x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menggugat Hak Bangsa di Freeport: Siap Bermain Habis-Habisan

Coba diingat-ingat deh! Pernahkah ada seorang pemimpin tertinggi negara ini yang melakukan kunjungan kerja ke lokasi produksi PTFI di Timika, Papua?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan kali ini saja, sejumlah pejabat dan politisi mengangkat isu dan wacana Freeport. Gagasan utamanya semua mengerucut pada upaya menggugat hak bangsa dan negara di Freeport. Wacana itu kadang disampaikan dengan format yang normatif dan santun. Tak jarang juga yang mewacanakannya dengan nada mengancam, yang ditingkahi semangat nasionalisme.

Namun seringkali terjadi, begitu wacananya mereda, publik kemudian dikagetkan dengan deal-deal baru, yang justru semakin mengukuhkan posisi Freeport.

Banyak yang lupa, atau pura-pura lupa bahwa Freeport adalah ibarat anak singa yang dipelihara. Awal mulanya jinak-jinak imut menyenangkan. Lalu singa itu terus tumbuh menjadi singa besar nan ganas, yang siap menerkam siapapun dan apapun yang mengusiknya. Saya kadang berkesimpulan ekstrem: nothing we can do to deal with it.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka kalau tidak siap bermain dengan stamina panjang, jika tak siap mengambil risiko habis-habisan, jangan pernah memulainya. Memperosalkan Freeport, siapapun harus siap dengan perjamuan terakhir.

Sebab, seandainya saya atau Anda atau siapapun pemilik mayoritas saham Freeport, tentu saya akan melakukan apapun yang bisa saya lakukan untuk “menghentikan siapapun”, yang berani mengusik sumber dari segala sumber pundi di Bumi Papua itu.

Freeport bukan sekedar perusahaan multinasional, yang tercatat di papan list pasar-pasar bursa terkemuka di dunia. Bukan juga sekedar salah satu pemasok utama kebutuhan emas masyarakat dunia.

Jika dianalogikan secara sederhana, kira-kira begini: pabrik besar di sebuah kota Kabupaten, jika mau, bisa membungkam semua komponen strategis di kabupaten itu. Hasilnya, pabrik beroperasi, dan semua jajaran pemangku di kabupaten ikut senang. Begitulah yang telah-sedang-akan-terus dilakukan oleh Freeport di negara ini.

Artinya, mengusik Freeport sama dengan mengusik zona nyaman siapapun yang pernah dan sedang atau berharap terpapar cipratan kilauan emas tanah Papua itu.

Jika sesekali mengunjungi situs resmi PT Freeport Indonesia (http://ptfi.co.id/id), di halaman mukanya, kita akan disuguhi informasi umum tentang kontribusi PTFI kepada masyarakat Papua; foto anak-anak Papua yang tertawa ceria sebagai bukti CSR; foto para pekerja Freeport yang mengirim pesan dan kesan nyaman; sumbangan PTFI kepada lembaga ini atau yayasan itu, institusi sana, organisasi sini; mungkin sekelumit mekanisme produksinya dan seterusnya.

Tapi jangan berharap disuguhi informasi detail tentang bagaimana Freeport beroperasi, berapa ton biji emas yang diproduksi per hari, siapa pengendali utama pertambangan, siapa yang mengatur pengapalan biji tambang emas dan tembaga; berapa keuntungan bersihnya per tahun.

Tentu saja, sebagai perusahaan publik, PT Freeport Indonesia (PTFI) membayar berbagai jenis pajak, dan sharing profit. Semua itu dipublikasikan.

Tapi mari jangan berpikir naif. Sekali lagi, analoginya sederhana: pabrik besar di sebuah kota kabupaten saja – jika mau – bisa dan mampu menyembunyikan produksi dan keuntungan realnya, apatah lagi PTFI.

Tidak ada akses darat ke wilayah operasi Freeport di Timika, Papua. Akses lautnya pun tidak terbuka untuk pelayaran umum. Name it as you want! Anda bisa menyebutnya negara dalam negara.

Coba diingat-ingat deh! Pernahkah ada seorang pemimpin tertinggi negara ini yang melakukan kunjungan kerja ke lokasi produksi PTFI di Timika sana, dan lalu menjadi materi berita utama di media-media nasional?

Karena itu, jika kemudian muncul wacana atau sebutlah gagasan berani untuk menggugat hak negara dan bangsa di Freeport, maka seluruh komponen strategis bangsa ini harus mendukungnya secara real.

Sebab jika tidak – ya itu tadi – kalau tidak siap bermain dengan stamina panjang, jika tak siap mengambil risiko habis-habisan, jangan pernah memulainya. Sebab mempersoalkan Freeport, siapapun harus siap dengan perjamuan terakhir.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 25 Februari 2017 / 29 Jumadil-ula 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler