x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 Juli 2019 11:56 WIB

Caketum Golkar Minta Restu Istana?

Pelajaran tentang demokrasi bukan hanya bisa diperoleh dari penyelenggaraan pemilihan presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif, tapi juga dari pemilihan ketua umum partai politik. Praktik demokrasi di internal partai justru akan memengaruhi bagaimana para politikus mempraktikkan demokrasi dalam lingkup yang lebih luas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pelajaran tentang demokrasi bukan hanya bisa diperoleh dari penyelenggaraan pemilihan presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif, tapi juga dari pemilihan ketua umum partai politik. Praktik demokrasi di internal partai justru akan memengaruhi bagaimana para politikus mempraktikkan demokrasi dalam lingkup yang lebih luas. Karena itu, ‘jadwal’ pergantian ketua umum partai politik yang sebentar lagi berlangsung menarik untuk dicermati.

Di tubuh Golkar, partai tertua dibandingkan partai-partai politik yang lain, persaingan menuju kursi nomor satu tampaknya berlangsung sengit. Bahkan ketika musyawarah nasional baru akan berlangsung Desember nanti, aroma sengit itu sudah tercium dari sekarang melalui manuver dua figur yang terlihat sangat berminat menempati kursi itu, yakni Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo. Keduanya kader partai yang sedang memegang jabatan publik, Airlangga sebagai menteri kabinet Jokowi dan Bambang sebagai Ketua DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gerak-gerik menuju pemilihan ketua umum sudah terasa, bukan hanya dari upaya menggalang dukungan Dewan Pengurus Daerah [DPD] Golkar, tapi juga meminta dukungan dari organisasi-organisasi yang dulu membentuk Sekbergolkar. Bahkan, juga dari figur-figur yang dianggap masih berpengaruh di Golkar, di antaranya B.J. Habibie dan Akbar Tanjung, mantan ketua umum Golkar.

Meminta dukungan sebelum pemilihan itu memang lazim dipraktikkan, tapi yang lebih menarik ialah upaya memperoleh restu dari Istana—maksudnya, tentu saja, Presiden Jokowi. Setelah Airlangga, sebagai Ketua Umum Golkar yang sekarang, mengajak para ketua DPD Golkar menemui Presiden di Istana Bogor, awal Juli lalu, giliran kemudian Bambang bertamu kepada Presiden di Istana Merdeka Jakarta, 15 Juli.

Kedatangan Bambang ke Istana ternyata bukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. Kepada para jurnalis, Bambang mengatakan bahwa mereka berdua membicarakan masa depan Golkar—tapi orang mungkin bertanya-tanya, dalam kapasitas apa Bambang membicarakan Golkar dengan Presiden, sedangkan ia bukan pejabat tertinggi partai dan datang sendirian? Apakah sebagai calon ketua umum? Bambang menampik anggapan bahwa ia meminta restu Presiden, Airlangga pun begitu. Siapa yang tahu?

Menempatkan Istana sebagai unsur yang sangat penting dalam terpilihnya seorang ketua umum Golkar, dengan cara meminta restu atau setidaknya perhatian dan simpati, tampaknya bukanlah pelajaran demokrasi yang menggembirakan bagi internal partai maupun bagi masyarakat. Sebagai organisasi politik tertua dibandingkan partai-partai lain yang ada di negeri ini, Golkar sesungguhnya dapat tampil lebih dewasa dan memberi contoh yang baik tentang bagaimana membangun partai yang sistemik kerjanya dan tidak mengandalkan dukungan penguasa. Terlebih lagi, untuk beberapa waktu, Golkar pernah menjadi oposisi pemerintahan Jokowi.

Boleh jadi Golkar memang belum bisa lepas sepenuhnya dari tradisi politik yang berlangsung selama masa Orde Baru ketika Presiden Soeharto sangat menentukan siapa yang bisa duduk di kursi ketua umum Golkar. Tanpa restu Soeharto, mungkin Soedarmono dan Harmoko tidak akan menjabat ketua umum, begitu pula dengan ketua umum lainnya.

Tapi, presiden sekarang kan bukan orang nomor satu Orde Baru yang menjadikan Sekbergolkar, yang kemudian bertransformasi menjadi Golkar, sebagai kekuatan politik pendukungnya. Presiden yang sekarang adalah orang yang sebelumnya capres dari partai lain, partai yang sekarang memang jadi sekutu Golkar dalam koalisi tapi pernah menjadi kompetitor. Zaman sudah berubah, semestinya proses-proses politik pun berubah ke arah yang lebih baik dan lebih matang.

Menempatkan Istana sebagai faktor yang sangat menentukan dalam pemilihan ketua umum Golkar sama saja dengan tidak mendewasakan perkembangan demokrasi secara keseluruhan. Akibat kurang baiknya bukan hanya dirasakan internal golkar, tapi juga bagi kultur demokrasi yang sedang kita bangun. Jalan menuju kursi ketua umum partai akan lebih elok jika dibarengi tujuan mendewasakan demokrasi kita. Janganlah bangga menjadi partai yang berada di bawah bayang-bayang Istana, padahal Golkar punya pohon Beringin sendiri. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler