x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perjalanan ke Dalam Kekacauan

Individu dengan mental illness disebut menunjukkan kapasitas untuk melihat dunia dengan cara baru dan orisinal yang orang lain tidak melihatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kapasitas untuk kreatif, menghasilkan konsep baru, gagasan segar, penemuan, menciptakan obyek atau seni, barangkali merupakan atribut terpenting otak manusia. Namun, hanya sedikit yang sudah kita ketahui tentang watak alamiah kreativitas ataupun basis neuralnya. Orang bertanya: bagaimana kita mendefinisikan kreativitas? Bagaimana kaitannya dengan kecerdasan? Apa saja proses psikologis atau keadaan lingkungan yang memunculkan wawasan kreatif? Bagaimana hubungannya dengan kesadaran ataupun ketidaksadaran? Apa yang terjadi selama momen-momen kreatif berlangsung?

Psikiatri Nancy Andreasen, dalam tulisannya A journey into chaos: Creativity and the unconscious, melaporkan hasil risetnya mengenai kaitan antara kesehatan atau kesakitan mental dengan kreativitas. Nancy mengulas catatan introspeksi individu-individu yang sangat kreatif. Ia mendapati bahwa proses-proses tak sadar memainkan peran penting dalam memperoleh wawasan kreatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengutip kajian neuroimaging, Nancy menyebutkan bahwa individu sangat kreatif mengembangkan aktivitas lebih intensif pada bagian tertentu otak yang memicu saraf-saraf otak untuk ‘menciptakan asosiasi-asosiasi’. Kajian tentang individu kreatif juga mengindikasikan bahwa mereka mengidap mental ilness yang lebih tinggi ketimbang kelompok individu yang tidak kreatif. Pertanyaannya: apakah memang ada hubungan antara mental illness dan kreativitas?

Memang bukan pertanyaan baru. Diskusi tentang tautan keduanya di lapangan sastra muncul pada 1970an, meskipun jejaknya sudah ada jauh lebih lama, sejak Aristoteles. Orang-orang Yunani kuno percaya bahwa kreativitas berasal dari para dewa, khususnya Muses—personifikasi mistis seni dan sains. Lord Byron dengan suka cita berkata: “Kami, semua yang berkarya, gila. Sebagian dipengaruhi kegembiraan, lainnya dipengaruhi melankoli, tapi semua terpengaruh, sedikit ataupun banyak.”

Pertanyaan ini mengusik bukan hanya lingkungan seni sendiri, tapi juga menarik minat orang-orang medis. Kumpulan esai yang melibatkan penulis dari berbagai latar dan disunting Corinne Saunders dan Jane MacNaughton, Madness and Creativity in Literature and Culture, mengeksplorasi hubungan antara sastra dan kegilaan sejak masa Pertengahan hingga periode modern. A.S. Byatt dan Pat Barker, dua kontributor esai, mendiskusikan bagaimana sastra merepresentasikan pengalaman kegilaan dan bagaimana kegilaan mengilhami kreativitas.

Upaya pertama untuk mengkaji hubungan antara genius dan kegilaan antara lain telah dimulai oleh Cesare Lombroso. Dokter Italia ini pada tahun 1891 menerbitkan The Man of Genius, sebuah buku yang bersifat anekdotal. Ia mengisahkan gosip dan catatan perilaku aneh para genius, seperti kidal, hidup selibat, gagap, dewasa lebih cepat, dan neurosis serta psikosis. Cesare mengaitkan cerita-cerita itu dengan individu kreatif seperti Jean-Jacques Rousseau, Issac Newton, Arthur Schopenhauer, Jonathan Swift, Charles Darwin, Lord Byron, Charles Baudelaire, dan Robert Schumann.

Cesare berspekulasi mengenai penyebab kegeniusan mereka, mulai dari keturunan hingga urbanisasi sampai kepada iklim dan fase-fase yang dilewati bulan. Ia berpendapat, ada kaitan erat antara genius dan degenerasi, dan ia menyatakan bahwa keduanya bersifat keturunan. Francis Galton, sepupu Charles Darwin, menulis dalam Hereditary Genius (1869) dengan menggunakan dokumentasi, termasuk pohon silsilah yang rinci lebih dari 20 musikus terkemuka. Menurut Galton, para genius itu mewarisi unsur genetik yang kuat.

Ikhtiar memahami individu dianggap sebagai pintu masuk yang tepat, sebab itu Nancy—yang juga seorang neuroscientist—memperoleh kesenangan bisa belajar dari sosok berbakat seperti Kurt Vonnegut. Penulis ini merupakan studi kasus yang sempurna dalam kajian Nancy tentang hubungan antara kreativitas dan penyakit mental.

Dalam hidupnya, Kurt kerap mengalami depresi. Ibunya menderita depresi dan membunuh diri pada Hari Ibu ketika Kurt berumur 21 tahun. Anaknya, Mark, semula didiagnosis skizoprenia tetapi senyatanya ia mengidap bipolar disorder. Mark, seorang dokter, menceritakan pengalamannya dalam dua judul buku: The Eden Express: A Memoir of Insanity dan Just Like Someone Without Mental Illness Only More So, yang mengungkapkan perjuangan keluarganya untuk mengatasi persoalan kejiwaan.

Kendati penyakit mental melanda keluarga Vonnegut, Nancy menemukan pula kreativitas di dalam keluarga ini. Ayah Kurt seorang arsitek berbakat, dan kakak Kurt bernama Bernard seorang ahli kimia-fisika berbakat serta penemu yang mencatatkan 28 paten. Sebagai dokter, Mark juga aktif menulis, dan kedua anak perempuan Kurt berprofesi visual artist. Kurt meninggal dalam kondisi normal bila dibandingkan dengan mereka yang kalah dalam pertarungan melawan sakit dengan cara bunuh diri, seperti dilakukan Virginia Woolf, Ernest Hemingway, hingga Sylvia Plath.

Nancy melihat keserupaan dengan Kurt ketika mempelajari James Joyce yang anak perempuannya menderita skizoprenia, sedangkan James sendiri memasukkan dirinya ke dalam spektrum skizoprenia. Bertrand Russell, filosof, memiliki anggota keluarga yang juga skizoprenis. Begitu pula dengan Albert Einstein. Jadi, Nancy berhipotesis bahwa para genius memiliki silsilah yang demikian, meski para genius itu sendiri kondisinya relatif baik. Insan kreatif dan kerabatnya, menurut Nancy, memiliki kecondongan yang lebih tinggi untuk berpenyakit mental. Diagnosis yang paling umum ialah bipolar disorder, depresi, kegelisahan, atau panic disorder, dan kecanduan alkohol.

Yang mungkin tampak paradoksal ialah bahwa walaupun mereka menderita kekacauan mood dan kegelisahan, mereka memiliki perasaan gembira dan senang yang luar biasa tatkala menuangkan bakat mereka. “Mengerjakan sains merupakan kegiatan paling menyenangkan dibandingkan apapun yang bisa dilakukan orang,” ujar seorang ilmuwan. Ini tak ubahnya perkataan komposer Tchaikovsky ketika ia menemukan gagasan hebat: “Saya lupa segalanya dan berperilaku seperti orang gila. ... saya mulai membuat sketsa gagasan satu demi satu.”

Spontan. Anda tidak bisa memaksa diri agar kreativitas terjadi. Esensi kreativitas ialah menciptakan koneksi-koneksi dan memecahkan teka-teki—connecting the dots. Insan kreatif memperlihatkan aktivasi yang lebih kuat dalam membuat koneksi-koneksi—mereka sering melihat apa yang tidak terlihat di mata pikiran orang lain. (sumber foto ilustrasi: pinterest.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB