x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Pengucilan

Strategi memecah lawan politik kerap dilakukan untuk mengucilkan lawan tertentu dari pergaulan. Caranya: mengubah sebagian lawan jadi kawan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Arena politik adalah gelanggang permainan bagi orang-orang yang percaya kepada kekuasaan. Menurut mereka, kekuasaan dapat digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Bila tujuannya sama, mengapa orang berebut kekuasaan? Bahkan untuk saling berkompetisi, mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah sangat banyak, yang jika diinvestasikan ke dalam bisnis boleh jadi risikonya lebih terkendali.

Tidak keliru bila rakyat kebanyakan menduga bahwa hasrat yang besar kepada kekuasaan itu diwarnai oleh kepentingan lain. Mereka berkompetisi dalam politik mungkin didasari oleh keinginan mewujudkan keyakinannya pada pikiran tertentu, tapi mungkin pula memandang kekuasaan sebagai jalan untuk menghimpun pengaruh dan kekayaan. Pikiran ini bukan hal baru di masa sekarang, melainkan sudah berusia ratusan tahun. Athena, Sparta, Roma, Mesir, Irak kuno, hingga Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram—di manapun kekuasaan itu berada, umumnya bahasanya serupa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di arena politik, terdapat banyak kekuatan yang bermain untuk memperebutkan pengaruh dalam mengatur negara, ekonomi, sumber daya alam, hingga mengendalikan masyarakat melalui perangkat-perangkat resmi negara. Kekuatan-kekuatan itu ada yang sosoknya terlihat jelas, antara lain termanifestasi pada figur politikus maupun partai politik. Ada pula kekuatan yang secara resmi tidak terjun ke arena politik, tapi pengaruh politiknya dirasakan. Ada pula kekuatan yang tidak tampak, tapi pengaruh politiknya tak bisa diabaikan—mereka ini bekerja bagai bayang-bayang yang seringkali memberi dukungan di balik layar kepada pemain-pemain politik yang tampil di muka.

Ketika terjadi perselisihan, maka kekuatan-kekuatan ini saling memperlihatkan taring masing-masing sebagai cara untuk memberi tekanan kepada lawan politik. Variasinya beragam, namun aroma kompetisi di gelanggang politik kita memperlihatkan sekurang-kurangnya tiga cara menghadapi lawan politik.

Pertama, menghadapi serangan lawan politik secara frontal. Ini terjadi ketika perselisihan begitu panas, sehingga masing-masing lebih mengedepankan egonya ketimbang berpikir jernih dan menempuh jalan yang lebih licin. Bahkan, dalam konteks tertentu, perselisihan frontal ini tidak kunjung mereda dan bahkan mengkristal sehingga upaya perdamaian sukar diwujudkan. Masyarakat melihatnya bagai permusuhan yang tidak kunjung dingin. Dampaknya tidak selalu baik bagi masyarakat, yang notabene menyediakan panggung politik bagi mereka melalui pemilihan umum.

Kedua, sebagian politikus memegang betul adagium ‘tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi’. Tak heran bila banyak politikus loncat sana loncat sini, gandeng sana gandeng sini. Sepanjang kepentingannya terakomodasi, politikus ini tidak peduli siapa yang menjadi kawannya. Karena itu, mereka pun akan menggunakan strategi mengubah lawan menjadi kawan. Memang bukan kawan yang abadi, sesuai adagium tadi, melainkan kawan seperjalanan. Hingga titik tertentu, mungkin saja mereka kemudian berpisah lagi karena kepentingan mereka sudah berbeda.

Ketiga, strategi mengubah lawan menjadi kawan bisa pula digunakan dalam rangka menyerang balik lawan politik tertentu. Politikus ini akan membujuk politikus yang selama ini berkawan dengan lawan utamanya saat itu. Satu per satu mereka dibujuk dan diajak bersekutu. Tentu saja, adagium lain juga berlaku: “Tidak ada makan siang gratis.” Maka, satu per satu kawan-kawan dari lawan utama ini berhasil digaet setelah mendapat penawaran tertentu, hingga akhirnya tinggallah lawan utama ini berdiri sendirian.

Keberhasilan membujuk lawan menjadi kawan ini membuktikan ampuhnya jurus isolasi atau pengucilan terhadap lawan utama saat itu. Melihat rekan-rekannya tergiur oleh bujukan seteru politiknya, politikus yang tinggal sendirian akan celingukan. Hingga waktu tertentu, hubungan di antara dua seteru ini membeku sampai akhirnya ada pihak lain yang menjembatani relasi di antara mereka. Mereka akan beradu kuat dan berusaha keras menjaga image untuk menghindari kesan bahwa salah satu dari mereka sudah tidak tahan berseteru. Mungkin mereka akan saling mengirim isyarat perdamaian dan meminta pihak ketiga untuk menjadi jembatan.

Ketiga jurus tadi digunakan dalam tahun-tahun terakhir ini. Ada yang semula teman lantas bermusuhan, ada yang bermusuhan berubah jadi teman, ada pula yang dikucilkan dari pergaulan. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB