x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 17 Juni 2019 13:33 WIB

#SeninCoaching: Online Games dan Krisis Kepemimpinan

Pemicu yang menjauhkan diri dari tanggung jawab utama tersebut bisa datang dari arah mana saja, dari online games, godaan nimbrung omongan di social media, gosip politik, ngomongin artis, plus mungkin saja berupa kegiatan dadakan di luar business plan dan tidak fit dengan life purpose organisasi dan pribadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Amusing Yourself to Death?

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” – Edmund Burke.

 

Tiga ratus enam puluh lima juta orang ketagihan video game dan media online di China. Itu beberapa tahun silam. Pada 2015, seorang pria 32 tahun meninggal setelah main game terkoneksi di sebuah internet bar selama tiga hari.

Sebelumnya, di Jinzhou seseorang tewas terkena serangan jantung usai main online games selama Festival Musim Semi – dan seterusnya, masih ada sejumlah kasus lain, di Guangzhou dan tempat berbeda, termasuk seorang wanita usia 21 buta sebelah akibat berkepanjangan memelototi mobile video game.

Kecanduan video game dan berburu banyak hal di internet juga menjangkiti wilayah lain. Anak-anak sekolah di AS yang gagal di kelas rata-rata menghabiskan waktu sekitar 55 jam per minggu untuk non-academic media, internet surfing, video games, serta hanyut di facebook…. ”55 hours a week. This is a disaster,” kata Dr. Marshall Goldsmith, Executive & Leadership Coach # 1 di dunia.

Bagaimana anak-anak Anda, pernahkah dihitung berapa jam per minggu mereka hanyut dalam tsunami online video games dan semacamnya?

Di Indonesia belum ada penelitian berapa jam sepekan permainan video lewat internet dan wabah social media telah membajak kehidupan anak-anak, menggerogoti waktu kerja karyawan, dan meninabobokkan masyarakat. 

World Health Organization, Badan Kesehatan Dunia PBB, Juni 2018 menempatkan kecanduan game -- disorders due to addictive behavior -- sebagai penyakit internasional (International Classified Disease/ICD), disebut gaming disorder. Masuk kualifikasi gangguan kesehatan mental. Ini perilaku orang yang bermain game dengan gigih dan berulang, tanpa peduli pada kepentingan hidup lainnya.

Orang-orang yang terkena game disorder oleh kalangan praktisi kesehatan jiwa, di antaranya Dokter Kristiana Siste, SpKJ(K), diindikasikan telah mengalami perubahan struktur dan fungsi otak. Orang-orang yang kecanduan cenderung kehilangan beberapa kemampuan otaknya, antara lain fungsi memusatkan perhatian terhadap sesuatu hal (fokus); fungsi eksekutif (merencanakan dan melakukan tindakan); dan fungsi inhibisi (kemampuan untuk membatasi). Mereka sulit mengendalikan perilaku impulsif.

Sebagimana ditulis Indonesiainside.id, Dokter Kristiana menuturkan, “Sering pasien saya mengatakan sudah bosen main (game), tapi nggak bisa berhenti. Karena memang otaknya sudah berubah, fungsi otaknya yang untuk menahan perilaku agar tidak impulsif itu sudah terganggu.”

Ini cerita lain tentang gaming disorder, dari Inggris: “We come across parents who are distraught, not only because they’re seeing their child drop out of school, but because they’re seeing an entire family structure fall apart,” kata Dr Henrietta Bowden-Jones, ahli behavioral addictions di Britain’s Royal College of Psychiatrists.

Kecanduan surfing di internet, gaming, dan social media telah jadi problem serius di banyak tempat di dunia, melengkapi gangguan kejiwaan ketagihan alkohol, narkoba, dan jenis kecanduan lainnya di masyarakat, di lingkungan keluarga, dan organisasi-organisasi bisnis dan nonprofit.

The American Psychiatric Association menyimpulkan hasil studinya: “The gaming prompts a neurological response that influences feelings of pleasure and reward, and the result, in the extreme, is manifested as addictive behavior.”

Orang kecanduan video games, alkohol, narkoba, ketagihan seks, dan bentuk-bentuk “berhanyut diri” lainnya, termasuk selalu ingin populer di banyak kegiatan, sepertinya golongan manusia yang memilih menjalani hidup di awang-awang.

Bisa jadi masuk juga di kategori itu adalah kecanduan para eksekutif di kota-kota untuk dianggap sebagai pribadi super sibuk, merasa dipentingkan di semua kegiatan (utamanya yang berkaitan dengan para elite), selalu merasa tanpa kehadirannya kegiatan-kegiatan tersebut tidak berjalan. Padahal, faktanya, semua itu ternyata excuses untuk menghindari tanggung jawab utama yang mungkin terasa berat dia kerjakan.  

Di organisasi Anda sendiri bagaimana, apakah sudah diukur berapa jam setiap hari Anda, para kolega, dan anak buah menghabiskan waktu di online media yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tidak berkaitan dengan upaya membantu kehidupan bersama menjadi lebih baik? Berapa pula yang seolah-olah sibuk terus, montang-manting tanpa jadual teratur, dan hasilnya malah jauh dari KPI (Key Performance Indicator)?

Coba saja observasi gejalanya, apakah ada yang sering menunda-nunda pekerjaan sehingga mengganggu kelancaran proses bisnis; apakah anggota tim Anda sering sulit fokus dan kurang engaged atau malah “tulalit” saat diberikan tantangan baru; apakah kinerja mereka makin merosot?

Masih sering dapat kita temui orang-orang yang hidupnya ikut irama monkey mind, pikiran dan perilakunya terbawa arus pemicu (triggers) di luar kepentingan tugas pokok atau menjauhkannya dari tindakan yang relevan untuk meraih goal harian, mingguan, atau target bulanan.

Pemicu yang menjauhkan diri dari tanggung jawab utama tersebut bisa datang dari arah mana saja, dari online games, godaan nimbrung omongan di social media, gosip politik, ngomongin artis, plus mungkin saja berupa kegiatan dadakan di luar business plan dan tidak fit dengan life purpose organisasi dan pribadi.

Semua kegiatan tersebut bisa jadi menebarkan daya pikat memukau dan sangat menyenangkan; tapi dapat menyesatkan. Jika sedikit saja ada pembiaran, tidak ada upaya menghentikannya, situasi ini dapat menimbulkan krisis kepemimpinan.

Kita semua memang perlu hiburan, be happy. “Tapi kita juga sepatutnya mendapatkan makna hidup,” kata Marshall Goldsmith, co-founder institusi pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC). “Persoalan dengan kecanduan online media, utamanya yang tidak terkait dengan upaya membantu banyak orang, adalah karena hal itu dapat menjerumuskan Anda kepada situasi yang saya sebut menghibur diri sampai meninggal.” Amusing yourself to death.

Orang-orang yang kebanyakan hiburan, tanpa sempat membangun makna hidup, akan mendapati kehampaan, tidak ikut membuat dunia jadi lebih baik. Apakah ini yang bisa disebutkan “… mereka tenggelam dan bermain-main dalam kesesatan sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan” (QS Al Ma’arij [70]: 42)?

Apakah Anda sebagai pemimpin belum mau menggunakan resources di bawah kendali Anda untuk mengajak mereka ke perilaku yang lebih bertanggung jawab dan memberikan kesempatan pada mereka agar dapat bekerja lebih efektif?

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler