x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Biasa Menyalahkan Orang Lain

Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain merupakan gagasan yang tidak strategis dan buruk bagi kesehatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Ketika engkau jatuh cinta, engkau tidak bisa menimpakan kesalahan kepada gaya gravitasi (tarik-menarik).”

--Albert Einstein

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu persoalan yang berpotensi mengganggu hubungan kita dengan orang lain ialah kebiasaan menyalahkan orang lain. Lazimnya, tindakan ini muncul ketika kita dihadapkan pada situasi sulit yang sebenarnya timbul karena perkataan, sikap, maupun perilaku kita sendiri. Menyalahkan orang lain adalah cara yang paling mudah untuk keluar dari belitan persoalan, tapi ini sekaligus menunjukkan seperti apa jati diri kita.

Sebagai contoh, ketika banyak media menulis berita tentang isu tertentu, dan isi berita maupun kutipannya serupa, nara sumber malah menyalahkan jurnalis. Ia berkata: “Wartawan salah kutip!” Padahal, jurnalis dari media yang berbeda-beda itu berada di lokasi peristiwa pada saat yang sama (Mungkinkah mereka salah kutip? Mungkin saja, bila mereka bekerja tidak mengikuti kaidah jurnalistik yang benar). Untuk mempertahankan diri, nara sumber ini mengeluarkan ‘fakta alternatif’—istilah yang di AS saat ini sedang populer, dan istilah ini merujuk kepada fakta yang diselewengkan.

Kebiasaan menyalahkan orang lain adalah bentuk penghindaran diri dari tanggung jawab atas situasi buruk yang tengah dihadapi. Karena ucapan atau tindakan tertentu, situasi menjadi rumit dan mungkin tidak terkendali—lazimnya, situasi rumit ini di luar dugaan. Untuk keluar dari situasi rumit, orang yang mengeluarkan ucapan atau tindakan itu akan melemparkan kesalahan kepada orang lain agar orang itu dipersepsikan sebagai si pembuat onar—pendeknya perlu ada ‘kambing hitam’.

Apakah si pelempar kesalahan ini tidak menyadari tindakannya yang menyalahkan oranglain? Sepenuhnya sadar hingga kemudian hal itu jadi kebiasaan yang dapat muncul seperti refleks. Ketika situasi atau lingkungan di sekitarnya merespon negatif terhadap ucapan atau tindakannya, secara refleks tombol ‘lemparkan kesalahan kepada orang lain’ akan menyala. Respons cepat ini merupakan sejenis mekanisme pertahanan diri dan untuk menjaga citra dirinya.

Dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang menyimpan dalam dirinya kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain akan menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. Anak buah akan selalu khawatir dalam bertindak. Pemimpin seperti ini akan merasa bahwa dirinya selalu bersih dari kesalahan, bahwa dirinya selalu benar. Jika ada ketidakberesan dalam organisasi, pemimpin tipe ini akan mencari kambing hitam—di sisi lain, ia tidak mau berefleksi apakah prosedur kurang jelas, apakah komunikasi saya tidak konstruktif, apakah ada kelemahan dalam mekanisme kerja?

Namun kita tidak akan bisa terus-menerus menyalahkan orang di sekeliling kita, nasib buruk, atau lawan kita untuk kekisruhan yang timbul. Misalnya saja, ketika kita melontarkan ucapan tertentu dan menimbulkan reaksi negatif yang besar dari banyak pihak, kita buru-buru menuding ada pihak yang membesar-besarkan, salah kutip, memlintir, membumbui, atau ada yang ingin mengadu domba. Sebelum melempar kesalahan kepada orang lain, rasanya kita perlu becermin bahwa tanpa pengadu domba sekalipun, reaksi negatif akan tetap muncul atas ucapan kita.

Jika kita terus-menerus menyalahkan orang lain, akan semakin terungkap siapa sesungguhnya diri kita. Ini sejenis mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya malah merugikan kita. Lagi pula, menyalahkan orang lain adalah kebiasaan yang tidak baik—bagi kesehatan tubuh maupun jiwa. Bayangkan, kita harus menyiapkan beragam argumen untuk menyokong tindakan kita melempar kesalahan kepada orang lain. Jika orang lain merespons, kita harus menyiapkan argumen lain lagi. Melelahkan. Kita pun cenderung semakin tidak rasional.

Jadi, jika situasi menjadi rumit atau lingkungan sukar dikendalikan karena ucapan atau tindakan kita, maka langkah terbaik ialah becermin diri: Apakah ucapan atau tindakan saya salah? Bila memang salah, akuilah. Mengakui kesalahan bukanlah tindakan yang merendahkan diri, tapi wujud kerendahan hati. Mengakui kesalahan diri sendiri memang tidak mudah, tapi kebiasaan menyalahkan orang lain akan membuat kepercayaan kepada kita semakin pudar dan semakin luntur.

Para ahli kepemimpinan mengatakan, menyalahkan orang lain adalah strategi kepemimpinan yang buruk. Bukan hanya karena setiap orang dapat melihat ‘jurus cari selamat’ itu dengan gamblang, atau karena tindakan itu tidak jujur dan tidak gentle, atau karena tindakan itu menghancurkan hubungan baik dengan orang lain, melainkan karena justru melemahkan self-esteem dan self-image. Alasan yang lebih mendasar lagi mengapa menyalahkan orang lain merupakan ide yang buruk ialah: menyalahkan orang lain membuat kita gagal belajar. Karena menganggap orang lain yang salah, kita akan mengulangi kesalahan yang sama, untuk kemudian kembali menyalahkan orang lain. Sebuah siklus yang akan berakhir buruk.

Seorang kawan menasihati: “Apapun yang kamu lakukan adalah pilihan kamu. Jika keadaan menjadi runyam karenanya, jangan salahkan orang tuamu, teman-temanmu, lawanmu, masa lampaumu, atau dinas rahasia, apa lagi menyalahkan cuaca buruk.” (Sumber ilustrasi: shersbloggg.wordpress.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler