x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fatwa MUI dan Sumber Hukum

Eksistensi fatwa MUI memang bukan hukum positif, tetapi termasuk sumber hukum dalam bentuk doktrin dan alat bukti surat dalam sidang pengadilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fatwa MUI dan Sumber Hukum

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Umumnya pakar hukum berpandangan bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan secara legalitas oleh negara. Pembentukan, sosialisasi, dan penegakannya apabila dilanggar dilakukan oleh aparat negara yang ditunjuk secara konstitusional. Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagi alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) antara lain bertugas “menegakkan hukum”. Dengan demikian, Polri adalah salah satu institusi negara yang melakukan penegakan hukum di bidang hukum publik.  

       Mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang belakangan ini menjadi perhatian publik, tidak termasuk hukum positif. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) yang tidak mengikat bagi subjek hukum (manusia dan badan hukum) seperti hukum positif. Salah satu fatwa MUI yang menyita perhatian publik adalah Fatwa Nomor 56/2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal. Maka benar pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (Detiknews.com, 19/12/ 2016) bahwa “fatwa MUI bukan hukum positif di Indonesia”.

       Hukum positif yang berlaku saat ini, berdasarkan jenis dan hirarkinya dapat dilihat pada Pasal 7 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga negara, komisi yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atau atas perintah undang-undang, serta legislatif daerah dan pemerintah daerah sampai kepala desa atau yang setingkat. Peraturan yang dibuat itu diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 UU Nomor 12/2011).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Lantaran bukan hukum positif yang dibuat dan ditegakkan oleh negara sehingga fatwa MUI tidak mengikat semua warga negara. Polri tidak wajib menjadikan fatwa MUI sebagai dasar untuk memproses orang yang melanggarnya. Namun, fatwa MUI boleh saja dipatuhi atau tidak diikuti oleh Umat Islam sebagai sasaran dari fatwa. Prof Yusril Ihza Mahendra (Republika.co.id, 25/12/2016) menyebut bahwa Hukum Islam adalah “the living law”atau hukum yang hidup dalam masyarakat, bukan ius constitutum dan bukan pula ius constituendum. Kenapa begitu? Karena pada hakikatnya Hukum Islam hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum warga masyarakat.

Sumber Hukum

       Malah Von Kirmann (Marwan Mas, 2014:3) menyebut objek ilmu hukum itu bukan hukum positif, melainkan living law sehingga ilmu hukum bukanlah ilmu karena tidak dapat menguasai objeknya. Hukum positif yang disebut objek hukum menurut Von Kirmann justru dikuasai oleh pemerintah (negara). Itu jugalah yang disebut Prof Yusril “kalau living law berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan kadang-kadang  daya pengaruhnya bahkan mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh negara”.

       Mengkaji hakikat hukum menurut Roscoe Pound (2014:4) setidaknya dilakukan melalui “law in the books and law in action” yaitu berdasarkan pada apa yang tertulis (hukum positif) dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai fenomena sosial. Sumber atau asal-usul kaidah hukum positif merupakan “double legitimacy” yang menurut teori yang dikemukakan Paul Bohannan (2014:50) sebagai “reinstitutionalization of norm” atau “pelembagaan ganda” yang diambil dari kaidah-kaidah sosial lainnya seperti kaidah agama, kaidah kesopanan, dan kaidah kesusilaan agar warga masyarakat dapat terus berfungsi.

       Sumber hukum merupakan esensi dari mana asal-mula hukum ditemukan yang menentukan isi dan bentuknya agar mengikat setiap orang. Hukum agama (terlebih Hukum Islam) termasuk salah satu sumber hukum (positif) yang menentukan isi atau materi kaidah hukum agar berlaku dan mengikat secara umum. Hukum agama adalah hukum yang bersumber dari Tuhan sebagai ajaran bagi umat manusia yang dapat diresepsi ke dalam materi perundang-undangan atau hukum positif.

       Fatwa MUI lahir sebagai ekspresi dari kebutuhan hukum masyarakat (umat Islam) terhadap sesuatu hal yang berkembang. Ia didasarkan padai Hukum Islam sebagai living law agar memenuhi salah satu tujuan hukum, yaitu adanya kepastian hukum. Kendati begitu, fatwa MUI tidak termasuk hukum positif sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa apabila dilanggar seperti hukum positif pada umumnya.

       Living law sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, juga wajib digali, diikuti, dan dipahami bagi hakim dan hakim konstitusi. Itu substansi yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya, hakim dan hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara yang ditangani harus sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat menjadi sumber hukum bagi hakim dan hakim konstitusi dalam membuat putusan (judge made law).

Alat Bukti

       Fatwa MUI terhadap dugaan penistaan Agama Islam selama ini selalu dijadikan “alat bukti surat” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 184 Ayat (1) huruf-c KUHAP. Dikategorikan “surat” sebagai alat bukti dalam Pasal 187 huruf-b KUHAP adalah “surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan”.

       Penjelasan Pasal 187 huruf-b KUHAP tentang yang dimaksud dengan “surat yang dibuat oleh pejabat”, termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu Majelis yang berwenang untuk itu. Inilah yang menjadi dasar sehingga fatwa MUI digunakan sebagai “alat bukti surat”. Eksistensi fatwa MUI sebagai “alat bukti surat” dalam upaya pembuktian dugaan penistaan Agama Islam di muka sidang pengadilan selama ini selalu diterapkan pada sejumlah perkara.

       Sebut saja misalnya, dugaan penistaan oleh Arswendo Atmowiloto, Permadi, Lia Aminuddin, dan Ahmad Musadeq yang sudah divonis oleh hakim dan telah berkekuatan hukum tetap. Termasuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendapat perhatian luas masyarakat, juga diduga melakukan penistaan Agama Islam dan fatwa MUI menjadi salah satu alat bukti surat yang saat ini sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

       Dengan demikian, fatwa MUI selain dapat menjadi sumber hukum (doktrin), juga termasuk alat bukti surat yang dijadikan sebagai salah satu dasar bagi hakim menjatuhkan putusan. Praktik peradilan selama ini, pejabat yang menandatangani suatu surat yang dijadikan alat bukti acapkali juga diminta memberikan keterangan di depan sidang pengadilan. Namun, keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan dijadikan sebagai alat bukti “keterangan ahli”. Sesuatu yang sering diperdebatkan lantaran seorang pejabat dapat melahirkan dua alat bukti sekaligus.(*)

Makassar, 25 Desember 2016

 

 

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu