x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 12 Mei 2019 21:35 WIB

Gerindra-Demokrat Bertikai, Siapa Untung?

Bagi Jokowi dan koalisi pengusungnya, semakin mendekatnya Demokrat [dan mungkin disusul PAN?] setelah hasil pilpres resmi diumumkan jelas menguntungkan, sebab mayoritas di parlemen akan bertambah jumlah kursinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Penghitungan suara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif belum sampai kepada hasil resminya, namun dua partai yang bersekutu dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur sudah bertikai. Saling lempar ledekan berlangsung di antara figur Partai Gerindra dan Demokrat. Bahkan sosok seperti Mayjen [purn] Kivlan Zen, yang bukan pengurus Gerindra tapi dekat dengan Prabowo, menuding SBY tidak rela Prabowo terpilih menjadi presiden. Sebaliknya, elite Demokrat mengeluh bahwa suara partainya turun gegara mendukung Prabowo.

Semasa kampanye pilpres berlangsung, memang terkesan bahwa Demokrat tidak all-out membantu partai-partai koalisinya dalam mengusung Prabowo. Belakangan, setelah pilpres usai dan penghitungan suara tengah berlangsung, Agus Harimurti Yudhoyono [AHY] mengunjungi istana untuk bertemu Presiden Jokowi. Sebagian elite koalisi tampak tidak nyaman dengan kedatangan AHY tersebut. Kesan yang muncul, Demokrat sedang berusaha mendekati istana, walaupun AHY mengatakan bahwa pertemuan itu hanya silaturahim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penghitungan suara memang belum selesai, tapi dengan melihat hasil quick count maupun kemajuan real count versi KPU, Demokrat kelihatannya berusaha bersikap realistis tentang kemungkinan kemenangan Jokowi. Dengan mengambil langkah lebih awal dibanding partai sekoalisinya, Demokrat ingin memperlihatkan bahwa mereka berpikiran terbuka mengenai apapun hasil suatu kompetisi politik. Sayangnya, Demokrat—yang ketua umumnya sudah dua kali jadi presiden—bukanlah Gerindra yang ketua umumnya sedang berjuang menjadi presiden. Kondisi psikologis kedua figur utama dan kedua partai jelas berbeda.

Di balik itu, elite Demokrat tampaknya sekaligus berpikir tentang peluang AHY lima tahun mendatang pada kompetisi pilpres tahun 2024. SBY kelihatannya terus mencari pintu-pintu yang memungkinkan semakin lebarnya peluang bagi anak sulungnya. AHY memerlukan pengalaman kepemimpinan di tingkat nasional sebagai batu lompatan untuk maju ke arena pilpres dengan lebih meyakinkan.

Bagi Jokowi dan koalisi pengusungnya, semakin mendekatnya Demokrat [dan mungkin disusul PAN?] setelah hasil pilpres resmi diumumkan jelas menguntungkan, sebab mayoritas di parlemen akan bertambah jumlah kursinya. Strategi merangkul partai-partai kompetitor telah dilakukan koalisi PDI-P sebelumnya dengan menawari partai seperti PPP dan Golkar kursi di kabinet pemerintahan Jokowi, sehingga kedua partai ini mau meninggalkan koalisinya dengan Gerindra untuk bergabung dengan PDI-P, PKB, dan NasDem.

Meskipun elite Gerindra sempat berusaha mengesankan bahwa koalisinya tetap solid, khususnya setelah AHY bertemu Jokowi, tapi perkembangan mutakhir menunjukkan sebaliknya. Kepentingan individu partai-partai mulai tampak menonjol, sehingga hubungan Gerindra dan Demokrat mulai renggang. Saling tuding, kritik, dan ledek terjadi.

Tampaknya partai-partai di Indonesia memiliki kecenderungan untuk bersikap pragmatis ketimbangan ideologis. Jika suatu tawaran politis tampak menguntungkan, ya diambil saja ketimbang harus bersikukuh dengan pendirian tetapi tidak memperoleh apa-apa. Kekuasaan memang memiliki daya pikat tersendiri yang begitu magis, sehingga banyak partai tidak sanggup menolaknya. Duduk di kabinet dianggap lebih bergengsi ketimbang hanya duduk di parlemen sebagai oposisi.

Menjadi oposisi memang pilihan dan jalan yang sukar, karena itu tidak banyak partai yang sanggup untuk menjadi oposisi dalam waktu relatif lama. Tidak heran apabila ada elite partai yang mengatakan bahwa habitat partainya bukan di kolam oposisi, melainkan kolam pemerintahan. Jadi, ketika ditawari untuk masuk kabinet, dengan senang hati tawaran itu disambut. Bagi mereka, ketika situasi koalisi cenderung melemah, bergabung dengan pihak kompetitor yang sanggat mungkin menang terlihat lebih menjanjikan ketimbang tetap berdiri di barisan oposisi dengan harapan yang mengambang. Inilah realitas politik di negeri kita. >>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler