepentingan rakyat Aceh, mengapa harus berbeda? Jika itu tujuan utama dari para elit di Nanggroe.

Pecahnya dukungan yang diberikan suatu entitas tertentu tidak dapat terhindarkan dalam pilkada kali ini seperti halnya di Aceh dimana partai penguasa, yaitu Partai Aceh tidak satu kata dalam memberi dukungannya terhadap pilkada kali ini. Dimana kalangan tua-tua (tuha peut) memilih untuk bertarung secara Ksatria lewat jalur perseorangan dan kalangan muda-muda mendukung pasangan Muzakir Manaf-TA Kahlaid, bahkan ada yang mengalihakan dukungannya ke kandidat lainnya. Semoga saja rakyat Aceh cerdas menyikapinya dan tidak terjadi perpecahan didalam masyarakat dalam mendukung suatu pasangan calon yang hanya heboh menjelang Februari 2017, selepas itu kehidupan rakyat akan seperti sedia kala, yang bekerja tetap bekerja, yang pedagang tetap berdagang,  tidak ada yang lebih dan perubahan dalam hal kehidupan ini, walaupun janji-janji muluk pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur serta calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikotasaat kampanye dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh.

Walaupun ada pasangan dari partai nasional yang bertarung tentu mereka akan menjadi penghibur dan bumbu penyedap saja dalam pilkada Aceh, pun karena tidak dibolehkan adanya calon tunggal untuk maju menjadi calon kepala daerah. Namun skenario Jakarta ternyata lebih ampuh dan mujarab untuk membuat perbedaan diantara tokoh-tokoh Aceh sehinga mereka yang dari kalangan pejuang yang sama dan partai yang sama bisa berambisi sama-sama menjadi calon gubernur dan wakil gubernurAceh dengan melilh jalur perseorangan atau independen atau berkoalisi dengan partai nasional dan gabungan partai. Bila masyarakat lihat tidak ada yang murni dari partai lokal untuk maju semua berkoalisi dengan partai nasional kecuali yang dari independen.

Padahal Partai Aceh (PA) selaku partai lokal yang menang mutlak pada pemilu yang lalu seharusnya yang berhak mengajukan pencalonan kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur juga bupati/walikota dan wakil bupati/walikota se-Aceh dari kalangan internal atau kader PA. Aceh memang beda bila kita lihat dengan propinsi lain di Indonesia, punya tempat khusus dimata Mahkamah Konstitusi (MK) dimana jalur independen kembali diperbolehkan untuk bertarung dipilkada tahun ini. Padahal semua tahu, partai lokal adalah penguasa parlemen Aceh, seharusnya tokoh-tokoh dari partai tersebutlah yang lebih dominan untuk menduduki posisi satu dan dua di daerah tingkat I dan daerah tingkat II, namun kali ini dari jalur perseorangan dapat kembali mencalonkan diri asalkan sejumlah syarat dapat terpenuhi seperti pengumpulan KTP masyarakat, bahkan mantan narapidanapun dapat mencalonkan diri setelah MK menerima gugatan salah satu calon gubernur Aceh tersebut. Segenap lapisan masyarakat dipersilahkan memimpin rakyat Aceh baik dari kalangan politisi,  akademisi, pengusaha,seniman, praktisi, bankir, tokoh pemuda, tokoh masyarakat sampai tukang becakpun dibolehkan asal cukup syarat untuk menjadi calon pemimpin daerah karena ada dua jalur yang tersedia dengan partai atau koalisi partai atau dengan perseorangan atau independen.

Untuk itulah peranan ureng-ureng tuha di partai Aceh maupun Wali Nanggroe untuk mengajak kembali para mantan kombatan, teman-teman seperjuangan dan rakyat Aceh pada umumnya untuk kembali ke rumah kita, partai Aceh dan sama-sama berjuang dijalur yang sudah diamanahkan oleh Undang-undang dan memenangkan pasangan calon kepala daerah baik gubernur dan wakil gubernur maupun calon bupati/wakil bupati atau calon walikota/wakil walikota yang diusung Partai Aceh (PA) dan  mengapa harus berbeda bila kita ada kekhussusan dalam tata kelola pemerintahan sendiri.

Fenomena ini membuat semua orang galak jeut keu raja,karena memang peluang itu ada tergantung dipilih atau tidak oleh rakyat, Namun apakah ada calon pemimpin yang mulia, pro rakyat dan berhati pahlawan yang ikhlas berbuat untuk daerah ini,bukan karena kepentingan dan impian bisnis atau uang yang akan melimpah di propinsi kaya tapi rakyatnya miskin ini. Sepertinya sosok inilah yang dibutuhkan rakyat, tentunya tidak harus dari kalangan politisi yang tak kenal kawan dan lawan, tidak harus dari kalangan akademisi yang terlalu larut dengan teori-teori, tidak harus dari kalangan pengusaha yang dengan usaha yang dirintis, orang yang sudah mapan dalam kerajaan bisnisnya dan sehingga rakyat akan berpikir tidak ada kepentingan untuk memperkaya diri dengan jabatan dan kekuasaan, Aceh butuh figur yang benar-benar mementingkan rakyat, berjiwa pahlawan dan pengabdian bagi daerah dan negerinya. Pahlawan seseorang yang berbuat pamrih tanpa mengharap imbalan demi kepentingan orang banyak. Bukan seperti pahlawan tanpa tanda jasa yang identik dengan guru, apa pantas dikatakan pahlawan untuk lulus jadi PNS saja harus sogok,atau pahlawan-pahlawan dibidang-bidanglain,yang sebelum mendapatkan gelar itu sudah main suap dan ingin dikenang oleh rakyat, tentu bukan pemimpin berhati pahlawan yang sedang diidam-idamkan oleh rakyat Aceh.

Berikut sekilas pandang Muzakir Manaf  atau Mualem lahir di Seuneudon, Aceh Utara Aceh 3 April 1964 umur 52 tahun adalah tokoh pejuang GAM. Dia pernah menjabat sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka. Namanya Muzakir Manaf, tetapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran, yang memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Pada masa damai sekarang, orang Aceh masih juga menyebut Muzakir Manaf sebagai Mualem. Tentu saja, nuansanya tak lagi dikaitkan dengan soal militer, tetapi sebagai sapaan kehormatan, tak hanya bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetapi juga oleh seluruh masyarakat Aceh lainnya.

Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh 2012, Partai Aceh—sebagai partai terbesar di Aceh—mengusung Muzakir Manaf sebagai calon wakil gubernur Aceh 2012-2017, bersama dr. Zaini Abdullah, mantan Mentri Luar Negeri GAM yang diusung Partai Aceh sebagai Calon Gubernur Aceh. Muzakir Manaf sendiri juga pernah menjabat sebagai Panglima GAM, menggantikan Abdullah Syafi’i yang wafat pada 22 Januari 2002.

Usai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM dibubarkan, dan kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, Mualem menjabat sebagai Ketua KPA. Sekaligus juga Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.

Riwayat penidikannya antara lain SD Negeri Seuneudon Kabupaten Aceh Utara (1971-1977), SMP Negeri Idi Kabupaten Aceh Timur (1978-1981), SMUS Pasee Sejaya, Panton Labu Kabupaten Aceh Utara (1981-984), Pelatihan Militer di Camp Tajura, Libya 1986-1989.

Riwayat organisasinya antara lain : Anggota Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (1986-2005), Panglima Gerakan Aceh Merdeka wilayah Pase (1998-2002), Wakil Panglima Gerakan Aceh Merdeka (1998-2002), Panglima Gerakan Aceh Merdeka (2002-2005), Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) (2005-sekarang), Ketua Umum Partai Aceh (PA) (2007-sekarang), Ketua Dewan Penasihat DPD Partai Gerindra Aceh (2013-sekarang). Jabatan terakhir adalah wakil gubernur Aceh 2012-pertahana.

 Kemudian sekilas pandang TA. Khalid, Lahir di Meunasah Mee, Jangka Buya, Kabupaten Pidie (kini Pidie Jaya), 25 Februari 1970, TA. Khalid mulai dikenal di dunia politik sejak 2003. Saat itu, alumni Universitas Abulyatama ini memimpin Partai Bintang Reformasi (PBR) Lhokseumawe. Ia lantas terpilih sebagai anggota legislatif dan menjadi Ketua DPRK Lhokseumawe, 2004-2009.

Keberhasilan TA. Khalid sebagai Ketua DPD Gerindra Aceh terbukti saat Gerindra berhasil mengirim dua wakilnya ke DPR RI, tiga ke DPRA, dan puluhan anggota DPRK di sejumlah kabupaten/kota.

Padahal dia ditunjuk sebagai Ketua Gerindra Aceh hanya beberapa bulan menjelang Pemilu 2014. Jeda pemilu Dua tahun sebelumnya, pada tahun 2012, ketika Partai Aceh nyaris tidak bisa ikut pilkada karena kisruh regulasi, TA. Khalid menjadi salah satu aktor yang membuat MK emerintahkan penghentian sementara tahapan pilkada, sekaligus memerintahkan KIP Aceh, membuka kembali tahapan pendaftaran.

Saat itulah, Partai Aceh mendaftarkan pasangan mereka, yaitu Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir). Jauh sebelum Pemilu 2014 dan Pilkada 2012, tepatnya ketika masa-masa awal perdamaian Aceh tahun 2005, TA. Khalid memainkan peran penting dalam proses transformasi sejumlah tokoh mantan kombatan GAM ke jalur politik.

Riwayat pendidikannya adalah SMA Negeri Lhokseumawe (1986-1989), Universitas Abulyatama (1989-1994), Sekolah Tinggi Manajemen IMMI Jakarta (2003-2004).

Riwayat organisasinya antara lain Anggota MPULhokseumawe (2002-2004), Penasehat IKADI Lhokseumawe (2005-2007), Penasehat BSMI Lhokseumawe (2005-2007), Ketua DPRD Lhokseumawe (2004-2009) dan Wakil Ketua Koni Aceh (2015-sekarang. Jabatan terakhir adalah ketua DPD Partai Gerindra Aceh 2013-sekarang.

 

Partai Aceh

Sungguh disayangkan perbedaan diantara elit partai Aceh, antara kalangan tua-tua dengan kalangan muda, bahkan kalangan yang sudah resign dari partai Aceh dan membentuk partai lokal lainnya. Memang ada kewenangan untuk pembentukan partai lokal di Aceh, asalkan asasnya tidak bertentanan dengan pancasila dan UUD 1945. Kehadiran sosok Wali Nanggroe dalam struktur lembaga dan pemerintah Aceh ternyata belum mampu memberi andil dan nesahat khusus untuk menghentikan perbedaan yang terjadi ditubuh partai Aceh, yang lahir dari proses perjuangan demi pengorbanan jiwa raga, air mata, harta benda dan yatim serta janda di Aceh. Padahal kewenangan Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa disamping berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraaan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

Sudah barang tentu masyarakat Aceh khususnya para pemuda generasi muda dan para pemilih pemula untuk memberi dukungan dan pilihannya pada tanggal 15 Februari 2017, saat pemungutan suara untuk mencoblos pasangan nomor urut 5, Muzakir Manaf (Mualem)-TA. Khalid sebagai gubernur Aceh peroide 2017-2022 karena memang amanah UUPA disamping juga boleh untuk pasangan dari independen atau perseorangan, hakikatnya adalah partai lokal hadir karena perjuangan panjang rakyat Aceh dalam mencari keadilan dan kesejahteraan dan dibolehkannya jalur politik dengan mendirikan partai lokal yang tidak dimiliki oleh provinsi mana pun di Indonesia. Itulah kekhususan dari pasangan ini adalah dari partai lokal terbesar di Aceh yaitu Partai Aceh dan didukung juga oleh partai nasional PKS dan Gerindra. Mari para pemuda, generasi muda dan pemilih pemula rapatkan barisan untuk sama-sama mendukung pasangan  nomor urut 5, Muzakir Manaf (Mualem)-TA. Khalid sebagai gubernur Aceh peroide 2017-2022.

Ada yang menyatakan Perbedaan pilihan dalam pilkada Aceh, tak masalah karena hal itu mencirikan keberagaman masyarakat Aceh. Perbedaan seperti inilah yang menjadi semangat kemerdekaan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika saja. Untuk  menjaga keutuhan NKRI, merawat perdamaian Aceh dan mendorong Pilkada Aceh berjalan sesuai dengan konstitusi, serta menghargai perbedaan pilihan. Biasa karena perbedaan pilihan bisa menjadi ancaman ketertiban keamanan dan mencederai nilai-nilai aman dan damai di bumi Aceh.

Semua elemen masyarakat Aceh sangat menginginkan pilkada Aceh 2017 berjalan damai dan aman masih tertingat bagaimana riuh dan mencekamnya pilkada Aceh 2012 sampai harus ada korban nyawa dalam tahapan pilkada Aceh waktu itu. Maka dari itu untuk pilkada Aceh 2017, Pemangku Kepentingan dan masyarakat Aceh diantaranya KIP Aceh, Polda, Kodam, Kesbangpol, Jubir Partai Aceh, Tidar Partai Gerindra, Perwakilan DPW PDIP,  Perwakilan DPW Partai Demokrat, Sekretaris Tim Pemenangan Balon Gubernur Aceh dari Pasangan Zaini-Nasaruddin, Perwakilan FPI Aceh, HMI, PII, KNPI, dll  pun menyampaikan tiga poin penting yang dituangkan dalam ikrar komitmen bersama yang berisikan yaitu :

“Kami para Pemangku Kepentingan dan segenap masyarakat Aceh mengharap rahmat dan ridha Allah SWT, dengan penuh kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaraan” :

Pertama, akan senantiasa menjaga keutuhan NKRÌ dan merawat perdamaian Aceh. Kedua, akan mendorong terwujudnya proses demokrasi yang bersih, santun dan damai. Terakhir, akan selalu menghargai perbedaan pilihan dalam Pilkada sesuai dengan hati sanubari masing-masing.

Tentu saja harapan pilkada damai adalah harapan semua orang, terutama para tim sukses kandidat calon pasangan dalam memobilisasi massa atau saat kampanye hendaknya berlaku sopan tidak menghina kandidat lain, intimidasi pemilih dan lain sebagainya. Masyarakat mari datang ke TPS-TPS untuk memberikan hak suara anda sesuai pilihan kata hati nurani, jangan jadi golongan putih atau tidak memilih karena boleh jadi surat suara anda akan disalahgunakan atau terjadi hal-hal lain karena satu surat suara bisa mempengaruhi hasil dan pemenang calon pimpinan atau kepala daerah kita. Perbedaan adalah rahmat dan mari saling menghargai karena perbedan, agar ketentraman terwujud menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut.   

Tahun Politik                                                                                                                                 

Sistem politik demokrasi yang mahal membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing. Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan negara. Melalui proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri. Penerapan demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin makin meningkat. Dan di tahun ini, tahun 2014 ini oleh sebagian kepala daerah, pejabat, politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’. 

Penyebutan ‘tahun politik’ menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem demokrasi sekular lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pilkada, baik sekadar untuk menjadi calon pemimpin rakyat di provinsi  ataupun di daerah kabupaten/kota. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi politik lebih kental bernuansa rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang sebenarnya—yakni bagaimana mengurus urusan rakyat—justru terabaikan. Pasalnya, dalam dua tahun pertama dipastikan para wakil rakyat dan penguasa akan berusaha mengembalikan modal politik yang amat besar—rata-rata miliaran, puluhan bahkan ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cabup/cawalkot—terutama untuk kampanye Pilkada. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik modal, mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien. Semoga nomor urut 5, Muzakir Manaf (Mualem)-TA. Khalid tetap amanah, jujur, akuntabilitas, kredibilitas, menjadikan Aceh lebih sejahtera dan berkeadilan saat memimpin Aceh periode 2017-2022 itulah harapan seluruh masyarakat Aceh. Nyan Ban!

 

Penulis adalah Ketua Devisi Publikasi

DPW Rakan Mualem Aceh Utara

 

Ikuti tulisan menarik Teuku Rahmad Danil lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB