x

Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memberikan keterangan di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta, 5 Januari 2017. TEMPO/Larissa

Iklan

Joko Hariyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok Menang Seperti Trumph

Meskipun Ahok bukan sosok yang terbaik untuk Jakarta, namun ia akan menang karena lawan-lawan lain kurang “Cemerlang”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mekanisme pengajuan calon presiden maupun kepala daerah di sebuah Parpol ternyata tidak selalu berbuah manis. Jika dikatakan mirip dengan perjudian, namun pola output yang dimunculkan sebenarnya bisa dipelajari karena memiliki pola yang konsisten sebagaimana teori probabilistik model.

Sewaktu Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih mendeklarasikan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres, dalam hati kecil saya bertanya-tanya. Kenapa “The Rising Star Jokowi”, hanya dihadapkan dengan seorang Prabowo?

Bukankan Prabowo kali ini maju dengan luka-luka yang pernah ia bawa pada Pemilu 2009 saat gagal memenangkan capres-cawapres berduet dengan Megawati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyodorkan kandidat capres yang pernah dikalahkan diperiode sebelumnya, sama halnya dengan menawarkan pemimpin yang figurnya telah diketahui tidak lebih baik dari pemimpin sebelumnya.

Bisakah kita membayangkan, Rakyat diminta membandingkan kehebatan (prestasi dan track record) Prabowo dengan Pak SBY, Presiden RI periode sebelumnya. Jika saya seorang politisi atau simpatisan dari Partai Gerindra tentu saja berkomentar, “Tunggu dulu, Anda pasti tidak mengenal betul siapa Prabowo?” Namun sebagian besar Rakyat Indonesia adalah masyarakat awam, yang tentu saja melihat Pak SBY adalah presiden bertahan yang sudah lebih terbukti dengan berbagai prestasi.

Sebagai masyarakat awam kami hanya bisa membayangkan, “Memilih Prabowo sebagai Presiden adalah bukan sebuah langkah maju, karena sebelumnya kita sudah mempunyai Presiden yang lebih baik dari Prabowo. Baik di prestasi militer maupun pengalamnnya di pemerintahan”.

Kebimbangan masyarakat dituangkan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-6 RI. Meskipun kala itu ia belum bisa dikategorikan sebagai “Tokoh Nasional”, karena kiprahnya masih lebih banyak di lingkup yang lebih kecil sebagai Walikota.

Hati kecil saya mengatakan, “Jokowi terpilih bukan karena kemampuannya yang luar biasa, namun disebabkan karena kebetulan lawannya yang kurang cemerlang.”

Kini Jokowi menjelma dari sosok seorang walikota yang bersahaja dan pekerja keras, telah terangkat menjadi seorang presiden yang kedudukannya dekat dengan rakyat, ringan tangan dan pekerja keras.

GAGAL 2 KALI

Kegagalan memenangkan hati rakyat sebanyak dua kali bahkan pernah dialami seorang Putri Proklamator kita, Megawati. Mungkin ini bisa menjadi referensi untuk Gerindra, “Apakah mengajukan Prabowo lagi di pilpres 2019 adalah langkah maju, atau menjadi usaha yang sia-sia”. Mengulangi pengalaman PDI dengan Megawatinya.

Kegagalan mengajukan calon pemimpin untuk memenangkan pemilihan sebenarnya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Sebagimana ujung dua tongkat, di satu sisi mesin Partai Politik bekerja keras untuk mengangkat elektabilitas calon, namun di sisi lain kita juga harus menyadari bahwa ujung tongkat lain adalah keikhlasan kita menerima kekalahan.

Partai politik besar di negeri Adidaya seperti Amerika Serikat, bahkan juga bisa mengalami kekeliruan ini. Saat Partai Demokrat (PD) memutuskan mencalonkan Hilary Clinton sebagai Capres menghadapi Donald Trumph, sepertinya ini mengulangi kisah Megawati dan Prabowo di atas. Sedikit berbeda dengan kedua capres RI sebelumnya, karena Hilary kebetulan terluka saat dikalahkan saat suksesi PD dengan Presiden sebelumnya, “Barack Obama”.

Saya tidak bisa membayangkan kenapa Partai besar yang sangat demokratis seperti PD tidak berhasil memunculkan kandidat baru yang cemerlang?

Muncul pertanyaan, “Bukankah Hilary belum pernah maju sebagai Capres? Sepertinya penting untuk menghargai dia yang sabar menunggu 8 tahun selama Obama memimpin sebagai Presiden.”

Saya juga berfikir demikian, kesalahan ini lebih disebabkan karena “Ketidakenakan” petinggi Demokrat kepada Istri mantan Presiden Bill Clinton.

Seandainya mau lebih memahami psikologis pemilih, menawarkan Mrs. Clinton kepada masyarakat AS yang berpendidikan, sangat dinamis dan terbuka serta penuntut layanan terbaik dari pemerintah, sama halnya mengajak memilih Presiden yang tidak lebih baik dari “Barack Obama”.

Pertanyaannya lagi, “Bukankah Presiden AS tidak bekerja sendirian”, namun dibelakangnya ada banyak orang hebat dan mantan-mantan presiden dari PD.

Meminjam ucapan Eleanor Roosevelt, “Tidak ada yang bisa menyakiti kita tanpa persetujuan kita.” Ini bukan sekadar, bagaimana menjalankan roda pemerintah AS, tapi siapa penanggungjawab keputusan-keputusan itu. Kendatipun banyak pemikiran-pemikiran hebat yang disumbangkan oleh orang lain, namun siapa yang menghimpun dan menyimpulkan keputusan terbaik adalah jauh lebih penting.

Terlepas dari kekeliruan strategi PD mengajukan capres, kandidat lain, Donald Trumph, sebenarnya maju bukan dengan tanpa cela. Bahkan saat dirinya diajukan menjadi capres, pribadinya diselimuti dengan berbagai kontroversi. Kebijakan yang diajukannya yang bersifat anti Islam, kepribadiannya yang glamour serta kabar-kabar kehidupannya yang dikelilingi dengan banyak wanita, seolah mengundang kerut dahi, “Bukankan sejauh ini AS adalah negara yang sangat selektif dalam memilih Presiden?” Bahkan sedikit saja skandal sex saat Bill Clinton menjabat sebagai presiden, parlemen dan rakyat AS bereaksi keras bahwa ini sangat tidak diinginkan terjadi pada orang nomor 1 di AS.

Kendatipun sikapnya yang kontroversi, namun pribadi Trumph adalah gambaran tentang masyarakat AS saat ini pada umumnya. Pebisnis atau kapitalis sejati, kehidupannya liberal, hedonis dan dipenuhi kesenangan, menyukai dominasi serta ingin mengontrol dunia dengan tangannya. Semua itu ada di dalam diri Trumph. Kendatipun penuh bayang-bayang kontroversi dan kekhawatiran dimusuhi banyak negara, kuatnya karakter dan percaya diri serta bukti-bukti keberhasilan bisnisnya di negara-negara Islam seolah menampilkan Trumph sebagai seorang yang mumpuni memimpin AS sekaligus memimpin dominasi AS di dunia.

Lagi-lagi kami menarik benang merah, Trump terpilih bukan serta merta kehebatannya, namun lebih disebabkan PD yang tidak memunculkan calon yang lebih baik dari Barack Obama.

Apa korelasinya dengan Ahok?

Ahok maju sebagai Cagub dengan predikat Petahana. Kendatipun ia dihadapkan dengan cagub lain yang punya nama besar seperti Anies Baswedan, namun ia tidak mudah untuk dikesampingkan.

Ini mungkin berbeda jika Anies maju sebagai Cagub pada pilkada periode sebelumnya, karena saat itu ia bak Mutiara terpendam yang tersimpan rapi dengan talenta yang cemerlang. Amanah penting yang diberikan saat menengahi kasus Kriminalisasi KPK di masa pemerintahan Presiden SBY diyakini semakin mengasah kematangannya untuk menjadi kandidat pemimpin RI di masa mendatang.

Anies kali ini maju setelah ia purna di tengah jalan sebagai Menteri di kabinet Jokowi-JK. Meskipun banyak yang bertanya-tanya, “Kenapa Anies di resuffle?” Namun sulit bagi kita menilai secara pasti, ada apa gerangan di sana? Kita tidak meragukan kemampuannya memimpin. Bahkan seandainya ia diberi amanah yang lebih besar sekalipun kita yakin ia punya kemampuan. Kita hanya bisa meraba-raba, bisa jadi adanya ketidaksesuaian antar expektasi yang diberikan oleh Jokowi dengan yang telah dipersembahkannya.

Kali ini memang Anies menjadi penantang kuat karena berpasangan dengan Sandiaga Uno. Sosok muda yang digadang-gadang bertalenta cemerlang. Sandi sebenarnya muncul sebagai sosok yang memberi penyegaran di kancah politik tanah air, karena keberhasilan-keberhasilannya menahkodai perusahaan yang dibangun dari masa-masa krisis. Bukti yang ia tunjukkan tidak diragukan lagi dengan tercatatnya ia sebagai salah satu dari sekian orang terkaya di tanah air. Bisa jadi pemilukada kali ini menjadi ajang pembelajaran sekaligus pembuktian baginya untuk berkancah di dunia politik. 

Pasangan calon lainnya adalah Agus dan Sylvi, yang cakupannya lebih regional. Terus terang nama Agus (AHY) terangkat karena kebesaran nama Presiden RI ke-6 Pak SBY. Melihat AHY dan SBY sebenarnya mengingatkan kita kepada George Bush dan putranya George W. Bush yang keduanya pernah menjadi Presiden AS. Walker Bush terpilih sebagai Presiden AS setelah sebelumnya menjabat sebagai Gubernur/Senator Texas. Hal ini mungkin menginspirasi Partai Demokrat di tanah air untuk mengulangi keberhasilan keluarga Bush di AS.

Namun sekali lagi melihat track record Walker Bush yang penuh pengalaman, ditambah lagi bisnis dan usahanya di bangun dan dibesarkan di Texas, sehingga ia cukup dikenal di Provinsi tersebut. Ketika ia mencalonkan sebagai Gubernur, warga Texas sudah mengenal betul sosok Walker Bush. Dan ini menjadi poin penting baginya untuk terpilih di Texas yang kemudian mengantarkannya sebagai orang nomor 1 di AS.

Berbeda dengan AHY yang maju dengan pengalaman yang belum banyak teruji. Seandainya ia mau sedikit bersabar dengan mengemkan kemampuannya memimpin di lingkup yang lebih kecil, serta mebangun track record yang lebih baik terlebih dahulu, dengan memberikan kontribusi yang lebih konkret bagi masyarakat Jakarta, mungkin ia maju dengan daya tarik yang jauh lebih besar. Orang akan membandingkan sosoknya dengan Walker Bush, yang melampaui prestasi ayahnya. Namun, coba-coba sepertinya tidak cukup untuk maju sebagai Cagub Jakarta dengan keterbatasan pengalaman.

Selebihnya Ibu Silvy mendampinginya sebagai tokoh senior di Pemerintah Provinsi DKI, diharapkan mengisi keterbatasan AHY dari dalam. Namun, sebagai orang awam saya tentu bertanya, jika sudah ada orang nomer 1 di DKI (Ahok) kenapa saya memilih orang nomer 2 di DKI.... misalnya. Ini yang menjadikan Silvy kesulitan untuk mengangkat rating pasangan ini ke tempat yang jauh lebih tiggi.

Kembali ke Ahok, meskipun kontribusi konkrit pembangunan Jakarta selama periode jabatannya masih banyak yang meragukan, namun ia punya karakter yang kuat untuk memperbaiki Jakarta dari dalam, dari Birokrasinya. Ia memiliki keseriusan untuk membuang duri serta akumulasi penyakit kronis yang dimiliki Jakarta pada periode sebelumnya. Korupsi, Kolusi, Manipulasi bahkan Premanisme adalah penghambat kemajuan Jakarta yang merusak struktur dari dalam. Meskipun Banjir, Kemacetan, Urbanisasi adalah hal yang kritikal untuk diselesaikan, namun penyakit-penyakit Jakarta jauh lebih penting untuk disembuhkan lebih dulu. Bagaimana mungkin mengharapkan kemajuan yang pesat jika dibangun dari pribadi-pribadi yang sedang sakit.

KASUS AHOK

Lalu bagaimana dengan kasus “Penodaan Agama” yang membelit Ahok? Apakah ini akan memberatkan upayanya memenangkan Pemilukada?

Sebagai seorang muslim, Saya pribadi juga merasa “Tidak Terima” dengan ucapan Ahok yang kerap kali berbicara “Sembarangan” dan bukan pada tempatnya. Saya yakin jika Ia hidup di Inggris, pasti sudah dicopot dari jabatannya. Seperti Glen Hoddle yang berbicara ngelantur bukan di bidang sepak bola, tidak perlu diproses hukum, langsung dicopot dari jabatan pelatih Timnas Inggris. Karena bagi seorang Pejabat atau Public Figur, berbicara di luar kewenangannya adalah sebuah kesalahan besar. Seolah-olah mengabaikan orang-orang yang berpuluh-puluh tahun mendalami bidang tersebut dan melakukan riset yang mendalam dibidangnya. Sungguh ini menunjukkan kontrol dari dalam yang lemah dari seorang pemimpin. Bagaimana mungkin kita mempercayai orang untuk memimpin masyarakat luas, jika ia sendiri tidak mampu menguntrol pribadinya sendiri?

Namun saya memahami 2 hal. Pertama, kurangnya kontrol adalah tumbuh dari kebiasaan. Seperti artikel kami sebelumnya (Ahok Kejeglong) . Kebiasaan yang berjalan bertahun-tahun tanpa keinginan untuk memperbaiki, sama halnya mencabut pohon besar dengan tangan kita. Bisa, namun susah dan butuh waktu lama. Kedua, kita hidup di negara yang lemah dalam penerapan hukum. Berharap tegaknya hukum di negeri ini, sama halnya dengan menunggu kepastian kapan lalu lintas Jakarta tidak macet lagi. Apa korelasinya? Andaikan hukum dapat ditegakkan dengan baik di tanah air, perilaku konsumtif, mau menang sendiri dan kemubaziran pengguna jalan raya tentu tertata dan terkelola dengan baik. Coba kita perhatikan di negara-negara maju yang proses hukumnya sudah ditegakkan dengan baik.

Upaya mencari pembenaran bahwa saya tidak salah, sebenarnya itu kerugian buat nya, karena “Banyak” orang yang menginginkannya berubah, namun ia bersikukuh sikapnya sudah benar. Terbelahnya sikap pro dan kontra, sebenarnya gambaran bahwa ia masih bisa diterima sebagai pemimpin, namun ada sebagian pihak yang merasa terluka dari sikap dan ucapannya yang kurang kontrol diri.

Seandainya ia lolos dari jerat hukum, dan ia merasa sikapnya tidak salah, sebenarnya di ujung lain sudah menunggu kelak ia akan mengulangi kesalahan yang sama dengan konsekuensi yang lebih besar.

Meskipun Ahok bukan sosok yang terbaik untuk Jakarta, namun ia akan menang karena lawan-lawan lain kurang “Cemerlang”.

Ikuti tulisan menarik Joko Hariyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler