Apalah arti Lidahku Berseru Allahu Akbar, jika...

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

sayangi yang di bumi, maka Dia yang di langit pun 'kan menyayangimu

Seorang bocah termangu. Duduk bertopang dagu. Matanya nanar, tatapannya lesu. Mungkin karena tisu-tisu, yang coba dijualnya malam itu, tidak banyak laku.

Umurnya tidak jauh dari anakku: sekitar lima atau enam, tak lebih dari itu. Di tengah gerimis yang baru saja berlalu, duduk termenung dia di pojokan gelap situ. Di samping jualannya: beberapa bungkus tisu.

Di tepi jalan kecil penghubung Kampus IPB Bogor dan Mal Botani Square yang bermandi cahaya. Penuh sesak dengan manusia yang berbelanja. Atau sekadar cuci mata pada itu malam Idul Adha.

Tatapannya nanar, matanya lesu. Memandangi entah apa. Sambil memiringkan kepala. Ke kiri, kanan, dengan tangan di dagu. Lesu …

Mungkin memikirkan masa depannya yang tak tentu? Atau adiknya yang mesti dibelikan obat, atau susu? Atau memikirkan ayahnya yang sakit tak bisa bekerja? Atau ibunya yang menjadi TKW di Arab atau Malaysia?

Lesu … Mungkin menahan lapar atau keinginan, stelah mandangi orang-orang hilir-mudik menenteng makanan. Dan kantong plastik penuh pakaian dan macam-macam belanjaan.

Lesu …

Mungkin memikirkan apa gerangan makna “Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang membahana, dari menara-menara, pada itu malam takbiran Idul Adha …

***

Bocah penjual tisu. Yang duduk lesu termangu. Di samping mal kota Bogor pada malam Idul Adha itu. Yang umurnya tak jauh dari anakku --lima, enam, tak lebih dari itu. Memantik tanya dalam getar dadaku:

“Apalah arti lidahku berseru Allahu Akbar, Allah Maha Besar?

Jika banyak manusia di jalanan terus dibiarkan telantar?

Di ini negeri berpenduduk muslim terbesar?”

***

Kapan ada sweeping dari front pembela manusia? Sehingga anak-anak telantar di jalan-jalan raya, tak perlu lagi terpaksa bekerja? Agar nasib fakir miskin diperhatikan tidak saja oleh negara, tetapi juga oleh kita semua?

***

Sabda Sang Nabi, “Sayangi yang di bumi, maka yang di langit pun ‘kan menyayangimu”; kita pun paham maksud sebaliknya: jika yang di bumi kita biarkan telantar, maka Dia yang di langit pun ‘kan biarkan kita telantar. Walaupun jutaan lidah kita bertakbir berbusa-busa. Dengan beribu-ribu pengeras suara.

Karena Yang Mahakuasa pun tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, jika orang-orangnya sendiri tidak hirau mengubah nasibnya.* Jika kita biarkan manusia dalam sengsara, tanpa kita berbuat apa-apa menolongnya, tetap saja kita pendusta agama. Na’uzubillah. Ini menurut Al-Quran Surah Al-Ma’un yang kubaca.

***

Wahai Engkau yang tlah menghadirkanku di dunia, dari tiada menjadi ada; yang mengeluarkanku dari rahim ibuku dalam keadaan telanjang tak membawa harta, dalam bodoh tak tahu apa-apa, penuh tangis tak berdaya…

Wahai Engkau yang tlah mengalirkan anugerah dan cintaMu, lewat susu yang memancar dari dada ibuku; lewat asuhan dan belaian sayang ibu-bapakku; lewat udara yang kuhirup; lewat air yang kuminum; lewat makanan yang kunikmati; lewat mentari yang menghangatkan hari; lewat hujan yang menghidupkan bumi…

Wahai Engkau yang mengalirkan cintaMu dalam seluruh semesta ini: izinkan aku, agar bisa pula menjadi saluran pengalir cinta-Mu di bumi ini.

***

Jadikan aku salah satu saluran pengalir cintaMu,

bersama dengan mentariMu yang tak lelah memancarkan hangat ke segala,

bersama dengan hujanMu yang tak bosan menghidupi bumi tanpa membedakan siapa,

bersama dengan anginMu yang membawa sejuk dan menerbangkan daun, serta biji kemana-mana,

bersama dengan bumiMu yang memberi semua makhluk tempat berpijak,

bersama dengan airMu dan tanahMu yang menjadi tempat munculnya hayat,

bersama dengan pepohonan dan tanamanMu yang memberi kami buah-buahnya,

bersama hewan-hewanMu yang memberi kami daging, kulit, dan telurnya,

bersama langitMu yang memberi kami hujan dan tempat bernaung,

bersama bintang-gemintang dan miliaran pelitaMu

--yang di tengah gulita semesta--

memberi cahaya ke semua, tanpa pandang beda.

 

Jadikan aku salah satu saluran pengalir cintaMu,

bersama-sama dengan segala makhluk di langit dan di bumi

yang mengabdikan hidupnya sebagai saluran pengalir cintaMu dengan saling memberi

dan menopang kehidupan di bumi ini.

 

Tolong hadiahi aku hati yang penuh syukur, kaya rasa, dan sarat cinta.

Ilhami aku dengan pikiran tajam-terbuka agar mudah mengatasi kendala.

Berikan aku indera yang sehat dan peka.

Tolong berikan aku tangan yang terampil mencipta solusi.

Tolong lengkapi aku dengan kaki yang ringan melangkah dalam bakti.

Dan anugerahkan aku tubuh yang kuat penuh daya,

agar mandiri lalu mampu berbagi.

 

***

Wahai Engkau Yang Maha Besar! Dua ribu tahun yang lalu, utusan-Mu yang kaupilih dari bangsa Yahudi itu, Isa Al-Masih, telah mengajarkan hukum utama semua nabi dan inti ajaran agama: “Cintailah Tuhan dengan segenap jiwa-raga dan akalbudimu, dan cintailah sesamamu manusia.

Lalu, enam ratus tahun setelahnya, utusan-Mu yang kaupilih dari bangsa Arab pun mengajarkan hal yang sama: agar kami memulai ibadat harian dengan “Allahu Akbar”, dan mengakhirinya dengan “Assalamu’alaikum” yang disebar. Sabdanya: “itulah tiang agama”.

Allahu akbar: sadar bahwa Engkaulah Tujuan yang Terbesar. Engkaulah yang paling utama untuk dicintai dan diabdi.

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh: damai-sejahtera, cinta, dan berkah untuk segenap makhluk di bumi. Yang disebar ke sekeliling kita, baik di kanan maupun di kiri. 

Wahai Nabi, sungguh pesan cintamu itu abadi! Sebarkanlah salam sejahtera, keselamatan dan kedamaian, pada dia yang kau kenali, maupun dia yang tidak kau kenali. Sejahtera, selamat, dan damai itu untuk dibagi-bagi pada semua yang ada di bumi. Bukan untuk dinikmati sendiri-sendiri.

***

Lalu, para pendiri bangsa kami, juga merumuskan ajaran pokok para nabi ini, –yakni cinta Tuhan (Allahu Akbar) dan cinta Manusia (Assalamu’alaikum)— dalam Pancasila:

Ketuhanan dan Kemanusiaan, yang mesti bermuara pada keadilan sosial antar sesama insan. Dalam semangat persaudaraan dan persatuan. Dengan selalu bertumpu pada kerakyatan; yang kepemimpinannya dijalankan dengan hikmah kebijaksanaan.

*** 

Maka, Duhai Sang Maha Penolong,

tolonglah aku,

agar ucapan “Allahu Akbar”-ku yang berkali-kali itu

tidak menjadi ucapan kosong ibarat kicauan burung beo belaka.

 

(aduh maafkan wahai beo, sama sekali ku tak bermaksud merendahkan kicauanmu, yang merupakan bentuk ibadah dan tasbih indahmu untuk-Nya. Sebab, setiap makhluk mengabdi sesuai kapasitasnya. Dan sebagai makhluk yang diberi akal dan rasa, kurasa tugas manusia tentu berbeda dengan kicauan tasbihmu, wahai beo-ku!).

 

Tolonglah aku, wahai Yang Maha Sayang,

agar ikrar “Allahu Akbar”-ku bisa kuselesaikan dan kubuktikan

dengan perbuatan-perbuatan “as-salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”:

 

perbuatan-perbuatan salam: yang mendamaikan,

menyelamatkan,

dan menyejahterakan.

karya-karya kasih rahmat

dan kerja-kerja yang sarat berkat

penuh manfaat.

 

Ceramah, khutbah, dan tabligh akbar

puisi, lagu, pidato pejabat, yang selama ini selalu digelar

tidak serta-merta bisa memenuhi perut mereka yang lapar

tidak serta-merta bisa menyembuhkan mereka yang sakit dan terkapar

tidak serta-merta bisa menolong mereka yang telantar

jika kata-kata itu hanya sebatas didengar

tanpa ada aksi dan program nyata yang digelar

 

Maka, izinkan kami semua menjadi saluran pengalir cinta dan salam sejahtera-Mu

Izinkan kami menjadi pelaku perbuatan-perbuatan saleh yang nyata, baik kecil maupun besar

 

Sebab,

apalah arti lidahku berseru Allahu Akbar, Allah Maha Besar,

jika tidak kutuntaskan dengan perbuatan salam damai sejahtera yang disebar?

 

apalah arti lidah berseru Allahu Akbar, Allah Maha Besar,

jika banyak manusia terus dibiarkan telantar

di ini negeri berpenduduk muslim terbesar?”

 

Laa haula wa laa quwwata illa bika

Tiada daya dan kekuatan, kecuali bersamaMu.

Kabulkanlah, wahai Rabb, Pelindung dan Pemeliharaku

Amin.  

 

(Terinspirasi seorang anak penjual tisu pada malam Idul Adha, 12 September 2016)

 

_______________________________________

* Al-Quran (13):11: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
ilham ds

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler