x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kekacauan yang Kreatif

Benarkah kekacauan mental syarat bagi lahirnya karya kreatif?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagian orang berpendapat bahwa kekacuan mental terdengar begitu romantik, setidaknya dalam konteks kecemerlangan pencapaian figur-figur seperti Ernest Hemingway, David Foster Wallace, Virginia Woolf, maupun Sylvia Plath dalam sastra. Atau John Nash dalam matematika—sosok yang bertahun-tahun dicekam schizoprenia, untuk kemudian sembuh, dan meninggal dalam kecelakaan taksi. Atau pada Vincent van Gogh yang goresan kanvasnya tetap memikat orang-orang dari generasi sekarang.

Para peneliti Plath menemukan kegetiran yang dalam pada puisi-puisi penyair ini. Penderitaan tampak bagai kandungan vital dalam karya-karya Plath. Begitu pula kegelapan dalam novel Wallace. Orang bertanya, apakah kegilaan bagian penting bagi kreativitas yang menjulang. Bila ini ditanyakan kepada Salvador Dali, ia akan menjawab: “Hanya ada satu perbedaan antara orang gila dan aku. Aku tidak gila.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi mungkin penderitaan memberi aura pada karya mereka—aura yang khas, unik, yang lahir dari pengalaman batin yang dalam. Semacam pengalaman merasa bosan yang suntuk, merasa tidak dihargai dan tersingkir—seperti dirasakan van Gogh, atau ketakutan yang terus menghantui pada diri matematikawan Nash. Benarkah pengalaman ini menawarkan penyingkapan kondisi terdalam manusia—yang barangkali jarang terlihat pada manusia biasa?

Lewat penderitaannya sendiri, Woolf berusaha bersikap empatetik terhadap nasib manusia. Mungkin ini terdengar romantik, tapi boleh jadi sangat dekat dengan kebenaran ihwal kondisi mental manusia. Ketika manusia biasa sukar mencapai kedalaman kondisi ini, Woolf dan Plath sanggup menembusnya hingga ke dalam. Meskipun, Woolf mengakui benar, “Kegilaan itu menakutkan.” Dalam kesadarannya, ia menulis tentang pikiran-pikiran lain yang mengganggunya, berulang kali, mula-mula ia sanggup melawannya, hingga kemudian ia menyerah dan menenggelamkan diri ke dalam sungai.

Banyak, bila bukan sebagian besar, keindahan karya manusia terletak pada kemampuan mereka dalam menyerap pengalaman manusia yang sangat khas, kompleks, getir, dan sukar dimengerti. Lihatlah potret diri van Gogh. Apakah pikiran-pikiran unik pada Nash, atau pikiran mengganggu pada Woolf, yang sesungguhnya telah mendorong mereka berpikir melampaui kewajaran orang-orang biasa? Apakah pikiran mereka menembus batas-batas yang mungkin dicapai di bawah kesadaran? Apabila ya, benarkah proses kreatif ini berlangsung tanpa sadar?

Sebagai periset mengritik pendapat bahwa kegilaan adalah syarat bagi lahirnya karya-karya besar. Namun benarkah tidak ada hubungan sama sekali di antara keduanya? Sebagian peneliti yang memelajari Alber Einstein melihat tanda-tanda yang melampaui batas tadi. Riset mutakhir mempertimbangkan keserupaan neurologis antara kekacauan mental dan pikiran kreatif dengan fokus aktivitas terletak di frontal lobe dalam otak.

Sebagai kajian ilmiah, sebagai renungan manusia, tampaknya kaitan kekacauan mental dan kreativitas belum sampai pada simpulannya yang final. Masih bergejolak, seperti kekacauan mental itu sendiri, seperti proses kreatif itu sendiri. (Foto: potret diri vincent van gogh) ***

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB