Badai Bernama Kekuasaan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertarungan antarelit menyedot semua energi dan polarisasi kekuatan

 

Wahai orang bijak dinegeri ini !. Ceritakan kami, kisah para pejuang bangsapada masanya, ceritakan juga sebab akibat serta bagaimana prosesi itu berlangsung. Ceritakan seutuhnya, tahapan eskalasi konflik yang melahirkan solusi, pergerakan perlawanan rakyat yang melahirkan masa orde baru, orde lama dan reformasi,sehinggakami pada tidak salah memahami sejarah, tidak buta sejarah dan mampu mengambil pembelajaran dan hikmah.

Wahai orang bijak di negeri ini!.Jujur saja, kapasitas keilmuan kami jauh dari sebutan pakar. Lulusan dan titel yang kami sandangkerap kali dipertanyakan ?,dan jikalau pun ada jabatan karir di pemerintahan kami berada level bawah dan jabatan politik kami bukan pemangku kebijakan. Jadi jika ingin mempertanyakan kepantasan kami sebagai pendengar maka hal itu sebuah kewajaran.

Namun sungguh tidak wajar dan menjadi kurang ajar jika meragukan kami mampu mengambil pembelajaran dan hikmah atas semua catatan sejarah, walau pun terkadang analisis kami dangkal dan korelasi peristiwa menjadi kepingan puzzleyang membingungkan, itu semua karena kami masih mengeja dan melacak kebenaran sejarah yang terlanjur di belokkan atau ditutupi layaknya pengelana padang pasir yang belum menemukan oase.

Kami telahsangat haus akan solusi dari semua polemik yang terjadi di negeri ini. Tiap detik kami disuguhkan kisah dari media yang kami ragukan netral, kisah saling bantah, saling klaim kebenaran bahkan penghinaan pada personal dan institusi terbaca jelas sebagai upaya menggiring opini publik.

Jika memang belum waktunya oase itu kami temukan, biarkan dalam pengembaraan ini kami memposisikan diri sebagai penikmat dan pengamat bukan hakim.Bukankah peristiwa sejarah itu menjadi fragmen yangditeliti, dikaji, agar semua benar dan tepat dalam memposisikan diri, dan dalam hal ini kami menyebutnya melawan lupa.

Melawan lupa telah menjadi suatu bentuk proses dalam mengembalikan kesadaran diri pada sejarah, melihat pola yang terbentuk dari masa lalu menjadi runtutan peristiwa yang mengulang kembali dalam bentuk lebih moderat.Menikmati panasnya suhu sosial politik indonesia dalam moment pemilihan kepala daerah serentak, menikmati perubahan kebijakan sosial politik global. dan mengamati secara kontinu stimulan friksi dan pergesekan para pemangku kepentingan di negeri ini.

Peristiwa demi peristiwa yang semakin menciderai sistem demokrasi, saling vonis pada apa dan siapa yang paling benar, dikotomi status pribumi dan nonpribumi, penggugat dan tergugatsudah mengkristal sehinggatidak butuh lagi rekonsiliasi. Wewenang kekuasaan yang tumpah tindih terlihat dengan jelas dalam adalah upaya meredam segala bentuk pelanggaran hukum selalu menimbulkan polemik persepsi dan sudut pandang.

Saat ini, persatuan bangsa kita sebenarnya tidak lagi kokoh, perbedaan pendekatan dan solusi tidak lagi menjadi sebuah rahmat. Perbedaan tersebut ditanggapi dengan keputusan dan kebijakan yang mengekspresikan ketakutan yang berlebihan. Terlepas dari semua itu benar atau salah, peristiwa demi peristiwa di negeri ini yang telah menciptakan badai yang terlahir dari perebutan kekuasaan atas nama demokrasi.

Badai ini jauh lebih kuat intensitasnya, Gerakan aksi 112, kasus dugaan korupsi Emirsyah dan pelanggaran etik Patrialis Akbar, kasus penyadapan SBY, aksi massa di rumah SBY, kontroversi istigasah NU-Ahok, serta penangkapan Firza Husein (news.detik.com, 7/2/207) ditambah lagi beberapa ekses kampanye pilkada di daerahmenyedot perhatian publik di seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Ibarat tornado, putaran badai kekuasaantelah melecut isu dan peristiwa lanjutan, sambung menyambung.Pola pola yang terlihat samar menjadi pembenaranpada tataran wacana dan aksi reaksi sehingga rakyat menjustifikasikan, ada kekuatan besar yang terstruktur dan terencana tengah bermain. Mata pusaran badai mengarah ke ibukota negara kita dengan target semuanya mengarah pilpres 2019.

Pertarungan antarelit politik, ormas dan penegak hukum, eksekutif dan legislatif semakin meruncing. Semua energi dan polarisasi kekuatan tersedot kedalamnya, pembagian kekuatan dalam penyebutan islam, nasional dan komunis menemukan kutubnya.

Dalam demokrasi, rakyat telah mengambil kembali kekuasaannya berkat teknologi, media informasi dan media sosial. Dimana suara suara rakyat tidak lagi tersekat namun terdengar jelas dan lantang. Kebebasan berpendapat dan penyebaran informasi telah menjadi unsur penguat ketika suara rakyat tersebut menjadi trending topik, viral, bahkan petisi.

Namun setiap kekuasaan yang diperoleh tidak serta merta pemegangnya menjadi siap. Rakyat yang lemah dalam proses menerima, merespon dan menghargai entitas kebangsaan, kesempitan wawasan kebangsaan membuat pilar pilar landasan dalam berbangsa dan bernegara semakin rapuh. Dan apabila variabel kelemahan ini dibiarkan maka badai kekuasaan akanmeluluh lantakkan semua kesadaran diri dalam bersikap dan berpijak.

Wahai yang masih peduli dengan negeri ini, sebelum badai kekuasaan ini benar benar merusak seluruh sendi bangsa, marilah kita semua kembali pada hakikat pembangunan yaitu pembangunan kesadaran.

Pembangunan kesadaran harus dimulai dengan niat, niat yang merefleksikan diri bukan ucapan namun perbuatan. Rekontruksi niat menjadi memegang kekuasaan demokrasi tidak boleh melangkahi kekuasaan Tuhan. Rekontruksi niat dalam semua sektor pembangunan demi rakyat negeri ini sehingga badai kekuasaan ini perlahan berlalu sehingga kita semua menjadi khalifah dimuka bumi dalam arti yang sebenarnya.

Masri Fithrian, ST, M.Si

Alumnus Magister Ilmu Ekonomi Unsyiah

Bagikan Artikel Ini
img-content
MASRI FITHRIAN

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

#KlinikOpini | Penetrasi PENAS

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Dilema Akses Pendidikan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua