x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan Akhir Tahun: Terorisme Musuh Bersama

Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diperangi secara bersama semua komponen bangsa dengan cara-cara luar biasa pula.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan Akhir Tahun

Terorisme Musuh Bersama

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Lagi-lagi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus-88) bersama anggota kepolisian lainnya berhasil mencegah aksi teroris yang sebelumnya sudah diendus akan melakukan bom bunuh diri. Institusi berbaju cokelat itu berhasil menggagalkan rencana bom bunuh diri melalui operasi cepat dan taktis. Itu dilakukan di beberapa tempat sejak 10 sampai 21 Desember 2016. Sejumlah bom pipa siap ledak ditemukan bersama senjata api yang rencananya akan diledakkan di pos polisi menjelang Natal dan Tahun Baru 2017.

       Tulisan ini merupakan refleksi akhir tahun 2016 terkait gerakan terorisme yang selama ini menjadi salah satu kejahatan kemanusiaan yang paling meresahkan masyarakat. Kita mengapresiasi kesigapan Polri mencegah rencana bom bunuh diri, dan sampai tulisan ini dibuat tidak ada sama sekali aksi bom bunuh diri. Semoga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) tetap kondusif dengan mendukung upaya pencegahan (preventif) dan penindakan (represif) oleh Polri.

       Hal mengejutkan karena ditangkap seorang perempuan, Dian Yulia Novi yang diduga disiapkan jadi “pengantin-pelaku bom bunuh diri”. Ini modus operandi baru teroris Indonesia, meskipun sudah terjadi di sejumlah negara seperti Suriah, Irak, Afghanistan, dan Yordania. Perempuan dijadikan pelaku bom bunuh diri dengan modus diperisteri oleh salah satu perancang aksi yang diduga jaringan Bahrum Naim. Sosok teroris yang sedang diburu dan sejak lama bergabung dengan kelompok Islamic State (IS) di Suriah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perubahan Modus

       Kalau selama ini pelaku bom bunuh diri dilakukan oleh lelaki, tetapi perubahan modus pelaku ke kaum perempuan akan semakin memperluas eskalasi ancaman. Kelompok IS menjadikan perempuan pelaku bom bunuh diri lantaran dianggap efektif dalam penyamaran, tidak terlalu mencurigakan, cukup teliti mencari sasaran yang tepat, serta sangat simple menyembunyikan bom di badannya. Mereka dapat engan mudah menyebar keresahan publik yang jauh lebih membahayakan.

       Jika pun sebelumnya sudah diprediksi, tetapi ke depan harus diantisipasi. Tetapi bukan hanya itu, IS juga melibatkan anak berumur antara 9-10 tahun. Perubahan modus tidak terlepas dari perintah juru bicara IS bahwa mereka yang sudah berbaiat tidak perlu hijrah ke Suriah. Amaliah melalui bom bunuh diri dapat dilakukan di negara masing-masing.

       Di Indonesia, pelibatan anak di bawah umur juga terjadi saat pengeboman Gereja Oikumene, Samarinda yang dilakukan oleh Juanda. Ia dibantu oleh dua orang anak yang berusia 16 dan 17 tahun. Proses rekruitmen dan doktrin radikal juga mengikuti perkembangan teknologi media sosial. Kalau sebelumnya ada pertemuan dan pelatihan, tetapi belakangan doktrin dan perintah jihad dilakukan melalui chating di media sosial.

       Hal itu mengonfirmasi bahwa paham radikal kekerasan untuk melakukan teror semakin canggih. Terorisme termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diperangi dengan cara-cara luar biasa pula. Terorisme harus dijadikan “musuh bersama” oleh semua komponen bangsa. Memeranginya  tidak cukup hanya diserahkan kepada Densus-88, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan TNI.  

       Telebih setelah IS di Suriah yang ultra radikal dan sadis dijadikan rujukan baru. Mereka mengikuti paham IS dengan membait diri sendiri karena dianggap punya konsep yang ekselen untuk membangun negara Islam. Fenomena tersebut semakin menambah eskalasi ancaman terhadap keselamatan umat manusia. Kita ingin upaya pre-emtif (sosialisasi) dan pencegahan (preventif) bersinergi dengan penindakan (represif).

       Sinergi berbagai upaya oleh Polri (Densus-88) dan BNPT yang didukung oleh semua komponen bangsa diyakini sangat efektif di tengah semakin canggihnya pola kerja mereka. Upaya itu selalu dicontohkan Densus-88 dengan menggerebek rumah kontrakan para teroris bersama bom yang sudah dipersiapkan untuk diledakkan. Selain melakukan tindakan represif, juga tercermin upaya preventif karena menggagalkan rencana mereka melakukan bom bunuh diri.

Efektivitas Deradikalisasi

       Harus ada paradigma baru yang bermartabat untuk mengefektifkan deradikalisasi, bukan justru menimbulkan teror baru. Publik ingin paham radikal bom bunuh diri tidak terus-menerus menjadi momok baru. Itulah kontra-pesan tertentu yang harus digelorakan dan dipraktikkan dalam melakukan pencegahan melalui deradikalisasi. Bom bunuh diri yang mendesain perempuan dan anak-anak sebagai pelaku, tidak bisa hanya disikapi secara legalitas hukum, melainkan juga dengan pendekatan multikultural.

       Perempuan dan anak-anak hanyalah korban dari ambisi ideologi sesat dari para gembong teroris. Selaku korban dari pengaruh radikal kekerasan, sebaiknya didekati secara persuasif melalui deradikalisasi yang memiliki efektivitas tinggi. Perlu “formula baru” dalam melakukan deradikalisasi dengan melibatkan semua komponen bangsa. Sebab menyadarkan mereka yang telanjur berpaham radikal dalam mengaplikasikan agama tentu bukan persoalan gampang.

       Pendekatan represif dengan menangkap, menahan, bahkan menembak mati saat akan ditangkap tidak akan melahirkan perubahan siginifikan. Biasanya hanya berjangka pendek karena akan muncul talenta baru dari kalangan anak-anak. Paham radikal bom bunuh diri yang dianggap sebagai jihad agar masuk sorga, tidak cukup dengan tindakan hukum. Kata peribahasa ”patah tumbuh hilang berganti” dan akan terus menjadi hukum alam bagi perkembangan teroris di negeri ini.

       Saat ini revisi UU Terorisme masih dibahas di DPR tetapi tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Salah satu yang diperdebatkan adalah Pasal 43A Ayat (1) RUU-revisi yang menambah kewenangan baru bagi penyidik dan penuntut umum untuk membawa atau menempatkan orang tertentu pada tempat tertentu selama 6 (enam) bulan untuk dilakukan “program deradikalisasi”.

       Gagasan ini cukup realistis sebagai salah satu upaya pencegahan sekaligus penindakan “secara luar biasa” di tengah semakin berkembangnya modus aksi bom bunuh diri. Memang berpotensi melanggar HAM apabila mekanisme, dasar, dan alasan penempatan di suatu tempat tidak diatur secara terukur, jelas, dan tegas. Harus dipastikan bahwa yang dibawa ke ranah deradikalisasi itu betul-betul berpaham radikal keras untuk melakukan bom bunuh diri sebagai jalan jihad.

       Begitu pula upaya “cegah dini” dengan memberi kewenangan bagi penyelidik memanggil atau mengamankan (baca: menangkap) orang-orang yang diduga akan melakukan teror. Polemik muncul karena “laporan intelijen” dapat digunakan sebagai “bukti permulaan” untuk ditingkatkan ke penyidikan. Dalam revisi UU Terorisme harus ada indikasi yang jelas tentang unsur-unsur “laporan intelijen” yang dapat dijadikan “bukti permulaan yang cukup”. Misalnya, ada petunjuk berupa dokumen, baik tertulis maupun hasil rekaman dan informasi di media sosial akan melakukan teror.

       Secara konstitusional hak asasi seseorang bisa dibatasi melalui undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang diatur dalam UU Terorisme agar upaya pencegahan melalui deradikalisasi terlaksana. Semuanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

       Program deradikalisasi bagi yang berpaham radikal kekerasan untuk meneror masyarakat dengan cara menempatkannya pada tempat tertentu selama 6 (enam), atau laporan intelijen dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan, merupakan upaya pencegahan secara progresif yang layak didukung. Keamanan dan keselamatan warga masyarakat yang tidak bersalah harus dijadikan acuan. Tindakan tegas, terukur, dan bernuansa pencegahan merupakan keniscayaan untuk mengantisipasi paham radikal kekerasan berkembang menjadi aksi bom bunuh diri.(*)

Makassar, 31 Desember 2016

 

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu