x

Ilustrasi peduli kanker payudara. Shutterstock

Iklan

Kurnia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pasien Kanker, Hoax Bisa Membunuhmu!

Hoax yang merajalela di aplikasi perpesanan dan media sosial membuat saya resah. Terutama tentang kanker karena efeknya bisa sangat fatal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu siang beberapa hari lalu, Susan Dijani, sahabat saya di kantor Tempo, Jakarta mengirim video yang menayangkan kehebatan jengkol melalui aplikasi perpesanan. Kata narator dalam video itu, hasil penelitian sebuah perusahaan farmasi di Swedia menemukan aneka manfaat ekstrak jengkol. Jengkol, buah sejenis gayam, lazim dilalap atau dimasak sebagai lauk dalam menu Betawi, Sunda, Minang, dan beberapa daerah di Indonesia.

Banyak yang menghindari lantaran aromanya yang kurang sedap, tapi banyak juga yang doyan karena paduan rasanya yang gurih dan pahit yang lamat-lamat. Saya menyukainya meski jengkol tidak ada dalam kuliner Madura, daerah asal Ibu saya, dan Surabaya, tempat saya tumbuh dan kembali lagi setelah belasan tahun tinggal di Jakarta. 

Dalam video itu dikabarkan jengkol mampu membunuh parasit di dalam tubuh seperti kutu air dan cacing. Jengkol juga mampu mengontrol tekanan darah, dan mengatasi depresi serta gugup. Yang lebih dahsyat lagi, jengkol sanggup membunuh sel kanker 10 ribu kali lebih kuat dari Adriamycin, obat yang biasa digunakan dalam kemoterapi di seluruh dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ini bener, nggak?” Susan berusaha mengkonfirmasi.

Saya hanya awam yang kebetulan penyintas kanker payudara. Saya bukan dokter, bukan farmakolog, apalagi ahli botani yang pernah meneliti jengkol. Saya tak bisa memberikan penilaian dan kesimpulan. Saya tidak berkompeten menjawabnya.

Namun, membagikan dan menanyakan kebenarannya saya hargai sebagai niat baik. Karena ada jutaan pesan dalam aplikasi perpesanan dan media sosial dibagikan tanpa dicek kebenarnya dan dibagikan begitu saja. Karena niat baik itu, saya menjawab juga.

“Katanya sih begitu. Tapi jangan sampai orang jadi enggak mau berobat ke dokter yang berkompeten (serta akurat) dan memilih makan jengkol untuk mengobati kanker. Soalnya, kalau sudah terlambat, fatal akibatnya.

(Kalau sampai itu yang terjadi) Yang rugi orang yang sakit. Bukan orang yang menulis dan menyebar informasi.”

Saya cerewet sekali. Dia bertanya dengan tiga kata, saya menjawab dua paragraf. Padahal saya bukan ahli.

Susan memberi saya jempol. Tak ada kata-kata.

Saya merasa harus memberikan jawaban itu untuk mencegah kemungkinan buruk terhadap penyintas kanker yang bisa saja terjadi akibat penyebaran video itu. Efek jawaban pasti hanya terbatas, tapi hanya itu yang sanggup saya lakukan. 

****

 

Di zaman media sosial ini, informasi mengalir seperti banjir bandang tak berkesudahan. Aplikasi perpesanan dan media sosial tak pernah tutup. Buka terus 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan. Informasinya macam-macam. Mulai soal jembatan bengkok, kiai meninggal, gempa bumi, statistik tentang tenaga kerja Cina, sayembara berhadiah, resep makanan,   artis tua tutup umur, lowongan kerja, pemaknaan Hari Ibu yang dibelokkan menjadi Mothers Day, soal politik, SARA, investor Arab Saudi yang katanya hengkang dari karibnya, Amerika Serikat, hingga aliansi negara-negara Afrika yang mengajak Malaysia bergabung tanpa Indonesia. Bahkan cerita tentang mahluk gaib dan alam barzah pun ditulis dengan sangat meyakinkan.

Soal kanker juga banyak. Ada video dan tulisan disertai foto yang viral. Tentang air kangen ajaib, makanan, sayur, dan buah yang baik untuk kanker, hingga yang bisa menghilangkan kanker dalam sekejap tanpa operasi dan rangkaian pengobatan kanker secara medis yang sejauh ini lama dan berat. Ada juga kemoterapi dan hemodialisa gratis yang ternyata bohong (betapa teganya).

Ingin cari informasi apa pun sagala aya’. Semua ada. Dibagikan dengan sangat mudah oleh semua orang yang belum tentu paham tentang pesan yang disebarkannya. Tapi, informasi itu belum tentu benar. Apa lagi sangat banyak tulisan dan gambar yang dibuat serta disebarkan tanpa konfirmasi dari ahli dan ditulis bukan oleh orang yang berkompeten di bidangnya. Bahkan, banyak di antaranya yang jelas-jelas bohong atau hoax belaka.

Kalau soal isu seperti politik, sosial, hukum, dan ekonomi, paling “cuma” bikin kesal jika ternyata tidak benar. Meski harus diakui kabar-kabar tidak benar alias hoax itu memperkeruh keadaan, membuat persoalan jadi runcing, menyulut konflik horizontal, merepotkan pengambil kebijakan, dan menambah pekerjaan pekerja media yang berusaha patuh kepada prosedur jurnalistik, dan meresahkan publik.

Berbeda dengan efek isu lainnya bagi publik, informasi tentang kanker yang tidak benar bisa menjerumuskan dan berakibat sangat fatal terhadap pasien kanker. Bahkan bisa berujung maut.

Untuk uraian selanjutnya, silakan klik https://berandaendri.wordpress.com/2017/01/05/pasien-kanker-hoax-bisa-membunuhmu/

Ikuti tulisan menarik Kurnia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler