x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kota yang Kehilangan Jeda

Kota-kota tumbuh sebagai penjara yang meringkus penghuninya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

What sunset silhouettes explain about the city

--myurbanist

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Memasuki Jakarta setelah 7 tahun tak menginjak kota ini, saya merasa asing. Gedung-gedung kian mengepung, arus kendaraan semakin deras, orang-orang kian bergegas seperti tak ada hari esok. Ketika langit bertambah hitam, air bah tak ubahnya hantu yang mengintip dari balik pintu.

Trem yang dengan damai menyusuri sebagian Jakarta, seperti dilukiskan Pramoedya Ananta Toer dalam seri Bumi Manusia, telah lama punah. Kini, kota-kota dikembangkan seperti bukan untuk manusia, melainkan bagi mesin-mesin yang menebar polutan yang terus bertambah volumenya—berapa kilometer jalan tol hendak dipanjangkan? Derau knalpot dan pekik klakson menghantam dinding gendang telinga kita, berdentam-dentam. Butir-butir halus polutan merasuki rongga paru-paru dengan leluasa.

Kerumunan gedung, rumah, manusia, mobil, sepeda motor, taxi telah menciptakan stimulan sehingga kita perlu terus-menerus mengarahkan-ulang perhatian kita. Pikiran kita ditarik oleh hal-hal yang tidak relevan: neon sign yang berkelap-kelip, percakapan telepon orang di sebelah, hingga pertengkaran politik yang tidak menarik tetapi menjadi headline koran dan televisi.

Bila kota-kota ini pasien, barangkali kota-kota akan didiagnosis mengidap agrypnia excitata—kondisi genetis yang dicirikan oleh insomnia, nervous energy, denyut nadi dan degup jantung yang terus-menerus, dan kekacauan mimpi. Kota-kota semakin jarang tidur dan tak henti menebarkan sinyal ketegangan. Di kota-kota, malam bertambah malam.

Diam-diam, kota telah menciptakan perangkap bagi kesakitan penghuninya. Impuls ketegangan menyasar saraf otak tanpa jeda: di jalan-jalan, di ruang-ruang kerja, di gerai-gerai bisnis, di kantor-kantor parlemen dan partai, dan di rumah-rumah. Kewaspadaan meminta bayaran: setiap kali kita berjalan di kota, kata psikolog Marc Berman (2012), setiap kali pula kemampuan kognitif kita terganggu. Berada di tengah hiruk pikuk kota membuat proses-proses mental kita terganggu.

Berman memberi gambaran yang mencemaskan. Berjalan beberapa menit di kota yang sibuk dan padat kerumunan menurunkan kemampuan manusia untuk menyimpan ingatan; orang-orang mudah kehilangan kendali; kemampuan berpikir jernih terhambat. Kota menumpulkan pikiran, kata Berman. Waspada menjadi kata kerja yang sukar ditolak ketika orang lain terasa kian asing dan orang dekat kapan saja siap menerkam.

Untuk apa kota dikembangkan bila manusia tercekik di dalamnya. Karbonmonoksida, nitrogen oksida, sulfur oksida, dan butir-butir polutan menyerang pusat-pusat kehidupan (The Journal of the American Medical Association). Kota-kota kian terpisah dari alam dan menjauhkan manusia dari apa yang disebut Stephen Kaplan ‘sesuatu yang berperan penting bagi kesehatan otak dan pikirannya’. Alam, kata Kaplan, memberi ruang restoratif bagi pikiran yang telah sampai ke titik jenuh.

Kota-kota kehilangan ruang restoratif bagi pikir dan rasa ketika tempat berkesenian digusur oleh kapital yang berwatak materialistik. Kota-kota menyediakan ruang yang semakin luas bagi karakter sosial yang agresif. Tekanan kerumunan di kota-kota memaksa manusia untuk semakin waspada dan menuntut perhatian lebih dari yang sepatutnya. “Kota-kota, seperti kucing, akan menyingkapkan siapa diri mereka di malam hari,” kata Rupert Brooke.

Menempatkan kembali manusia sebagai pusat dalam konstruksi dan pengembangan kota merupakan keharusan yang tidak mudah diwujudkan. Teknologi, ekonomi, politik—yang telanjur diletakkan sebagai penghela ‘kemajuan’—harus dikembalikan kepada perannya sebagai sarana untuk menuju kemajuan kemanusiaan, bukan sebaliknya. Kota organis bisa menjadi pilihan untuk menggantikan kota-kota yang telah menciptakan kesakitan pada penghuninya.

Kota-kota organis yang dibayangkan oleh Lewis Mumford (The City in History) memberi ruang restoratif dan ruang bagi alam. Budaya urban, dalam visi Mumford, tidak dirampas oleh teknologi, melainkan tumbuh bersamanya—kota yang menyediakan ruang bagi jeda dari obsesi dan tekanan kerumunan, serta memberi tempat bagi kontemplasi. “A day spent without the sight or sound of beauty, the contemplation of mystery, or the search of truth is a poverty-stricken day; and a succession of such days is fatal to human life,” ujar Mumford.

Di kota-kota organis, penghuninya masih sempat menyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Menikmati pagi sembari menyruput kopi panas tanpa tergesa-gesa. “No city should be too large for a man to walk out of in a morning,” kata Cyril Connolly. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB